Kisah Dennis Bangun ‘Kampung Inggris’ di Samarinda (2/habis)
Meski menyandang nama sama, namun pusat pembelajaran bahasa Inggris yang dirintis Dennis Laba Kelen jauh berbeda dengan “Kampung Inggris” di Pare, Kediri. Karena memang Dennis punya konsep tersendiri yang tidak meniru pendahulunya tersebut. Bahkan pria berkulit gelap ini belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Kediri.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Rupa-rupanya, Dennis belum melihat langsung bagaimana kondisi “Kampung Inggris” di Kediri. Dia pun tidak tahu bagaimana model pembelajaran yang diterapkan di sana. Hanya nama “Kampung Inggris” saja yang membuat English Learning Center (ELC) miliknya memiliki kesamaan. Makanya Dennis menampik bila ada yang menyebut dirinya meniru “Kampung Inggris” di Kediri.
“Saya belum pernah ke sana (Kediri, Red.) dan belum ada niat pergi ke sana. Saya pernah disuruh ke sana oleh teman, tapi buat apa? Saya punya konsep saya sendiri,” kata Dennis kepada Metro Samarinda (Bontang Post Group/Kaltim Post Group).
Konsep yang digunakan Dennis dalam “Kampung Inggris”-nya adalah pembelajaran berbasis lingkungan. Makanya pondok bahasa Inggris yang menjadi tempat belajar-mengajar dibangun dari barang-barang bekas dan bahan-bahan alami. Dia memanfaatkan botol-botol plastik bekas minuman mineral menjadi dinding pondok. Menurutnya hal ini bisa turut mengurangi sampah plastik yang tidak bisa terurai.
“Karena dindingnya dari botol, jadi anginnya sepoi-sepoi masuk ke dalam pondok. Bisa dibilang AC alami,” kelakar ayah lima anak ini.
Konsep lingkungan hidup yang diterapkan Dennis bukan sekadar tempelan. Bukan hanya pondoknya yang dibikin ramah lingkungan, kegiatan belajar-mengajar pun secara rutin dilakukan di alam terbuka.
Oleh Dennis, para muridnya yang jumlahnya kini mendekati 50 murid diajak berkeliling lingkungan sekitar dan masuk hutan. Dalam kegiatan ini, para murid diajak menyebutkan bahasa Inggris dari benda-benda yang ditemui di sekitar mereka.
“Misalnya saat kami ke kebun melihat singkong. Saya tanya kepada mereka apa bahasa Inggrisnya singkong. Jadi sekalian mengenal lingkungan mereka,” jelasnya.
Kegiatan berkeliling lingkungan tersebut dibarengi dengan mengumpulkan sampah-sampah yang ditemui di sepanjang perjalanan. Secara rutin setiap hari Jumat, Dennis juga mengajak para muridnya melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan kampung. Kerja bakti ini diwajibkan bagi murid-murid, dengan durasinya sekitar satu jam saja.
Selain ikut membersihkan lingkungan, sampah-sampah yang terkumpul juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Khususnya botol-botol yang dijadikan bahan pembuat dinding pondok. Apalagi saat ini Dennis tengah membangun pondok baru yang lebih besar dan luas sebagai sarana belajar “Kampung Inggris” ke depan.
“Butuh pondok yang lebih luas karena jumlah murid saya juga semakin bertambah. Pondok yang baru ini tetap ada di lahan samping rumah saya. Seperti pondok yang pertama, nanti dinding pondok yang baru juga akan dibangun dari botol-botol plastik,” terang Dennis.
Selain pusat belajar yang terkonsentrasi di samping rumahnya, Dennis juga telah menjalin kerja sama memanfaatkan pondok milik warga sekitar yang ada lingkungan kebun di kampungnya. Pondok ini juga nantinya akan digunakan sebagai tempat belajar bahasa Inggris bernuansa alam. Keberadaan “Kampung Inggris” besutan Dennis sendiri mulai mendapatkan dukungan dari warga sekitar, hingga pemerintah setempat.
“Awalnya memang banyak yang meragukan dan bertanya-tanya tentang apa yang saya lakukan. Ada juga yang memandang sinis. Namun warga di sini perlahan mulai mengerti dengan apa yang saya lakukan,” bebernya.
Dalam menggalang “Kampung Inggris”, Dennis memang memperhatikan lingkungan sekitarnya. Yaitu Gang Mandiri RT 19 Kelurahan Mangkupalas, Samarinda Seberang. Sebelum memulai usahanya, dia sudah meminta izin pada ketua RT. Dia juga telah mendaftarkan ELC miliknya ke notaris sehingga memiliki legalitas hukum. Dennis pun membuktikan bahwa keberadaan “Kampung Inggris” berdampak positif pada lingkungan sekitar.
“Sebelumnya di sini banyak sampah dan lingkungan kotor. Tapi dengan kerja bakti yang kami lakukan, lingkungan jadi lebih bersih. Masyarakat pun perlahan tergerak untuk bersama-sama membersihkan lingkungan,” urai Dennis.
Namun sebagus apapun konsepnya, “Kampung Inggris” harus memiliki pembelajaran yang berkualitas. Hal ini disadari benar oleh Dennis. Dalam mengajar, dia tidak sembarangan memberikan materi. Meski tidak memiliki sertifikasi pengajar, namun dia tahu bagaimana pembelajaran yang berkualitas. Sebagaimana lembaga kursus bahasa Inggris lainnya, Dennis juga menerapkan pembelajaran berjenjang. Mulai dari pemula (beginner), tingkat menengah (intermediate), hingga tingkat yang lebih tinggi (advanced).
“Tergantung muridnya. Kalau memang belum layak naik ke tingkat yang lebih tinggi, ya tidak bisa naik ke tingkat. Tidak bisa dipaksakan,” sebut pria asal Flores ini.
Untuk kemudahan proses belajar-mengajar, Dennis terlebih dulu melakukan seleksi awal saat pendaftaran murid. Dalam hal ini, dia menguji kemampuan berbahasa Inggris murid yang mendaftar. Mulai dari pertanyaan paling sederhana tentang bahasa Inggris benda-benda sehari-haril. Dari situ dia bisa menentukan pada kelompok belajar dan tingkatan mana murid tersebut ditempatkan dalam kegiatan belajar-mengajar.
“Meskipun dia mahasiswa, tapi kalau kemampuan bahasa Inggrisnya masih seperti anak SMP, ya dia akan gabung di kelompok SMP,” tambah Dennis.
Di “Kampung Inggris”, Dennis punya program “7 Hari Bisa Bicara Inggris”. Lewat programnya ini, banyak anak muridnya yang kini sudah loancar dan percaya diri berbicara bahasa Inggris. Dalam mewujudkan program ini, Dennis memiliki metode dan cara mengajar yang unik. Salah satunya dia mesti menumbuhkan minat dan semangat belajar bahasa Inggris pada para muridnya terlebih dulu sebelum masuk ke materi pembelajaran.
Menurutnya bila minat belajar sudah timbul, materi yang diajarkan akan lebih mudah dipahami.
“Karena itu saya selalu memulai kegiatan belajar dengan bercerita. Bisa cerita apa saja, tapi kemasannya menarik. Dari situ perlahan saya mulai memasukkan unsur-unsur bahasa Inggris dan proses belajar mengalir begitu saja,” paparnya.
Menurut Dennis, suasana riang dan ceria perlu diciptakan selama proses belajar-mengajar. Sehingga tidak monoton dan tidak membuat murid bosan. Materi-materi yang diajarkan pun merasuk dengan sendirinya di benak para murid. Inilah yang membedakan tempatnya dengan tempat-tempat belajar bahasa Inggris lainnya. Bukan sekadar retorika, Dennis telah membuktikan walau “Kampung Inggris” besutannya baru menginjak usia tiga bulan.
“Jadi pernah ada anak yang sudah enam bulan belajar di lembaga kursus lain datang ke sini. Dibandingkan dengan murid saya yang baru belajar dua bulan, terlihat perbedaannya. Anak tersebut masih segan berbicara Inggris, sementara murid saya sudah bisa bercerita tentang dirinya dalam bahasa Inggris dengan baik. Bahkan sampai menceritakan tentang Kampung Inggris ini,” kisah Dennis.
Diakui Dennis, materi-materi pembelajaran memang penting. Namun lebih penting lagi menumbuhkan rasa percaya diri pada murid untuk bicara bahasa Inggris. Setelah rasa percaya diri ini terbentuk, barulah materi-materi tentang tata bahasa atau grammar diajarkan. Setelah grammar dikuasai, barulah pembelajaran dalam penerapannya sehari-hari.
Perlahan, nama “Kampung Inggris” ini mulai dikenal. Bukan hanya di Kota Tepian, melainkan juga dari luar kota bahkan sampai ke turis asing. Memang, Dennis rajin mengenalkan pusat pembelajaran ini kepada para pelancong asing yang datang ke Kaltim. Apalagi sebagai pemandu wisata, dia punya koneksi dengan usaha-usaha pariwisata seperti hotel dan travel. Dari situlah dia mengenalkan “Kampung Inggris” Mangkupalas secara lebih luas.
“Banyak turis asing yang sudah datang ke sini. Dari berbagai negara di dunia. Mereka tertarik dengan konsep yang saya buat. Selain itu mereka juga menjadi sukarelawan pengajar di sini,” ungkap staf Dinas Pariwisata Kaltim ini.
Selain tujuan pendidikan, Dennis menyebut “Kampung Inggris” ini punya potensi wisata bila dikembangkan dengan baik. Karenanya saat ini dia tengah mengupayakan untuk bisa mengumpulkan dana baik dari pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat. Karena kebutuhan untuk membangun “Kampung Inggris” tidaklah kecil. Sementara selama ini pendanaannya paling banyak berasal dari dirinya pribadi.
Keberadaan tenaga pengajar juga menjadi kendala di “Kampung Inggris”. Meski sudah ada beberapa sukarelawan, namun jumlahnya belum mencukupi. Dennis sendiri masih menjadi pengajar utama. Sementara dia pun mesti pandai-pandai membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, dan “Kampung Inggris” yang dirintisnya.
“Rasa lelah itu ada. Tapi saya tetap menjalani karena ada niat saya untuk ikut mencerdaskan anak-anak bangsa. Karena itu saya terbuka bila ada yang ingin menjadi donatur atau menjadi tenaga sukarelawan di sini,” kata Dennis yang tahun ini genap berusia 40 tahun.
Kualitas pembelajaran bahasa Inggris di “Kampung Inggris” ini sendiri diakui oleh para murid Dennis. Salah satunya Fadli yang sehari-hari bekerja sebagai office boy. Kata dia, proses belajar-mengajar berlangsung dengan menyenangkan. Fadli merasa jauh lebih mudah mempelajari bahasa Inggris bersama Dennis dibandingkan di lembaga-lembaga kursus lainnya.
“Cara mengajar Pak Dennis menyenangkan. Beliau banyak bercerita. Apalagi biayanya terjangkau. Saya jadi lebih mudah belajar bahasa Inggris. Pokoknya berbeda deh dengan tempat-tempat lainnya,” ujar Fadli yang mengaku datang belajar setiap hari libur. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post