Oleh: Jamaluddin Rosyidi
CEO Bimbel ME dan Penggiat Pendidikan Bontang
Bontang Post, minggu, 11 Juni 2017, merilis berita tentang persetujuan PGRI Bontang dan juga tiga kepala sekolah negri di Bontang tentang perubahan sistem sekolah menjadi Full day School (FDS).
Meski sampai saat ini masih menunggu juklak/juknis dari dinas terkait. kalau kita tilik dari otonomi pendidikan yang dimiliki daerah dalam undng-undang sistem pendidikan nasional kita seharusnya kita bisa memilih.
Menilik awal wacana Full day School (FDS) yang digulirkan setahun lalu oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Effendy, sebenarnya menemui pro-kontra yang cukup tajam. Banyak pakar pendidikan maupun pemerhati permasalahan sosial menganggap ide penerapan FDS sebagai bagian sistem pendidikan nasional sudah cacat dari awal secara konsep karena tidak memperhatikan realita masyarakat yang beragam.
Terlepas dari pro-kontra tentang rencana penerapan FDS, mari kita tinjau masalah FDS ini dari kacamata tanggung jawab mendidik anak. Pertanyaan terbesarnya adalah siapa yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak? Secara normatif kita akan menjawab orang tua bukan? Pastinya begitu. Tapi praktiknya bagaimana?
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan dengan beragam bakat bawaannya. Tuhan pasti ‘menitipkan’ anak kepada orang tua yang tepat, dan tidak mungkin salah. Orang tua yang mampu membangun anaknya untuk memenuhi potensi terbaiknya. Tinggal masalahnya sebagai orang tua kita terkadang abai dengan keunikan masing-masing anak sehingga memperlakukan anak sama saja.
Saya yakin semua orang tua mensekolahkan anaknya tentu bertujuan baik agar sang anak mampu menempuh jalan hidup terbaiknya nanti. Banyak orang tua yang kemudian terjebak ‘mewakilkan’ pendidikan anaknya seutuhnya kepada guru sekolah dan kemudian berlepas diri terhadap pendidikan anak.
Padahal sekali lagi kalau ditanyakan siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak jawabnya pasti sama, yaitu orang tua! Lantas dimana dan bagaimana relasi orang tua dan guru seharusnya dalam proses pendidikan anak?
Sebelum menjawab tentang relasi orang tua-guru dalam konteks pendidikan anak, kita harus mencermati dulu sebuah masalah yang lebih mendasar. Apa itu? Hampir sebagian besar -kalau tidak boleh dikatakan semua- orang tua tidak memiliki visi atau gambar besar tentang pendidikan anaknya.
Ketidaktahuan akan bakat unik tiap anak kemudian menjadikan orang tua tidak memiliki visi tentang pendidikan anaknya. Jadilah kemudian mendidik anaknya seperti air mengalir. Waktu umur anak masuk TK dimasukkanlah ke TK, waktu umur cukup masuk SD ya masuk SD. Demikian seterusnya. Bahkan pemilihan sekolah pun jarang sekali mempertimbangkan faktor bakat anak!
Dalam ajaran Islam yang saya yakini -begitu juga saya yakin dalam agama lain- tanggung jawab mendidik anak adalah orang tua. Bukan pihak yang lain. Bahkan guru sekalipun berfungsi hanya ‘membantu’ orang tua untuk memenuhi tanggung jawab mendidikan anaknya.
Masalahnya orang tua terkadang merasa terlalu sibuk atau kurang cakap dalam mendidik anaknya sehingga secara sengaja atau tidak meletakkan tanggung jawab pendidikan kepada guru.
Seharusnya guru ‘hanya’ menjadi mitra bagi orang tua bukan pelaku utama pendidikan anak. Sampai disini saya kira semuanya sepakat. Kendala utama yang selama ini ada adalah kurangnya -kalau tidak mau dikatakan tidak adanya- komunikasi yang intens antara orang tua dan guru sehingga kedua pihak seakan berjalan sendiri-sendiri.
Secara khusus, masyarakat Bontang dengan kelas pekerjanya yang begitu dominan melahirkan para ayah dengan interaksi yang minim dengan anak. Meski kendala ini harusnya bisa diatasi jika ada kemauan.
Lagi-lagi ini kemudian terbentur dengan habisnya energi orang tua setelah sibuk bekerja. Begitupun dengan sang ibu, kalau tidak berkarier di luar, menjadi ibu rumah tangga pun terhambat dengan bekal ilmu yang minim.
Sehingga kebingungan dalam mendidik anak tampak sekali sering kita lihat. Solusinya sebenarnya sederhana yaitu baik ayah maupun ibu mau belajar. Masalahnya mau kah kita? (Insyaallah tulisan berikutnya akan membahas tentang menjadi orang tua yang belajar).
Dengan peta masyarakat Bontang yang mayoritas pekerja tersebut, penerapan full day school akan semakin meminimkan antara interaksi yang terjadi antara orag tua dan anak. Belum lagi dengan beban pekerjaan rumah dan seabreg tugas yang diterima siswa. Bisa-bisa interaksi yang terjalin antara orang tua dan anak hanya akan sebatas basa-basi tanpa makna. Khawatirnya kemudian anak pada akhirnya akan kehilangan bonding dengan orang tua.
Jangan lupakan pula mitra orang tua dalam membekali anaknya dengan pengetahuan agama baik berupa guru-guru ngaji maupun madrasah-madrasah diniyah (madrasah yang bergerak dalam bidang keagamaan) yang biasanya dilaksanakan sore hari.
Apa yang kemudian kita harapkan dari sekolah yang hanya memberi porsi pelajaran agama dua jam seminggu? Maka peran guru ngaji atau madrasah diniyah menjadi tak dapat dinafikan. Kalau sistem sekolah berubah jadi full day, dimana kita ‘meletakkan’ guru ngaji dan madrasah diniyah.
Kekhawatiran akan pengaruh buruk apabila siswa banyak bergaul di luar sekolah dengan sistem pendidikan model sekarang yang menjadi dasar dari wacana pelaksanaan FDS tidaklah begitu serta merta hilang dengan penerapannya. Ingat pengaruh buruk bagi anak-anak kita tidak hanya melalui pergaulan yang melibatkan kontak fisik, tapi juga media sosial juga sangat berpengaruh. Solusinya satu sebenarnya, jadilah orang tua yang sebenarnya buat anak. Emban tanggung jawab sebagai orang tua. Jangan limpahkan sepenuhnya kepada guru. Kalau belum bisa, maka belajarlah! (**)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post