SAMARINDA – Terdapat dua lubang tambang di RT 9 Desa Bukit Raya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Sejumlah lubang itu diduga milik PT Bukit Baiduri Energi (BBE).
Lubang tambang yang digunakan para remaja tanggung pada Ahad (4/11) lalu yang berakhir nahas itu berdekatan dengan pemukiman warga. Di pinggir lubang itu, terdapat kebun yang ditanami ubi kayu dan beragam jenis sayur-sayuran.
Pada hari yang sama, setelah warga mengebumikan jasad Ari Wahyu (12), penduduk setempat menutup lubang tambang tersebut. Sebelumnya, aparat di Kecamatan Tenggarong Seberang telah memasang garis polisi di sekitar lubang itu.
Sekira 200 meter dari lubang tambang tersebut, terdapat satu lubang lain yang diduga milik PT BBE. Dari pantauan Metro Samarinda, sekira 20 meter dari lubang itu, terdapat tumpukan batu bara.
Sejumlah lubang eks tambang tersebut memiliki kedalaman yang berbeda. Lubang yang digunakan mendiang Ari untuk berenang bersama delapan temannya, berkedalaman sekira satu meter.
Kepala Desa Bukit Raya, Sutardi mengatakan, kasus kematian di lubang tambang di kecamatan tersebut tidak hanya terjadi pada Ari. Sebelumnya, dua orang remaja meninggal dunia di lokasi eks tambang di Kecamatan Tenggarong Seberang.
“Dua orang itu bukan warga saya. Tetapi warga di desa sebelah. Memang di lubang-lubang itu enggak ada peringatan dan pengamanan. Makanya anak-anak bisa masuk dan mandi di situ,” katanya, Senin (5/11) lalu.
Sutardi menyebut, lubang-lubang eks tambang itu sengaja tidak ditutup. Alasannya, pada saat musim kemarau, warga menggunakan air di lubang tambang itu untuk mengairi lahan pertanian.
“Bahkan telah ada paket irigasinya. Lubang itu saja bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah seluas 150 hektare,” jelasnya.
Sutardi menyatakan, keinginan warga tersebut diudukung pemerintah desa. Sudah miliaran anggaran digelontorkan untuk pembuatan irigasi demi mengalirkan air dari lubang tambang ke ratusan hektare sawah di Desa Bukit Raya.
Ada pula penduduk setempat yang menggunakannya untuk pengairan empang dan kebutuhan sehari-hari di sejumlah sekolah di desa tersebut. “Untuk mengalirkan air di situ tidak harus pakai mesin. Cukup alirkan pakai pipa. Mudah saja. Mungkin itu alasan warga memanfaatkan air di lubang itu,” katanya.
Namun tidak sedikit pula warga yang mendesak lubang itu ditutup. Hal itu terbukti setelah tragedi nahas yang terjadi pada Ahad lalu, warga berinisiatif menutup sendiri lubang tambang itu.
Kata Sutardi, pemerintah desa tidak dapat mengambil kebijakan di tengah pro dan kontra tersebut. Karena itu, hanya pemerintah provinsi dan perusahaan yang berhak menutupnya.
“Hasil pertemuan saya dengan warga, mereka ingin mempertahankan lubang itu. Harusnya kalau undang-undang mewajibkan harus ditutup, mau enggak mau harus ikuti aturan. Tetapi di sisi lain, warga juga memanfaatkannya. Ini yang membuat kami serba dilematis,” terangnya.
Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kukar, Andika Abbas menegaskan, pemanfaatan lubang tambang oleh warga untuk pengairan lahan pertanian tidak dapat dijadikan alasan bagi perusahaan tak menutup lubang tersebut.
Pasalnya, setelah batu bara dikeruk, perusahaan memiliki kewajiban untuk menutup lubang itu. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba serta Undang-Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
“Kalau perusahaan membiarkan lubang itu dengan alasan dimanfaatkan untuk kepentingan warga, sama saja perusahaan tidak bertanggung jawab,” kata Andika.
“Pemerintah desa bisa mencari alternatif lain untuk pengairan sawah. Dana desa dari pemerintah pusat bisa digunakan untuk pembuat irigasi dan penggalian sumber air untuk pertanian serta kebutuhan sehari-hari,” imbuhnya.
Andika berpendapat, kematian anak-anak dan remaja sebanyak 31 orang di lubang tambang yang tersebar di Kaltim, mestinya mendorong pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk segera mendesak perusahaan menutup ribuan lubang tambang di Benua Etam.
“Selain itu, meskipun kewenangan penindakan perusahaan yang melanggar aturan itu ada di pemerintah provinsi, bukan berarti pemerintah kabupaten lepas tangan. Harus ada langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan masalah ini,” tegasnya.
Andika juga meminta DPRD kabupaten/kota dan provinsi menggunakan fungsinya. Harapannya tidak ada lagi korban yang meninggal di lubang tambang. “Selama ini, fungsi kontrol dewan itu sangat lemah terhadap perusahaan tambang batu bara. Sekarang kami tagih wakil rakyat turun tangan,” pungkas dia. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: