Jakarta – PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan. Jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut goyang. Lebih dari 90% pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PAD Provinsi Papua berasal dari Freeport.
Puluhan ribu pekerjanya pun mengancam menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport.
Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.
Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi, dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.
IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.
Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).
Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51%, karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.
Beredar informasi, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.
President dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, melakukan konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, pada hari ini (20/2/2017) untuk menjelaskan duduk permasalahan. Ia menegaskan, Freeport tak dapat menerima IUPK.
“Posisi kami adalah kami tidak dapat menerima IUPK dari pemerintah dengan melepas KK, kita tidak bisa melakukan itu,” kata Richard.
Pihaknya dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport dapat mengambil jalan Arbitrase.
“Ada waktu 120 hari di mana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan itu dengan pemerintah, Freeport dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan melalui Arbitrase,” ujar Richard.
Richard menambahkan, saat ini Freeport belum menggugat ke Arbitrase Internasional. 120 hari adalah proses ke Arbitrase. Jika masalah dapat terselesaikan dengan baik, pemerintah Indonesia dan Freeport tak perlu berhadapan di Arbitrase.
Sampai saat ini, Freeport masih berkomitmen mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. “Sekarang kita tidak melangkah ke Arbitrase, tapi lebih ke proses Arbitrase, 120 hari dari Jumat kemarin. Kita tidak akan mendikte pemerintah, tapi kami berkomitmen untuk bekerja sama,” tutupnya. (mca/wdl)
sumber: detik.com
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: