Oleh: Dahlan Iskan
Ini seperti kisah-kisah petualangan remaja ala Enid Blyton. Sejumlah anak remaja masuk gua. Terjebak di dalamnya. Berhari-hari. Orang tua mereka cemas. Pahlawan tidak segera datang.
Tapi ini sungguhan. 12 remaja beneran ini sudah dua minggu terjebak dalam gua beneran. Terperangkap.
Minggu kemarin lebih 1.000 wartawan beneran berkumpul di depan gua. Sejak beberapa hari sebelumnya. Tagihan telepon saya pasti membengkak. Kisah ini terlalu dramatik untuk dilewatkan. Saya harus menuliskannya. Dari jarak jauh. Dari Samarinda.
Drama ini bermula tanggal 23 Juni lalu. Hari Sabtu. Saat Korea Selatan melawan Mexico. Di babak penyisihan Piala Dunia Russia.
Saat itu satu tim sepakbola remaja di pedalaman Thailand giat berlatih. Kampung mereka di pegunungan. Sulit dijangkau. Di perbatasan antara Thailand dan Myanmar. Dekat kampung mereka ada gua terkenal: Tham Luang.
Panjangnya 10 km. Bercabang. Berbelok. Mulut guanya kecil. Di dalamnya melebar-menyempit. Dasar guanya naik-turun.
Pelatih 12 anak itu lagi absen. Hari itu tim diasuh asisten pelatih berumur 25 tahun: Ekapol. Nama panjangnya sulit dieja: Ekapol Chanthawong.
Sebelum sesi latihan Ekapol mengajak anak asuhnya rekreasi sambil bertualang: masuk gua. Ini penting. Untuk pembentukan kekuatan mental pemain sepakbola.
Salah seorang remaja itu, Pheeraphat, dipesani khusus oleh orang tuanya: habis latihan agar cepat pulang. Malam itu adalah malam ulang tahunnya yang penting: sweet seventeen. Umurnya 16 tahun. Tapi dihitung 17 untuk tahun Thailand. Yang punya kalender sendiri.
Orang tua Pheeraphat sudah masak-masak. Dan beli kue ultah. Juga sudah mengundang kerabat.
Tapi sampai matahari tenggelam Pheeraphat belum pulang. Tamu mulai berdatangan. Kepanikan mulai muncul. Ditelepon tidak ada nada sambung.
Sesama orang tua saling terhubung. Sama-sama bingung. Sama-sama gagal kontak. Satu-satunya anggota tim yang bisa tersambung mengecewakan: hari itu ia tidak ikut latihan.
Pelatih utama tim sepakbola desa itu ikut panik. Tapi juga gagal mengontak asistennya. ”Sejak pagi saya sudah berpesan padanya agar hati-hati. Agar naik sepedanya di posisi paling belakang. Untuk bisa mengawasi anak asuh,” ujar sang pelatih pada para orang tua.
Sampai tengah malam tidak ada kabar. Usia anak-anak itu antara 11 sampai 16 tahun. Kepanikan kian tinggi. Hujan deras tidak henti-hentinya. Pegunungan itu kian mencekam.
Bulan Juli-Agustus adalah musim moonson. Kita, di negara tropis, hanya mengenal musim kemarau dan musim hujan. Dunia belahan utara dan selatan hanya mengenal empat musim: dingin, semi, panas, gugur.
Tapi di belahan dunia tertentu mengenal musim moonson: India, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, Tiongkok bagian selatan. Yakni di wilayah antara dua musim dan empat musim.
Di musim moonson seperti ini hujan, badai, banjir dan taifun hampir terjadi setiap hari. Simaklah berita tv. Selalu ada banjir besar di negara-negara itu.
Musim moonson adalah musim yang paling tidak enak di wilayah-wilayah tersebut. Kebalikan dari kenyamanan di Sumba. Bukan saja terlalu basah. Tapi udaranya juga sangat humid. Sumuk. Kemringet. Hen men. Sweaty. Jangan ke Thailand dan sekitarnya di musim seperti ini. Ke Sumba saja.
Sampai sekian hari itu tidak ada yang tahu kalau anak mereka sebenarnya terjebak di dalam gua. Tidak ada yang mendengar rencana ke gua. Tidak ada yang menyangka anak mereka diajak ke gua di musim moonson.
Keesokan harinya keberadaan mereka masih gaib. Hujan masih tercurah dari langit yang hitam. Hari-hari berikutnya tetap gaib. Satu negara ikut heboh. Mistis ikut mewarnai.
Akhirnya ada yang menemukan sepeda mereka. Di mulut gua. Yang tergenang air.
Hampir dipastikan 12 remaja dan satu asisten pelatih itu ada di dalam gua. Kalau begitu masihkah mereka hidup? Bagaimana cara memasuki gua yang mulutnya tertutup air? Apakah mereka punya makanan? Seberapa jauh mereka memasuki gua?
Diskusi publik pun beralih: dari di mana mereka, ke bagaimana cara menolong mereka. Tiap hari berita di Thailand didominasi drama gua ini. Seperti tidak ada piala dunia di sana. Tim Prancis, tim Inggris kalah populer dengan tim sepakbola desa pegunungan ini.
Ketika drama ini menjadi berita internasional, tim penyelamat dunia turun tangan. Memperkuat tim penyelamat bentukan pemerintah. Anggota tim umumnya para penyelam. Dari angkatan laut. Dan profesional.
Seorang mantan penyelam angkatan laut Thailand jibaku. Akan masuk ke mulut gua itu. Pemerintah mengijinkan. Atas dasar reputasi orang ini.
Nama: Saman Kunont.
Umur: 38 tahun.
Prestasi: Juara 4 kali lomba petualang. Selalu ikut kejuaraan petualangan. Peraih tropi menyeberangi sungai Kwai.
Dengan oksigen cukup Saman memasuki air di mulut gua. Membawa banyak oksigen untuk para remaja itu.
Satu hari ditunggu. Tidak ada kabar dari Saman. Ternyata Saman meninggal. Kehabisan oksigen. Drama pun bertambah seru. Satu pahlawan telah ikut jadi bintang.
Penyelamat dari berbagai negara tertantang. Mereka berdatangan. Menawarkan pertolongan. Terkumpul tim penyelamat dari sembilan negara: Tiongkok, Australia, Inggris, Russia, Amerika dan sebagainya. Bahkan bos besar Tesla ikut turun tangan: Elon Musk. Ia menawarkan alat pendeteksi. Bagaimana keadaan alam di dalam gua. Juga menawarkan mega baterai.
Hari silih berganti. Jalan keluar tidak segera ditemukan. Publik gemes. Orang tua mereka pada lemes.
Akhirnya didatangkan pompa raksasa. Untuk menguras air di mulut gua.
Pompa bekerja 24 jam sehari. Air yang dipompa kelua sudah mencapai 128 juta liter. Mulut gua tidak juga terbuka. Hujan moonson tidak kunjung berhenti.
Maka muncul ide melakukan pertolongan dalam bentuk lain: mengebor gunung di atas gua itu. Tujuannya: agar ada udara masuk. Siapa tahu mereka kekurangan oksigen. Yang akan membuat mereka mati lemas.
Satu tim pendahuluan mencari lokasi pengeboran. Mereka menaiki terjalnya gunung. Kendaraan mereka tergelincir. Masuk jurang. Semua mengalami cidera. Meski tidak ada yang tewas.
Pada hari kesepuluh datang pahlawan baru: dua penyelamat dari Inggris. Nama mereka: Richard Stanton dan John Volanthen. Umur 50 dan 40 tahun. Yang satu petugas pemadam kebakaran. Satunya lagi teknisi internet. Tapi keduanya kompak: lebih menyukai petualangan dan penyelamatan.
Keduanya menjauh dari wartawan. Ketika banyak yang ingin populer, keduanya tidak mau diwawancara. ”Saya ke sini untuk berbuat. Bukan untuk bicara,” katanya singkat.
Lalu menyelam.
Memasuki mulut gua.
Lenyap ke dalam kegelapan.
Berhasil!
Keduanya menemukan 12 remaja itu. Dan asisten pelatih mereka.
Mereka itu terjebak di rongga ketiga di dalam gua itu. Duduk-duduk di atas tanah yang agak tinggi. Dikelilingi genangan air. Luas tanah gundukan itu hanya sekitar 10m2. Sangat sempit. Gelap. Pengap.
Mereka masih hidup. Semua. Masih tidak kelihatan lemah. Atau frustrasi. Atau panik. Padahal sembilan hari sudah. Terjebak di dalam gua. Tanpa tahu apakah akan ada jalan keluarnya.
Dua orang itu membawa makanan. Juga membawa harapan. Keberadaan mereka direkam. Masing-masing menyampaikan pesan kepada orang tua. Dalam bentuk rekaman video.
Mereka juga diminta menulis surat. Untuk masing-masing keluarga. Tapi umumnya hanya menulis pendek. Mengabarkan keadaan mereka baik-baik saja.
Sang asisten pelatih menulis agak panjang: berjanji akan terus bersama anak asuhnya, memperhatikan mereka dan yang utama meminta maaf pada semua orang tua mereka.
Semua itu dibawa ke luar gua. Kegembiraan lantas melanda seluruh negara. Hujat dan caci berganti puja dan puji.
Publik sepakat: mental anak-anak mereka kuat berkat asisten pelatih itu. Asisten itulah yang terus mengajarkan optimisme pada anak asuhnya. Mengajarkan sabar. Mengajarkan doa. Mengajarkan tenggang rasa. Membagi makanan yang ada sehemat-hematnya. Secara merata. Agar tidak ada yang rebutan makanan. Atau yang kuat dapat makanan lebih banyak.
Makanan itu sangat terbatas. Hanya yang dibeli untuk mengulangtahuni teman mereka: Pheeraphat. Sebelum maauk gua sang asisten membeli makanan kecil untuk ulang tahun itu.
Asisten pelatih ini memang bukan pemuda biasa. Ia ditinggalkan mati ayahnya. Saat umurnya baru 10 tahun. Lalu memutuskan untuk mengabdi di jalan Tuhan: sekolah bikhu Budha. Lalu tumbuh menjadi bikhu remaja.
Tapi ibunya sakit keras. Ia harus merawat ibunya. Ia pamit meninggalkan pagoda. Untuk sembahyang yang sebenarnya: melayani ibunya. Sampai ibunya meninggal dunia.
Lalu jadi pembina remaja di kampungnya.
Publik percaya di dalam gua itu sang asisten terus menguatkan anak-anaknya.
Tim penyelamat Inggris itu justru melihat sang asistenlah yang fisiknya lemah. Diduga ia yang paling sedikit mengambil jatah makannya. Selama sembilan hari itu sang asisten lebih banyak puasa.
Minggu kemarin ribuan orang berkumpul di depan gua. Wartawannya saja lebih seribu orang. Sudah dua hari ini tidak ada hujan. Hanya mendung menggelayut seperti tersangkut jaring superman.
Kemarin adalah hari terbaik untuk penyelamatan akhir. Kalau tidak, mendung itu akan runtuh. Musim moonson belum lewat. Air dalam gua bisa-bisa naik lagi. Mengancam daratan kecil yang dihuni para remaja itu.
”Mereka berada 1,5 km dari mulut gua,” ujar penyelam Inggris itu. ”Saya harus menyelam di air sekitar separo dari jarak itu,” tambahnya.
Akankah hari Minggu kemarin menjadi hari kemerdekaan mereka? Kita tunggu beritanya sekarang ini. Saat Anda menjadi pembaca pertama Disway.id Senin subuh ini. (dis)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post