Draf RUU Cipta Kerja, Bisa Kontrak Seumur Hidup dan Tak Dapat Pesangon

Ilustrasi buruh.

Kerja! Kerja! Kerja! Slogan Kabinet Kerja era kepimpinan Presiden Joko Widodo periode I ini bakal benar-benar diterapkan. Dalam draft Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja (CK) klaster Ketenagakerjaan, libur cukup sehari dalam seminggu. Bukan cuma itu, siap-siap kehilangan pesangon karena berstatus kontrak seumur hidup.

Ucapkan selamat tinggal pada kenyamanan libur dua hari dalam satu minggu. Dalam draft RUU CK yang diterima Jawa Pos (grup Bontangpost.id), aturan tersebut lenyap. Padahal, aturan ini sebelumnya tercatat jelas dalam pasal 79 UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan.

Pada UU Ketenagakerjaan Pasal 79 ayat 2 poin (b), disebutkan jika waktu istirahat dan cuti meliput istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Kemudian, ada juga poin (d) soal istirahat panjang, di mana tertulis jika istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.

Sayangnya, kedua poin tersebut hilang. Digantikan dengan waktu istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu. Guyonan kerja keras bagai kuda sepertinya akan benar-benar terealisasi.

Tapi yang lebih miris lagi, pekerja terancam berstatus kontrak hingga waktu yang tidak ditentukan alias seumur hidup. Risiko ini muncul sebagai dampak dihapusnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan dalam RUU CK BAB IV Ketenagakerjaan Bagian 2.

Dengan dihapusnya Pasal 59, menurut Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S. Cahyono, maka penggunaan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu atau kontrak bisa diperlakukan untuk semua jenis pekerjaan. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja kontrak hanya dapat digunakan untuk pekerjaan tertentu saja menurut jenis dan sifatnya. Atau, kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Seperti, pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Selain itu, kata dia, pekerja kontrak tidak dapat digunakan untuk jenis pekerjaan yang bersifat tetap. Dengan demikian, selain pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu harus menggunakan pekerja tetap.

”Tapi dengan dihapuskannya pasal 59, berarti tak ada batasan pekerjaan apa saja yang bisa kontrak. Semua sektor bisa diterapkan kontrak,” keluhnya.

Mirisnya lagi, kalau sudah dikontrak tak ada patokan sampai kapan. Karena aturan lama kontrak turut hilang bersama dihapusnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Tak ada lagi batasan pekerja kontrak hanya dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.

”Tidak ada lagi batasan seorang pekerja bisa dikontrak. Akibatnya, bisa saja seorang pekerja dikontrak seumur hidup,” tuturnya.

Kahar mengatakan, aturan ini bakal sangat mencekik pekerja jika disahkan. Perusahaan akan cenderung mempekerjakan buruhnya dengan sistem kontrak kerja dan tidak perlu mengangkat menjadi pekerja tetap. Karena, dengan menggunakan pekerja kontrak maka tidak ada lagi pesangon.

”Karena pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang berstatus sebagai karyawan tetap,” tegasnya.

Nestapa buruh tak berhenti sampai di sana. Masalah cuti dan libur serta upah yang menyertainya juga bikin geleng-geleng kepala. Memang, tak ada penghapusan soal libur haid di pasal 81. Cuti juga tetap diberikan 12 hari seperti di pasal 79 ayat 3. Libur sakit juga dibolehkan dan tetap diberi upah.  Hanya saja, aturan upahnya yang tidak transparan. Hingga mungkin saja bakal diberikan lebih rendah dari yang saat ini sudah berlaku.

Itu tercermin dalam draft RUU CK pasal 93, di mana lima ayat sebelumnya disederhanakan menjadi tiga. Kemudian, ketentuan poin pembayaran upah di ayat dua dikurangi dari delapan menjadi empat poin saja. Tak ada keterangan spesifik soal pembayaran pekerja/buruh ketika tidak masuk bekerja karena menikah, menikahkan, meng-khitan-kan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.

Yang ada hanya, upah dibayar ketika pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan; pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain diluar pekerjaannya dan telah mendapatkan persetujuan pengusaha; dan pekerja/buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya.

Ayat 3 soal besaran upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh ketika sakit di UU ketenagakerjaan pun dihilangkan. Padahal jelas disebutkan bahwa ketika buruh sakit untuk 4 bulan pertama maka upah dibayar 100 persen. Kemudian, untuk 4 bulan kedua, dibayar 75 persen dari upah, empat bulan ketiga dibayar 50 persen dari upah, dan untuk bulan selanjutnya dibayar 25 persen dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

”Benar, bisa jadi upah lebih kecil karena tidak disebutkan detil. Nanti diatur dalam peraturan pemerintah,” ungkapnya.

Terpisah, Sesmenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menampik kabar yang menyebut bahwa pemerintah akan menghapus hak-hak pekerja, termasuk cuti menikah dan cuti hamil.

