Catatan
Ufqil Mubin (Wartawan Metro Samarinda)
Tidak banyak orang yang mengetahui kehidupan pribadi Mar’i dan keluarganya. Karena laki-laki asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan itu lebih senang menyendiri. Bahkan, ia sangat jarang bersosialisasi dengan warga di RT 12 Kelurahan Pinang Luar Kecamatan Samarinda Kota.
Sesekali ia dipanggil warga sekitar untuk menghadiri pengajian, sholawat, dan sosialisasi program pemerintah. Mar’i tak banyak mengikutinya. Ia lebih senang menyendiri, mengurus anak-anaknya, berladang, beternak, dan berjualan.
Ia laki-laki yang sangat taat beragam. Kala adzan berkumandang, tak peduli sedang hujan badai, dia akan berangkat menunaikan sholat berjamaah bersama warga di mushola yang tak jauh dari rumahnya.
Mungkin benar ungkapan kebanyakan orang, pernikahan adalah penyatuan dua insan yang akan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Demikian juga yang dialami Mar’i dan Sriwati. Sikap introvert yang ditunjukkan Mar’i sangat berbeda dengan Sriwati yang senang bergaul dengan warga.
Bila Mar’i lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, istrinya senang berbicara, berkumpul, dan berbagi kisah dengan tetangga terdekatnya. Bila Mar’i sifatnya pendiam. Sebaliknya Sriwati senang berbagi kisah dengan tetangga dekatnya. Sifat mereka berdua bak langit dan bumi, tetapi mereka saling melengkapi.
Walau sudah puluhan tahun menjadi warga di bantaran Sungai Karang Mumus Samarinda, tak banyak orang yang mengenal kehidupan pribadi Mar’i. Namun warga mulai banyak membicarakan kehidupannya kala anak-anaknya mengidap penyakit stres. Kehidupannya banyak diperbincangkan karena sejak saat itu, buah hati Mar’i jadi tontonan baru warga.
Mereka persis seperti “artis” naik daun yang jadi buah bibir bagi penggemarnya. Tapi ini sangat berbeda, mereka dibicara karena kehidupan kelam karena penyakit jiwa yang menggerogoti dua gadis perawan itu.
Siah dan Idah kala itu keluar dari sekolah karena diketahui mengidap stres berat. Mereka kemudian diasuh di rumah. Saban malam, Siah berteriak kencang. Warga setempat ada yang terganggu, ada pula yang merasa kasihan dengan kehidupan Mar’i dan anak-anaknya.
Berkembanglah kisah penuh misteri di balik penyakit yang dialami anak-anak Mar’i. Ada dua anggapan yang berkembang di warga setempat: pertama, karena nenek moyang Mar’i pernah berhubungan dengan kehidupan makhluk di alam ghaib. Sebagian warga berpendapat, Mar’i memiliki anak kembar buaya. Buaya itu sampai sekarang masih hidup. Ia kembaran Idah.
Pernah satu waktu kembaran itu tidak diakui Mar’i, sehingga buaya itu murka. Dia kemudian melampiaskan kemarahannya kepada saudara-saudaranya. Sehingga, Idah dan Siah yang sedang sekolah kena getahnya.
Namun pendapat itu dibantah habis-habisan Mar’i. Ia marah besar. Sebagai muslim yang berpegang teguh pada ajaran Islam ala Muhammadiyah, penyakit yang dialami anak-anaknya semata-mata berasal dari Allah, bukan dari makhluk, apalagi dari jin.
Kedua, Idah dan Siah mengidap penyakit stres karena senang membaca buku-buku horor yang disediakan orang tuanya. Sebagai muslim yang sangat taat, Mar’i memberikan banyak contoh kehidupan kepada anak-anaknya. Salah satunya kebiasaan membaca buku.
Tiap malam, sejak menginjak sekolah dasar, anak-anak Mar’i sudah senang membaca buku. Anak-anaknya diberikan keleluasaan membaca buku apa saja. Sehingga, Idah anak yang paling lahap membaca buku horor, belum lulus aliyah diserang penyakit stres.
Ketiga, Mar’i dan Sriwati masih keluarga dekat. Sebagian warga menyebut masih sepupu tiga. Artinya, pernikahan mereka dilakukan karena hubungan keluarga. Sebagaimana kebanyakan orang Banjarmasin, mereka lebih banyak menikah dengan sesama ahli waris. Alasannya supaya harta dari orang tua tidak diberikan kepada orang lain.
Pernikahan antar keluarga dekat ini dilakukan secara turun temurun oleh kebanyakan warga asal Banjarmasin. Istri Ketua RT itu berpendapat, anak-anak yang lahir dari pernikahan ahlul waris terkadang tidak normal. Kelak, benar apa yang dikatakan Misna, anak-anak Mar’i mengidap stres berat.
“Mereka menikah masih ada hubungan darah. Pernikahan sedarah seperti ini akibatnya nanti, anak yang lahir tidak normal. Bisa terserang penyakit, atau mungkin tidak panjang umur,” demikian Misna berujar.
Warga setempat boleh berujar, menyampaikan segala retorika mistik soal sebab penyakit yang dialami anak-anak cerdas itu. Namun dari semua pendapat tersebut, tidak satupun yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sebab penyakit yang dialami anak-anak Mar’i tetap saja menjadi misteri yang tak terungkap sampai kini.
Mar’i tak menyangka anaknya yang pandai mengaji itu harus menanggung beban berat kala masih sangat muda. Beda lagi dengan Sriwati, perempuan periang itu lebih banyak mengeluh kepada tetangga dan teman-teman dekatnya.
Lebih mengejutkan lagi, selang beberapa tahun kemudian, Siah juga ikut mengidap penyakit yang sama. Kehidupan sepasang suami istri yang tadinya lebih banyak dihabiskan untuk beribah, usaha, dan beternak, kini diarahkan untuk mengurus anak-anaknya.
Kala anak-anak remaja tanggung itu dipulangkan dari sekolah, warga setempat bahu membahu datang ke rumah Mar’i. Sesekali di antara mereka memberikan syaran agar anak-anak malang itu di bawa ke rumah sakit jiwa.
Tiap malam Mar’i bersimpuh di hadapan kebesaran Rob-nya, dia meminta diberikan petunjuk untuk penyembuhan anak-anaknya. Suatu ketika, Tuhan menjawab doanya, muncul satu ilhan supaya buah hatinya dibawa ke “orang pintar” dari Suku Dayak.
Idah dan Siah diobati dengan sejumlah ramuan dan ritual. Mengetahui cara pengobatan yang demikian, Mar’i marah besar. Ia murka karena prinsip-prinsip akidah yang selama ini dipegang teguhnya, dilanggar oleh “dukun” itu, tepat di depan muka Mar’i.
Tanpa berpikir panjang, Mar’i akhirnya membawa pulang anaknya. Perjalanan jauh dari daerah nun jauh di pelosok Kalimantan Timur itu hanya sekedar bertemu dengan “dukun” itu harus meninggal kekecewaan berat dalam relung jiwa Mar’i. Ia tak habis pikir, banyak orang yang mengambil jalan pintas untuk menyembuhkan penyakit, tapi lalai bahkan menabarkan ajaran agama.
Sepulang dari pengobatan itu, Mar’i dan istrinya tak habis pikir. Karena biaya hidup semakin menggunung, ditambah kebutuhan sekolah anak-anaknya yang tumbuh besar, muncul syaran dari teman dekat Sriwati untuk membawa anak-anaknya ke rumah sakit jiwa Samarinda.
Tapi sayang, baru dua hari berada di rumah sakit jiwa, Idah dan Siah “diusir” dari rumah sakit jiwa karena petugas tak mampu mengurus. Mar’i dipanggil manajem rumah sakit untuk menjemput anak-anaknya. Sejak saat itu, kedua putrinya diurus di rumah.
Hanya berselang beberapa tahun setelah kedua putri Mar’i “diusir” dari rumah sakit jiwa, Sriwati jatuh sakit. Dia mengidap penyakit jantung stadium akhir. Kehidupannya hanya ditopang obat. Menurut dokter yang memeriksanya, perempuang periang itu hidup hanya tinggal menunggu hari. Saban malam dia menjerit sakit, sampai satu waktu perempuan yang berkulit putih itu pernah mengeluh kepada teman dekatnya.
“Hidupku tidak akan lama lagi,” kata Sriwati. Benar, hanya beberapa minggu setelah ucapan pamungkas itu, Sriwati dipanggil ke hadirat Tuhan. Ia meninggalkan anak-anaknya yang sedang berperang melawan penyakit stres. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: