bontangpost.id – Keputusan pemerintah dan DPR menarik proses perizinan ke pusat lewat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dinilai merugikan daerah. Sebaliknya, kebijakan itu membuka celah main mata antara pemodal dengan elite pusat. Dampaknya, eksploitasi sumber daya alam yang begitu masif mengorbankan lingkungan Kaltim.
“Saya sulit mencerna maksud dan tujuan pengambilan kewenangan daerah oleh pusat. Sebab, naskah akademiknya tidak ada. Saya cari belum dapat,” kata pemerhati sosial dan lingkungan Kaltim, Niel Makinuddin kepada Kaltim Post, Selasa (13/10).
Menurut dia, naskah akademik begitu vital dalam menjelaskan argumen penarikan kewenangan tersebut. “Kalau tujuannya mempercepat dan memberikan kepastian, kenapa tidak diberikan penguatan dan penajaman terkait kewenangan pemerintah daerah di UU 26/2007?” kritiknya.
Lanjut dia, Pasal 10–11 UU 26/2007 tentang Penataan Ruang mengatur wewenang pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Dengan adanya aturan baru, dia menduga ada semangat sentralisasi yang sangat kuat.
Menurut dia, sangat tidak tepat jika pemerintah pusat mengelola Indonesia yang demikian besar, luas, beragam, dengan cara sentralisasi pemerintahan. Dengan beban pemerintah pusat yang semakin besar, Niel menyatakan, kontrol kualitas akan menjadi persoalan serius. Bila ini terjadi, tekanan kerusakan lingkungan akan semakin besar.
“Lalu bagaimana kalau pengusaha daerah harus berurusan ke pusat? UU Cipta Kerja ini masih memerlukan lebih 400 aturan setingkat PP (peraturan pemerintah). Bisa dibayangkan betapa “leluasa” eksekutif (presiden dan kabinetnya) mewarnai arah dan teknis implementasi atas UU Cipta Kerja ini,” katanya. Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) ini menyebutkan, penyusunan PP sebagai turunan UU Cipta Kerja perlu waktu cukup lama. Terlebih, jika ingin menghasilkan aturan pelaksanaan yang berkualitas dan minim konflik.
Pada akhirnya, Niel berpandangan, Omnibus Law UU Cipta Kerja akan membuka ruang lebar untuk main mata dan conflict of interest (konflik kepentingan) antara pemerintah pusat dan investor besar. Sejatinya, penataan ruang tidak hanya untuk investasi. Tetapi juga untuk tujuan konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya.
“Bagaimana pusat mampu dengan cermat dan cepat serta akurat mengakomodasi berbagai keragaman dan dinamika di berbagai daerah tersebut? Bagaimana kalau ada kasus investasi versus sosial budaya daerah? Investasi versus konservasi? Apakah ada jaminan bahwa pusat lebih pro kepada lingkungan/konservasi? Pusat lebih pro kepada pengusaha daerah?” ungkapnya.
Di luar itu, Niel menilai, penyusunan dan pembahasan Omnibus Law UU Cipta Kerja minim partisipasi pemangku kepentingan dan publik. Sehingga rasa memiliki (ownership) dan aspirasi publik menjadi lemah dan memunculkan kecurigaan. Bahkan, penolakan di berbagai kota di Indonesia. Manakala, lanjut dia, ada beberapa versi draf RUU Cipta Kerja yang mencuat. Seperti draf 5 Oktober pada sidang paripurna, draf 9 Oktober, dan draf 12 Oktober yang konon akan diserahkan kepada presiden.
“Kenapa beda antara yang dibahas dan disetujui di paripurna, dengan yang belakangan mau diserahkan ke presiden? Lalu apa yang diputuskan di paripurna 5 Oktober lalu? Ini sungguh, prosesnya sungguh tidak profesional, cacat, tidak aspiratif, grusa-grusu, dan eksklusif. Dan kayaknya zaman ini ada proses yang tidak tertib dan dipaksakan,” tukas Niel.
Pengamat lingkungan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Bernaulus Saragih berpendapat serupa. Menurut dia, banyak hal yang terberangus dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Terutama kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan. Menurut dia, pengurangan kewenangan pemerintah daerah di dalam pemberian proses perizinan, akan bersifat positif. Terutama bagi kemudahan berusaha bagi pengusaha besar.
Bernaulus mengungkapkan, Pemprov Kaltim, maupun pemkab/pemkot, perlu bersikap terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. Sebab, sumber daya alam di daerah ini menjadi tujuan investasi. Pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah pusat. Maka potensi kreasi dan inovasi pemerintah daerah akan hilang. ”Ketika pemerintah kabupaten dan kota, tidak punya kewenangan mengawasi, akan menjadi ancaman serius bagi daerah,” ungkapnya.
Fondasi ekonomi Kaltim yang mengandalkan sumber daya alam (SDA) disebut akademisi hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah, bakal terancam. “Pasti. Kewenangan daerah yang ditarik ke pusat, akan mempercepat ruang eksploitasi SDA. Daerah tidak punya lagi kontrol terhadap itu, sebab sudah tidak ada lagi atribusi kewenangan,” kata lelaki yang akrab disapa Castro tersebut.
Sebelumnya, pemerintah daerah berperan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Di dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjelaskan bahwa amdal dinilai oleh komisi yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Tak ada amdal, tak boleh terbit.
Sementara dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, dokumen amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim uji dari Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat. Tim uji ini terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Keputusan kelayakan lingkungan hidup ini menjadi persyaratan penerbitan perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah.
Kaltim yang kaya akan sumber daya alam (SDA), bakal sangat dilirik investor. Namun, sayangnya Kaltim tidak bisa andil banyak untuk urusan investasi di tanahnya sendiri. Apalagi, tidak hanya urusan lingkungan, izin prinsip, izin mendirikan bangunan (IMB), izin domisili, izin usaha toko modern dapat dilakukan secara terpusat melalui sistem elektronik. Sehingga, tidak perlu lagi perizinan dan persetujuan dari masing-masing daerah.
“Jika pemerintah pusat mencabut kewenangan pemerintah kabupaten, otomatis kewajibannya juga harus dicabut. Sebab jika tidak, maka pemerintah daerah akan jadi sasaran amarah masyarakat jika ada permasalahan yang timbul akibat kebijakan dari pemerintah pusat,” terangnya dalam sebuah webinar kemarin (13/10). (kip/nyc/riz/k8/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post