Setelah melarikan diri, Diah Anggraini ditolong sopir taksi yang membawanya ke KBRI Amman. Tak digaji, tak boleh libur, dan dibatasi ruang geraknya selama 12 tahun. Tapi, dia memilih tak memperkarakan secara hukum.
DIAN CAHYANI, Malang
TAK ada seorang pun di rumah. Dan, kunci dia pegang. Diah Anggraini pun mengumpulkan keberanian: inilah kesempatan terbaik untuk melarikan diri.
Tapi, dia tiba-tiba ingat, tak ada uang sama sekali di kantong. ”Saya nekat saja,” kata Dian mengenang siang di Amman, Jordania, pada 2 Desember tahun lalu yang mengubah jalan hidupnya itu.
Pertolongan tersebut akhirnya datang sekeluarnya dari rumah sang majikan. Dari seorang sopir taksi berusia setengah baya. Sembari menangis, Diah menceritakan apa yang dialaminya. Si sopir baik hati itu langsung mengantarnya ke KBRI Amman.
Berakhirlah hari-hari gelap selama 12 tahun. Hari-hari ketika perempuan 36 tahun itu terputus hubungan dari keluarga di rumah. Dan, sama sekali tak mendapatkan bayaran atas pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga.
***
Seperti juga para tenaga kerja Indonesia (TKI) lainnya, Diah memimpikan kehidupan yang lebih baik dengan bekerja di luar negeri. Arab Saudi adalah negeri yang ingin dituju.
Namun, bukannya ke Arab Saudi, PJTKI (pengerah jasa tenaga kerja Indonesia) beralamat di Jakarta Selatan yang memberangkatkannya malah mengirim dia ke Jordania. Dan, tanpa disadari ibu satu anak itu, dia masuk ke negeri yang beribu kota di Amman tersebut tanpa kelengkapan dokumen imigrasi.
”Jadi, saya dari awal merasa dibuang. Karena keinginan saya waktu itu bekerja di Saudi,” terangnya kepada Jawa Pos Radar Malang Selasa lalu (19/2).
Namun, Diah mengaku tak tahu harus mengadu ke mana. Tak ada seorang pun yang dia kenal di negeri baru tersebut. Karena itu, dia hanya pasrah dan bekerja sesuai dengan keinginan sang majikan.
Hari-hari pertama semua seperti berjalan normal. Dia diperkenankan mengontak keluarga yang berdomisili di kawasan Kota Lama, Malang, Jawa Timur.
Tapi, bulan madu itu hanya seumur jagung. ”Mungkin hanya tiga kali saya boleh menelepon. Setelah itu tidak boleh,” katanya.
Dimulailah hari-hari gelap itu. Celakanya lagi, nomor telepon adiknya yang masih disimpan ternyata tidak bisa dihubungi.
Bukan itu saja, tepat sebulan bekerja, gajinya ternyata tak dibayarkan. Sang majikan juga sangat membatasi ruang geraknya.
Sepanjang bekerja di rumah majikan di Amman itu, tidak pernah sekali pun dia mendapat hak libur. Waktunya otomatis lebih banyak dihabiskan di rumah.
Namun, Diah menampik informasi bahwa dirinya diperlakukan kejam secara fisik oleh majikan. Termasuk informasi dirinya juga dibatasi dalam urusan mandi atau penggunaan air bersih.
”Tidak sampai dibatasi mandinya, hanya kalau keluar rumah yang sangat dibatasi majikan saya,” terang ibunda Eka Anggraneta itu.
Dalam masa-masa ketika dia seperti terputus dari dunia luar itu, yang paling membuat hatinya hancur adalah rasa rindunya dengan keluarga. Termasuk anak semata wayangnya, Eka, yang ditinggal bersama sang nenek, Prapti Utami, saat usianya masih 3 tahun.
Keluarga Diah di Malang sebenarnya juga tak tinggal diam. Saat Diah tak pernah lagi menelepon, mereka yang gantian menelepon balik. Tapi, selalu tak tersambung. Berkali-kali dicoba, hasilnya sama.
Keluarga akhirnya mencoba jalur lain: paranormal. Setidaknya tiga paranormal sudah ditemui. Semuanya mengatakan Diah masih hidup dan dalam kondisi sehat. Itulah yang setidaknya melegakan keluarga.
Di Amman, Diah sebenarnya juga berkali-kali berencana atau berusaha melarikan diri. Tapi, sulit sekali mendapatkan kesempatan. Sampai datang peluang di siang itu. Ketika keberaniannya menggumpal. Dan, pertolongan datang.
***
Rumah di pojok gang 6, RT 15, RW 2, Kelurahan Kota Lama, Kota Malang, itu sudah di depan mata Diah. Tapi, campur aduk antara gembira, haru, dan mimpi yang seperti mewujud nyata membuatnya limbung.
Dia pingsan di lorong menuju rumahnya. ”Saya bersyukur sekali bisa berkumpul kembali dengan keluarga saya dan bertemu anak saya, Eka Anggraneta, yang sekarang masih di pesantren,” kata anak sulung dari sembilan bersaudara itu tentang momen-momen yang sudah sangat dia rindukan selama 12 tahun terakhir.
Para tetangga terus berdatangan. Terutama terdorong rasa penasaran terhadap perempuan yang sempat dianggap hilang oleh keluarga itu.
Menurut Windy, salah seorang adik Diah, sang kakak pulang sembari membawa pulang uang hasil kerjanya. Lewat bantuan KBRI Amman, hak-hak Dian selama bekerja akhirnya bisa dipenuhi majikan.
Dia mendapat gaji selama 12 tahun, yakni USD 9.000 atau sekitar Rp 126 juta dengan kurs Rp 14.000. Windy mengatakan, nominal tersebut sebenarnya masih belum cukup jika dikalkulasikan dengan masa kerja Diah selama 12 tahun.
”Tapi, kami tidak bisa menuntut apa pun karena surat perjanjiannya juga sudah hilang, tidak ada hitam di atas putih,” ujar Windy.
Diah menuturkan, setelah dirinya berhasil melarikan diri ke KBRI Amman, sang majikan datang menemui. Lalu, mengakui segala kecurangan yang telah dilakukan di depan pihak KBRI.
Mulai membatasi untuk keluar rumah, tidak memberikan gaji selama 12 tahun, dan tidak membayar uang sewa tinggal selama Diah bekerja. ”Saya tidak ada niatan untuk membawa ke ranah hukum walaupun KBRI telah memberikan fasilitas. Sebab, majikan saya sadar dan mau bertanggung jawab,” papar Diah.
Menurut Diah, selain dirinya, sepengetahuannya, masih banyak pekerja migran lain di Jordania yang mendapat perlakuan seperti dirinya. ”Tak digaji selama bertahun-tahun,” katanya.
Kini Diah ingin segera menutup bab gelap dalam perjalanan hidupnya itu. Dan, fokus menatap masa depan saja.
Kebetulan, selama di KBRI Amman, sambil menunggu haknya diperjuangkan, Diah mendapat banyak pelatihan keterampilan. Dia berencana meneruskan usahanya yang dulu sebelum berangkat menjadi TKI. ”Saya akan berdagang dan mengembangkan keterampilan yang sudah saya pelajari selama di KBRI,” tambah Diah. (*/mg1/c10/ttg/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post