‘’Enggak gitu lah, enggak ada (penghapusan). Tinggal dibaca saja di RUU-nya. Kadang kekhawatirannya berlebihan, padahal kan niat kita ini selain menciptakan lapangan kerja baru juga untuk meningkatkan kesejahteraan buruh yang existing,’’ ujarnya.

Sehingga, Susi menolak adanya kabar yang menyebut bahwa pemerintah menghapus hak-hak tersebut. Menurut dia, hal itu adalah hak mendasar bagi para pekerja. Sehingga, pemerintah tak mungkin menghapus ataupun mengurangi hak para pekerja.

Selain itu, dia juga menolak kekhawatiran terkait aturan upah minimum berdasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang tertera pada Pasal 88D. ‘’Ada pasalnya, kalau pertumbuhannya minus, minimal tetap sama tahun yang lalu. Intinya, upah nggak boleh turun,’’ imbuhnya.

Hal itu sekaligus menampik juga kekhawatiran pada Pasal 88E terkait upah minimum padat karya yang diatur terpisah. Banyak pihak yang mengkhawatirkan memicu terjadinya rezim upah murah yang merugikan pekerja khususnya di sektor tekstil pakaian jadi dan alas kaki.

Susi menyebut, kekhawtiran itu sejatinya tak perlu ada. Sebab, lanjutnya, niat awal pemerintah membuat omnibus law cipta kerja yakni untuk menciptakan lapangan kerja.

Dia memerinci, 45,8 juta orang di Indonesia belum bekerja penuh waktu. Persoalan itu lah yang disebutnya harus diselesaikan. ‘’Teman-teman serikat buruh kan totalnya kira-kira anggotanya 3,2 juta. Nah ini ada 45,8 juta yang belum bekerja penuh. Kita ini mem-balance antara menciptakan lapangan kerja baru dengan meningkatkan kesejahteraan buruh yang ada,’’ jelasnya.

Pemerintah tentu perlu memikirkan dua hal tersebut yakni penciptaan lapangan kerja sekaligus meningkatkan kesejahteraan buruh yang sudah ada. Pemerintah, lanjutnya, tentu berkepentingan untuk mendorong dua hal itu untuk mendorong aktivitas konsumsi dan daya beli sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

‘’Enggak ada cerita bahwa pemerintah mau menurunkan kesejahteraan buruh, malah rugi perekonomian kita,’’ tegasnya.

Susi berharap, substansi pokok itu mampu dipahami seluruh pihak. Dia mengimbau agar seluruh pihak untuk membaca dan memahami lebih dahulu sebelum berasumsi.

Selain itu, dia juga tak habis pikir adanya anggapan bahwa omnibus law cipta kerja disebut hanya mementingkan kepentingan pengusaha semata. Justru, pemerintah berupaya menyeimbangkan seluruh masukan baik pemerintah maupun buruh.

Dia juga menyayangkan bahwa ada anggapan buruh tak diikutsertakan dalam pembahasan. Terkait dengan penolakan yang dilakukan oleh beberapa serikat buruh, dia pun tak bisa berbuat banyak.

‘’Ya kalau kita sudah niat baik mengajak tapi ditolak, masak mau kita paksa. Dari 14 (serikat pekerja) itu 12 atau 13-nya malah beberapa hari ini rapat terus,’’ katanya.

Sebagian besar anggota serikat buruh disebutnya telah duduk bersama untuk membahas omnibus law cipta kerja. Pemerintah juga tak bisa memaksakan agar serikat buruh itu seluruhnya sepakat. ‘’Wong niatnya baik kok. Minta dilibatkan tapi begitu dikasih kesempatan malah enggak mau. Ya sudah, enggak papa,’’ jelasnya.

Selain itu, dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga mengusulkan agar pemerintah bisa merumuskan kembali ketentuan UU Cipta Kerja ataupun UU lain lewat Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini tertuang dalam Pasal 170 dari draf Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Pasal 170 ayat 1 berbunyi : “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini,’’.

Susi menjelaskan, khusus untuk PP, pemerintah berkomitmen untuk menerima usulan apapun sejak awal. ‘’Betul-betul tak kasih penuh (usulan) ke teman-teman pekerja. Mana ada coba bikin PP seperti itu dalam sejarah. Ini betul-betul kita libatkan dari nol,’’ jelasnya.

Dengan kondisi itu, jika masih ada yang menolak untuk dilibatkan, tentu pemerintah tak bisa berbuat banyak. Sebab, dia pun heran jika ada yang masih tetap bersikukuh menolak meski telah diajak berkali-kali untuk membahas.

‘’Ini niat serius dari dulu. Pada saat komunikasi diserang sana-sini. Tapi enggak papa, ini bagian dari demokrasi. Yang jelas, pemerintah berkomitmen memenuhi janjinya untuk melibatkan pekerja,’’ katanya. (mia/dee/kpg)

Print Friendly, PDF & Email

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version