SAMARINDA – Edy Ishak, warga RT 27, Kelurahan Gunung Kelua, Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda, tak menyangka karena ulah orang lain, dia harus berurusan dengan manajemen bank. Padahal uang Rp 2 miliar yang dipinjam atas nama dirinya tidak pernah diterimanya.
Pada Metro Samarinda, Edy menyebut, kasus yang bermula pada 2008 itu kini menuai babak baru. Rumah dan sepetak tanahnya di Jalan Pramuka akan dieksekusi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sejatinya, kemarin (24/10) penyitaan itu akan dilakukan pengadilan. Namun ditunda pada Selasa (30/10) mendatang. Alasanya, aparat sedang fokus mempersiapkan dan mengamankan Presiden Joko Widodo.
Kasus itu bermula pada 16 September 2008. Edy mengajukan pinjaman di bank pemerintah yang terletak di Jalan Gajah Mada Samarinda. Berselang sehari, permintaan pinjaman itu diterima oleh pihak bank.
Pada 18 September 2008, bank mengucurkan uang tersebut. Namun dana itu tidak diberikan pada Edy. Melainkan pada pengelola PT Adsco Mandiri yang berlokasi di Jakarta, Muhammad Adiansyah.
“Memang awalnya saya mengajukan pinjaman atas nama PT Adsco Mandiri. Cabangnya yang berlokasi di Samarinda. Saya sendiri yang mengelolanya. Tetapi setelah itu, saya tidak pernah menerima uang itu,” ungkapnya, Rabu (24/10) kemarin.
Edy baru mengetahui bahwa uang tersebut telah digelontorkan bank pada Adiansyah, ketika dana miliaran itu dicairkan sebanyak 50 persen. Pada 22 September 2008, dia tak menyangka bahwa uang tersebut diterima atas nama dirinya.
“Rekening pencairan uang itu juga atas nama saya. Padahal saya tidak pernah menandatangani rekeningnya. Itu sengaja dibuat atas nama saya. Tanda tangan saya dan istri saya dipalsukan,” tuturnya.
Dalam perjalannya, Edy memprotes manajemen bank. Dia juga menyarankan bank untuk meminta angsuran kredit itu pada Adiansyah. Bahkan demi membantu kelancaran kredit bank, laki-laki berkumis itu berkali-kali menemui Adiansyah.
“Dia bilang akan bertanggung jawab. Membayar angsuran bank. Tetapi kredit itu macet. Saya mengejar Adiansyah ini ke Jakarta. Namanya orang licik, dia bilang akan tanggung jawab. Tetapi itu hanya janji,” sesalnya.
Beberapa bulan setelah kredit tak lagi dibayar, Edy didesak pihak bank untuk membayar angsuran itu. Namun Edy tak bersedia memenuhi desakan tersebut. Bank mengambil langkah berbeda. Melakukan pelelangan rumah dan tanah itu lewat Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
“Pada 2015, bank melakukan pelelangan tanpa sepengetahuan saya. Saya didatangi pemenang lelang. Karena merasa keberatan, saya adukan di polda (kepolisian daerah, Red.),” bebernya.
Pada 2017 lalu, pemenang lelang menempuh jalur penyelesaian kasus tersebut di PTUN. Atas perintah pengadilan, eksekusi kembali dilaksanakan. Upaya itu dibatalkan karena Edy berkilah menjadi korban penipuan.
“Rumah dan tanah saya ini dilelang tanpa proses peradilan yang benar. Saya minta pada pengadilan untuk menunda eksekusi. Saya kasih tahu pengadilan, kasus ini sudah dilimpahkan ke kepolisian,” terangnya.
Di Polda Kaltim, Edy mengadukan bank tersebut. Pasalnya, selama ini dirinya dirugikan atas langkah manajemen bank melakukan pelelangan rumah dan lahan miliknya.
“Di polda, kami sudah diperiksa. Sudah diuji di polda, bahwa benar saya tidak pernah menerima uang itu. Sudah ditemukan juga bahwa Adiansyah yang menerima dan menggunakan uang. Tetapi sampai sekarang polda belum memutuskan siapa yang harus bertanggung jawab atas kasus ini,” ucapnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: