BONTANG – Usai mendapat vaksin difteri tahap 1 beberapa bulan lalu, salah satu siswa SDN 005 Bontang Utara mengalami alergi tingkat berat atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Untuk menghindari hal yang sama terjadi pada anak lainnya, Lilik Purwanti, ibu dari Aidil mengimbau agar para orang tua harus lebih peka terhadap kondisi anaknya.
Hal tersebut dimaksudkan agar orang tua tidak asal memberikan izin anaknya untuk divaksin. Karena, jika kondisi anak dalam keadaan kurang fit, vaksin tersebut bisa mengakibatkan KIPI.
Lilik Purwanti, warga Jalan Gong 04 RT 16 Kelurahan Guntung menceritakan awal mulai anaknya mengalami KIPI. Memang KIPI yang terjadi bukan pasca imunisasi Measless dan Rubella (MR) yang sedang ramai saat ini. Namun KIPI terjadi pasca imunisasi difteri yang sempat meresahkan masyarakat Bontang, dengan ditemukannya 6 kasus difteri di Bontang.
“Jadi waktu imunisasi difteri tahap pertama itu, sepulang sekolah tiba-tiba anak pertama saya langsung demam, ruam atau biduran di semua badannya, jantung sakit, sesak nafas, bengkak-bengkak hingga di kemaluan,” jelas Lilik saat ditemui di kediamannya, Jumat (24/8) kemarin.
Merasa kejadian itu baru pertama kali dialami anaknya, Lilik pun memberi pertolongan pertama dengan meminumkan anaknya paracetamol sebagai obat penurun demam. Namun demikian, hari berikutnya, demamnya tak kunjung turun. Karena merasa anaknya masih bisa menahan rasa sakit di jantungnya, Lilik pun belum membawanya ke dokter.
“Saya pikir mungkin itu reaksi dari vaksin difteri, tetapi sampai kemaluannya bengkak. Saya ajak dia ke dokter, tetapi anaknya bilang masih kuat, akhirnya saya biarkan dan sembuh sendiri,” terang dia.
Dua minggu kemudian, anak pertamanya itu kembali mengalami demam lagi. Lilik mengira demam itu karena anaknya kehujanan usai pulang dari pengajian. Dengan inisiatif, diberikannya obat paracetamol lagi. Tetapi malah muncul bengkak lagi, gatal-gatal, dada sesak, jantung sakit, hingga membuatnya panik.
“Saya tunggu sampai besok dan dibawa ke Puskesmas, di sana dikasih obat demam dan batuk. Tetapi reaksinya sama bengkak dan gatal,” ujar Lilik.
Karena tak ada perubahan, sorenya, Lilik kembali membawa anaknya ke Puskesmas Bontang Utara II dan dia menceritakan awal mula anaknya menderita demam, ruam, bengkak, serta sakit di dada dan jantungnya. Dokter pun menyarankan untuk tes laboratorium dengan mengecek darah dan air seni Aidil. Hasilnya gula bersih, ginjalnya juga bersih dan negatif dari gagal ginjal.
“Tetapi karena obat dari puskesmas tidak bereaksi, saya pun diberi rujukan ke RS PKT dan ditangani dokter anak Naomi,” ungkapnya.
Hasil pemeriksaan dokter anak, Lilik diminta agar tidak menyalahkan vaksin dan mencoba food challenge. Sehingga, Aidil diminta untuk memakan dari protein nabati seperti tahu tempe. Setelah itu dicoba protein dari telur, dan ayam. Hasilnya Aidil tetap baik-baik saja. Selama sebulan, anaknya demam lagi, dan langsung dirujuk ke dokter anak rujukannya tertulis drugs alergy (z, 88).
”Saya sampaikan dari makanan tidak masalah, tetapi minum obat atau vitamin sedikit saja langsung bengkak, demam, kemaluannya bengkak sampai gede banget,” ujarnya.
Memang dari kecil, diakui Lilik, Aidil terbiasa meminum obat. Tetapi, sekeras apapun obat yang diberikan tidak menimbulkan efek alergi separah itu. Bahkan dokter menyatakan sampai gagal jantung karena ketika demam, jantungnya sakit seperti ditusuk-tusuk.
“Kalau gagal ginjal negatif, tetapi kalau gagal jantung dokter juga menyatakan hal itu,” terang dia.
Atas pengalamannya itu, Lilik mengimbau kepada para orang tua agar lebih peka terhadap kondisi anaknya. Jangan melakukan imunisasi sekedar ikut-ikutan saja. Tetapi kondisi kesehatan anak dan riwayat kesehatannya harus benar-benar dikenali agar tidak terjadi hal serupa. “Saya ini bukan mendoktrin siapapun, hanya mengingatkan, jika mau imunisasi dicek dulu kondisi kesehatan anaknya. Ini karena saya mungkin masih kurang peka, sampai akhirnya anak saya mengalami alergi tingkat berat dan tak bisa sembarang meminum obat,” bebernya.
“Jadi kalau dia demam, ada obatnya yang diberikan dengan cara injeksi, paracetamol sudah tidak bisa dikonsumsi lagi,” imbuhnya.
Penjelasan dari dokter Naomi juga dikatakan Lilik, bahwa sebenarnya vaksin difteri itu menyuntikkan bakteri ke tubuh anak supaya dia kebal jika virus itu mencoba menyasarnya. Tetapi saat divaksin difteri tahap pertama itu, sistem imun Aidil seperti kondisi memerangi bakteri difteri itu. Entah menolak atau apa, tetapi sistem imunnya yang justru gagal. “Makanya mengalami alergi tingkat berat, sampai ke gagal jantung. Jadi saya kerja sama sama guru, teman-temannya agar menjaga Aidil untuk tidak minum sembarang obat,” pungkasnya.
Kejadian yang dialami Lilik dan Aidil ini mengingatkan, agar para orang tua lebih waspada ketika hendak mengizinkan anaknya untuk divaksin di sekolah. Jika anak dalam kondisi kurang sehat, sebaiknya vaksin ditunda.(mga)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post