PENUTUPAN lokalisasi yang dilakukan secara masif di sejumlah daerah di Kaltim pada 2016 lalu, tidak sepenuhnya dapat menghentikan bisnis haram tersebut. Kebijakan pemerintah itu justru membuka peluang menjamurkan usaha itu secara terselubung.
Metro Samarinda, dalam beberapa pekan terakhir menelusuri bisnis “lendir” berkedok warung kopi itu. Di jalur II Samarinda-Tenggarong, Kilometer (KM) 12, KM 10, dan KM 09, masih dipenuhi para penjaja usaha tersebut.
Di sebuah warung kopi berukuran mini di pinggir jalan raya, Mustari (35), nama samaran, mengenakan baju hitam lengan pendek, duduk menunggu para pelanggan yang mampir di tempat tersebut.
Seorang laki-laki muda yang berbadan kekar datang menggunakan sepeda motor merek Suzuki. Setelah turun dari kendaraannya, dia menghampiri warung itu. Bergegas pelan sambil tersenyum.
Tanpa mengucapkan salam, dia masuk ke dalam warung itu. Dua orang perempuan muda telah terlebih dulu berada di kamar itu. Selang beberapa menit, laki-laki berkulit sawo matang itu, tidak lagi terdengar suaranya.
Satu jam berlalu, seorang pria berbadan jangkung memarkir motornya di depan warung tersebut. Mustari menyambutnya dengan muka kecut. Sambil melontarkan pertanyaan pada laki-laki tersebut.
“Kamu dari mana saja?” tanya Mustari. Pria yang berumur sekira 30 tahun itu menjawab tengah sibuk menjalankan tugas di kantor.
Tak berselang lama, dia masuk dalam kamar. Sementara laki-laki yang sebelumnya telah berada dalam warung kopi pangku itu tak kunjung keluar.
Warung itu bercat merah dan hitam. Di depannya, terdapat beragam jenis minuman dan makanan ringan. Antara lain kopi, teh, kacang, dan roti.
Media ini memerhatikan dengan seksama di depan warung itu. Di situ terdapat tempat duduk berupa kursi berukuran panjang. Cukup untuk diduduki empat sampai lima orang.
“Enggak masuk ya, Mas?” tanya Mustari yang dari tadi hilir mudik di warung itu. Pada perempuan berkulit sawo matang itu, media ini menjawab hanya ingin menikmati beragam makanan dan minuman di warung tersebut.
Satu setengah jam berlalu, laki-laki yang pertama tadi keluar bersama seorang perempuan dari kamar di warung yang memiliki tiga kamar itu. Keduanya bergegas keluar tanpa sedikitpun keluar dari lisannya kalimat.
Laki-laki itu menghidupkan motornya. Memakai helmnya berwarna putih. Kemudian berlalu secara perlahan. Meninggalkan warung tersebut.
Sementara pria yang masuk belakangan itu, keluar dari warung tersebut. Seorang perempuan muda yang berumur sekira 30 tahun, Bunga, nama samaran, mendampingi laki-laki itu.
Pada pertengahan Oktober 2018 lalu, Metro Samarinda sempat membuka percakapan dengan Bunga. Katanya, dia berasal dari Jawa Timur. “Saya sudah bercerai dengan suami saya,” ucapnya dengan nada lembut.
Dia memiliki seorang anak. Ketika ditanya alasannya bercerai, perempuan yang berkulit putih itu hanya melemparkan senyum. Pertanyaan yang sama dilontarkan media ini sebanyak dua kali.
“Ya, ada masalah,” katanya singkat. Sudah setahun berlalu dia bercerai dengan mantan suaminya. Sementara anaknya, tinggal bersama keluarganya di Jawa Timur.
Kata Bunga, dia datang ke Kaltim atas permintaan Mustari. “Bantu-bantu di sini. Bekerja sambil jaga warung ini,” jelasnya.
Dia mengaku telah banyak melayani laki-laki hidung belang. Tarifnya tidak menentu. Bergantung kemampuan pelanggan. Bagi lelaki yang telah terbiasa, “pelayanan maksimal” akan dikenakan Rp 150 ribu hingga Rp 200 ribu.
“Kalau yang baru, ya dilihat juga kemampuannya. Pasang tarif Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu,” katanya.
Prostitusi terselubung di jalur II Samarinda-Tenggarong bukan hal baru. Pada 2017 lalu, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kutai Kartanegara pernah mendapat laporan dari warga sekitar. Menjelang bulan puasa, sempat dilakukan penertiban. Namun, prostitusi berkedok warung kopi itu berkembang kembali seiring lemahnya pengawasan dari aparat keamanan setempat. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: