Pandemi Covid-19 memantik banyak pihak untuk berkontribusi. Termasuk para insinyur alumnus Teknik Mesin ITS. Salah satunya Galih Priyo Atmojo yang membuat mesin polymerase chain reaction (PCR) yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus penyebab Covid-19.
JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Surabaya
Mesin PCR yang dibuat Galih Priyo Atmojo ditunjukkan pada Selasa siang (7/4/2020). Dia membawa mesin tersebut ke sebuah rumah di daerah Bratang. Mesin itu tidak lebih besar daripada kotak sepatu. Bentuknya bisa dibilang belum tertata rapi. Ibarat manusia, hanya organ dalam. Belum ada lapisan luar atau kulit penutup. Namun, secara fungsi, mesin PCR sudah bisa digunakan.
’’Pengaturan suhu naik turunnya saya sesuaikan dengan jurnal ilmiah yang saya baca,’’ kata Galih.
Alumnus Teknik Mesin ITS angkatan 2006 itu mengakui, dirinya tidak mengerti tentang dunia medis. Namun, untuk membuat alat yang bisa mengatur suhu naik dan turun dengan menggunakan mesin secara otomatis, itulah yang bisa dilakukan.
Dari berbagai referensi prinsip PCR atau reaksi berantai polymerase, setidaknya ada tiga tahap utama. Salah satunya denaturasi atau peleburan yang dilakukan dalam suhu 96 derajat Celsius.
Galih mengatur suhu tersebut selama 30 detik. Pada tahap itu, ikatan hidrogen DNA akan terputus dan DNA menjadi berberkas tunggal.
Berikutnya proses annealing atau penempelan dengan suhu 65 derajat Celsius. Dia membuat proses tersebut selama 30 detik. Kemudian, tahap pemanjangan dengan suhu 74 derajat Celsius. Galih mengaturnya dalam waktu 40 detik. Tiga siklus itu dibuat berulang-ulang sehingga DNA copy yang didapat bisa banyak.
’’Tapi, pengaturan suhu dan lamanya itu sangat bergantung pada kebutuhan. Nah, di sinilah kami perlu komunikasi juga dengan user atau ahli di bidang kesehatan,’’ ungkap Galih.
Dia menyebutkan, alat rancangannya itu memang masih perlu penyempurnaan. Namun, bukan tidak mungkin akan menjadi sangat berguna untuk industri atau dunia kesehatan dalam negeri. Terutama di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Peranti PCR merupakan salah satu yang dapat dimanfaatkan untuk deteksi orang yang menjadi korban virus korona generasi baru tersebut.
Galih menceritakan bahwa sepekan lalu dirinya dihubungi M. Nur Yuniarto, salah seorang dosennya di Teknik Mesin ITS. Mereka pernah satu tim dalam kelompok mobil hemat energi Sapuangin. Mereka pernah mengikuti lomba ke luar negeri yang diselenggarakan Shell.
’’Kami diajak untuk berpikir bareng apa yang kira-kira bisa kita buat untuk penanganan virus ini. Kami juga ingin berkontribusi,’’ ungkap Galih.
Dia pun tebersit untuk membuat PCR. Menurut dia, alat PCR di pasaran masih banyak yang berasal dari luar negeri. Harganya pun sangat mahal. Padahal, anak Indonesia sendiri bisa membuat peralatan tersebut. Selain PCR, ada tim lain yang membuat ventilator otomatis.
Pengerjaan mesin PCR digarap sendiri. Galih sudah biasa berurusan dengan mesin serta microcontroller. Setelah mengumpulkan informasi yang cukup dari berbagai sumber-sumber tepercaya dan ilmiah, dia pun mulai belanja peralatan.
’’Komponen yang utama itu pendingin dan pemanas. Heater pemanas pakai elemen 12 volt. Sedangkan pendinginnya sementara masih pakai ukuran 120 watt. Tapi, itu nanti sangat bisa disesuaikan dengan kebutuhan,’’ jelas Galih.
Pria kelahiran Malang, 15 Desember 1987, itu hanya butuh waktu sepekan untuk merakit peralatan tersebut. Ada alat-alat yang dibeli langsung di toko elektronik di Surabaya. Ada pula yang beli secara online. Untuk saat ini, kebutuhan peralatan itu masih sangat mudah didapat.
Dana untuk pembelian komponen tersebut diperoleh dari sumbangan para alumnus dan rekan-rekan lainnya. Termasuk dari Nur Yuniarto.
’’Kalau yang ini habisnya sekitar Rp 2 juta−Rp 3 jutaan,’’ tuturnya.
Untuk memprogram peralatan tersebut, Galih mengatakan hanya butuh waktu sekitar dua hari. Galih yang biasa menjadi freelance engineer memang punya banyak pengalaman untuk pemrograman mesin. Dia pun langsung memprogram di peranti microcontroller yang diletakkan di bawah display pengaturan.
’’Lama tidaknya memprogram itu memang bergantung jam terbang,’’ ujarnya, lantas tersenyum.
Di balik semua proses kreatif dan usaha keras untuk berkontribusi itu, tampaknya ada semacam persoalan pribadi antara Galih dan virus korona jenis baru itu.
Ceritanya, Galih sebenarnya juga punya proyek membuat alat untuk roasting biji kopi. Alat tersebut dibuat sejak akhir Desember lalu. Prototipe-nya sudah jadi dan berfungsi. ’’Wes tak gawe dewe, terus tak gawe kopi bubuk (sudah saya pakai sendiri, akhirnya saya buat kopi bubuk),’’ katanya berterus terang.
Dia ingin menjadikan roaster tersebut sebagai salah satu bisnis rintisan atau start-up. Dia mengklaim alat itu punya banyak fitur yang canggih yang bisa memudahkan orang untuk me-roasting biji kopi dengan hasil maksimal.
Prototipe kedua sudah jadi pada Februari dengan bentuk yang sudah layak masuk pasar. Dia sudah gembira dengan hal tersebut. Bahkan sudah siap didemonstrasikan kepada para calon pembelinya. Namun, apa daya, virus korona jenis baru keburu mewabah dan menjadi pandemi.
’’Karena wabah ini, ya tidak jadi demo ke para calon pembeli. Mungkin PCR ini adalah jalan,’’ paparnya.
Pada Selasa sore lalu, dia dihubungi untuk diajak bertemu dengan salah seorang tokoh dari ITS. Sang tokoh tersebut hendak menghubungkannya dengan para ahli kesehatan di Surabaya.
’’Mau ketemu dengan dokter-dokter biar lebih cepat berfungsi sesuai kebutuhan pengguna,’’ ujar Galih. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post