Oleh: Nason Nadeak, SH.,MH
(Pimpinan Law Office Nason Nadeak, SH, MH & Associates)
Upaya Pemerintah untuk melahirkan Undang-Undang tentang Penyadapan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah beredar di berbagai kalangan, merupakan hal yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di mana salah satu tugas pemerintah adalah mewujudkan keamanan serta ketenangan bagi warganya. Baik pada saat warganya bertindak maupun sebagai jaminan apabila terdapat tindakan-tindakan yang berlebihan dari negara.
Selain itu, upanya pemerintah membuat undang-undang yang baru, merupakan suatu tindakan untuk membangun sikap dan tingkah laku warganya ke arah yang lebih maju untuk mengisi vakum rech (kekosongan hukum) yang disebut Prof Muhtar Kusumaatmaja dengan istilah, law as a tool of social engineering (hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat).
Oleh karenanya, kiranya kita semua setuju apabila pembuatan RUU tentang Penyadapan tersebut dibuat untuk menguatkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan mengatur hal-hal yang belum diatur. Sehingga dapat menguatkan kewenangan lembaga tertentu untuk melakukan penyadapan.
Namun akan lain halnya jika dalam materi RUU tersebut justru mengebiri hak penyadapan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita ketahui bahwa salah satu keberhasilan dari KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi adalah melalui operasi tangkap tangan (OTT) yang tentu terlebih dahulu didasarkan pada penyadapan.
Saya sangat khawatir jika dengan RUU itu justru meghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan. Bisa saja itu dianggap sebagai pesan bahwa pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Jokowi, tidak serius memberantas korupsi. Sebab KPK akan berkurang fungsinya dengan hilangnya kewenangan melakukan penyadapan.
Mungkin kita masih perlu mengingat lahirnya Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam salah satu pasalnya memperbolehkan mantan koruptor untuk ikut dalam kontestasi pemilu. Oleh karenanya, apabila negara (eksekutif dan legislatif) menganggap bangsa ini telah mengalami darurat korupsi, maka seharusnnya pasal dalam undang-undang pemilu yang memperbolehkan mantan koruptor ikut dalam pemilihan legislatif, tidak perlu terjadi.
Atas hal tersebut, sangat diapresiasi, kegigihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang masih menginginkan agar dalam pemilu 2019, para mantan koruptor tidak boleh ikut dalam kontestasi. Sebab belakangan KPU mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2008 yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1) huruf (h). Aturan di sambut baik pemerintah dan mendapat persetujuan.
Namun sangat disayangkan, niat baik para komisioner KPU agar pemilu 2019 terbebas dari para mantan koruptor, terpaksa kandas melalui uji materi oleh Mahkamah Agung (MA). Dengan dibatalkannya PKPU tersebut, penulis bukan bermaksud menyalahkan MA, karena dari sudut pandang ketatanegaraan, keputusan lembaga itu sudah sepatutnya. Karena berdasarkan norma ketatanegaraan, Indonesia menganut azas lex superior derogat legi inferior atau peraturan yang di bawah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Demikian juga hal RUU tentang Penyadapan yang sudah dipersiapkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Pada pokoknya, RUU ini jangan sampai mengebiri kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan. Sebab salah satu kunci kesuksesan KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas korupsi adalah melalui kewenangan untuk melakukan penyadapan, sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Harus juga dipahami apabila dalam RUU tentang Penyadapan itu terkandung pembatasan kewenangan KPK melakukan penyadapan, maka kita akan melihat pergumulan kembali yang tidak kalah sengitnya antara kandungan PKPU nomor 20/2018 dengan Undang-Undang nomor 7/2017. Sebab kembali akan menimbulkan pertentangan antara dua pendapat atau kelompok. Yakni KPK tunduk dan taat terhadap Undang-Undang nomor 30/2002 atau KPK harus tunduk serta taat pada Undang-Undang tentang Penyadapan.
Apabila hal ini terulang kembali, maka bisa saja Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang nomor 30/2002. Kemudian menyatakan bahwa KPK tidak dapat lagi melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang tersebut. Apabila disahkan, KPK harus tunduk dan taat pada Undang-Undang tentang Penyadapan. Hal ini terjadi karena sistem ketatanegaraan Indonesia menganut azas lex posterior derogat legi priori atau hukum yang baru mengabaikan hukum yang lama.
Beranjak dari pengalaman di atas, jika pemerintah benar-benar masih menginginkan keberadaan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia, maka DPR selaku pembuat undang-undang hendaknya tidak mengebiri kewenangan lembaga antirasuah itu. Seandainya legislatif tetap memaksakannya, maka presiden selaku pemberi persetujuan dalam pengesahan undang-undang, sudah sepatutnya berani menolaknya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: