Oleh Lukman M, Redaktur Bontang Post
AKSI persekusi dan tindakan intoleran serta radikal masih saja terjadi di bumi Indonesia. Yang terbaru yaitu aksi pengadangan Neno Warisman, salah seorang penggerak kampanye #2019GantiPresiden. Ibu-ibu ini diadang sejumlah massa saat tiba di Bandara Hang Nadim Batam. Bukan hanya itu, Neno juga dilempar dengan tempat sampah oleh salah seorang warga di dalam bandara.
Tindakan pengadangan ini tentu sangat disayangkan. Karena sebagai suatu kesatuan, setiap warga negara Indonesia berhak pergi ke daerah manapun di Indonesia. Makanya menjadi lucu ketika ada seorang warga negara Indonesia yang diadang bahkan dilempari tempat sampah di dalam bandara. Terlepas apapun latar belakangnya, kejadian ini merupakan hal yang salah dan tak patut terjadi, apalagi di tempat umum seperti bandara.
Peristiwa ini mengingatkan kembali pada peristiwa yang katanya persekusi saat kampanye #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja di arena Car Free Day (CFD) beberapa waktu lalu. Kala itu ibu-ibu bersama anaknya yang mengenakan kaus #DiaSibukKerja diadang oleh oknum yang mengatasnamakan #2019GantiPresiden. Persekusi di CFD itu langsung mendapat komentar dari berbagai pihak, salah satunya seorang professor kenamaan yang tergabung dalam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Sang professor melalui akun media sosialnya mengutuk aksi persekusi di CFD tersebut. Dengan kalimat prihatin yang sangat menyentuh dan menyiratkan kebencian pada aksi persekusi tersebut. Padahal sebagian pihak menilai persekusi tersebut bisa jadi bentuk sabotase untuk menjelek-jelekkan kelompok yang pro #2019GantiPresiden dengan beberapa fakta yang menyelimutinya.
Sayangnya, komentar keprihatian tersebut tidak muncul saat Neno Warisman dipersekusi secara nyata di bandara. Padahal Neno juga sama-sama ibu-ibu, walaupun tidak membawa anak. Seakan-akan sang profesor kenamaan bergaji fantastis demi mengawal ideologi negara itu pergi entah kemana, tak terdengar suaranya.
Tetapi tetap saja persekusi adalah persekusi dan mesti ditindak dengan tegas. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mengartikan persekusi sebagai pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Maka sudah jelas merupakan suartu perbuatan tercela yang mesti dilawan.
Nyatanya, tak ada kicauan sang professor di lini masa media sosial. Tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya juga ikut bicara atas persekusi di CFD, juga bungkam seakan pura-pura tak tahu bahwa di Batam ada seorang ibu-ibu yang sedang dizalimi. Tentu hal ini sangat disayangkan. Karena sebagai sesama warga negara, para tokoh nasional ini mesti bisa bersikap adil, tidak berat sebelah.
Pasalnya, komentar yang berat sebelah seperti ini bakal bisa memunculkan anggapan negatif di masyarakat. Bahwa sang profesor, atau tokoh-tokoh nasional lainnya, bahkan mungkin pemerintah, bersikap tidak adil dalam memperlakukan warganya. Pihak-pihak yang dianggap pro pemerintah atau pemimpin petahana bakal mendapat dukungan ketika tersakiti. Sementara di satu sisi, pihak-pihak oposisi atau yang tidak sejalan dengan si petahana, akan diabaikan begitu saja.
Kasus Neno Warisman ini sendiri bukan kali pertama pemerintah berat sebelah dalam memperlakukan warganya. Ketika Front Pembela Islam (FPI) melakukan persekusi atas aksi penghinaan agama, pemerintah melakukan penekanan bahkan menangkap tokoh ormas tersebut. Aksi tersebut lantas dikutuk dengan dalih main hakim sendiri oleh banyak pihak yang tidak senang dengan keberadaan FPI.
Namun ketika Fahri Hamzah, Tengku Zulkarnain, hingga yang terbaru Neno Warisman diadang di bandara saat akan menyambangi suatu daerah, komentar-komentar kutukan itu tidak ada. Seakan perilaku-perilaku barbar, termasuk mengacungkan senjata tajam ke dalam bandara merupakan sesuatu yang sah-sah saja dilakukan.
Pun begitu dengan pengadangan hingga pembubaran kegiatan ceramah agama yang akan dilakukan Ustaz Felix Siauw dan Ustaz Abdul Somad, tokoh-tokoh nasional yang komentarnya gencar terdengar menentang persekusi sebelumnya tampak adem ayem. Juga ketika kantor surat kabar didatangi massa salah satu parpol dengan melakukan aksi perusakan, tak banyak komentar kutukan atau keprihatinan yang terdengar. Malahan salah satu tokoh partai terkait seakan membenarkan aksi radikal tersebut.
Lucunya di balik aksi pengadangan atau persekusi yang dibiarkan tersebut, para pelakunya menggunakan dalih mebendung aksi radikalisme, aksi intoleran, dan aksi anti pancasila. Padahal dengan melakukan pengadangan seperti itu, hingga mengacung-acungkan senjata serta melakukan perusakan, merekalah sebenarnya orang-orang yang radikal, intoleran, dan tidak ber-pancasila.
Sehingga sampai beredar anggapan bahwa, siapapun yang terkesan tidak mendukung pemerintah, pihak oposisi, atau yang sejenis itu, bakal otomatis mendapat cap radikal, intoleran, anti pancasila. Padahal tuduhan-tuduhan tersebut tak dapat dibuktikan baik secara logika maupun menurut undang-undang. Sementara di satu sisi, pemerintah seakan membiarkan begitu saja aksi radikalisme, intoleran, dan anti pancasila yang dilakukan kelompok-kelompok yang berada di kubu pemerintah.
Padahal pemerintah bukanlah Tuhan, bukanlah Pancasila, yang selalu benar dan menjadi sebuah hukum. Pemerintah, termasuk juga presiden, juga bisa melakukan kesalahan dalam kebijakan, dan menjadi kewajiban bagi rakyatnya untuk mengingatkan. Kalau lantas semua bentuk saran dan kritik membangun itu dituding sebagai bentuk radikalisme atau intoleran, apakah pemerintah kita saat ini sudah berubah menjadi otoriter?
Pertanyaan ini berkaitan dengan kampanye yang sedang diusung Neno Warisman, yang membuatnya diadang di Batam. Ya, kampanye #2019GantiPresiden di luar dugaan mendapat banyak peminat, setidaknya berdasarkan hasil survei yang dapat dipertanggungjawabkan. Gerakan ini sejatinya bisa dibilang sebagai kulminasi bentuk kritik kepada pemerintah yang selama ini seakan dimentahkan dan selalu mendapat jawaban tak memuaskan.
Secara konstitusi, gerakan ini juga dianggap tidak melanggar. Pengamat politik UI Rocky Gerung menyatakan, warga negara berhak untuk mempertimbangkan, evaluasi, dan mengambil keputusan apakah presiden berlanjut atau tidak. Menurut Rocky, setiap warga negara berhak berkeinginan mengganti presiden, sebagaimana warga yang berharap kepemimpinan presiden tidak berlanjut. Asalkan semua itu tidak melanggar peraturan atau bersifat makar atau kudeta.
Dengan jelas, gerakan ini bertitel tahun 2019. Artinya, keinginan mengganti presiden itu akan dilakukan saat Pemilihan Presiden 2019 mendatang, yang merupakan sarana demokrasi yang sah dalam mengganti tampuk kepemimpinan. Bukan dilakukan di 2018. Pun begitu tindakan ini juga bukan curi start kampanye pilpres, karena tidak ada nama calon presiden yang diusung, melainkan hanya gerakan untuk mengganti presiden. Itu saja.
Maka menjadi tidak tepat bila gerakan ini lantas dipermasalahkan dan menjadi sumber tindakan represif kelompok-kelompok pro pemerintah yang menganggapnya radikal dan intoleran sehingga melakukan pengadangan. Justru kelompok-kelompok pro pemerintah inilah yang intoleran sebenarnya karena tidak bisa menerima pendapat dari individu dan kelompok lainnya yang berseberangan, namun sah secara hukum.
Bentuk-bentuk pengadangan dan penyataan-pernyataan yang menyebut gerakan ini sebagai gerakan terlarang, justru menandakan ketakutan pemerintah dan pendukungnya bila keinginan ganti presiden tersebut dapat terwujud tahun depan. Seharusnya, gerakan ini tak perlu dikhawatirkan atau dilarang-larang, selama tidak berujung pada kegiatan yang merugikan masyarakat umum.
Bila mau berpikir cerdas, pemerintah dan kelompok-kelompok pendukungnya, semestinya menganggap gerakan ini sebagai kritik dari masyarakat. Kritik yang menunjukkan bahwa kinerja pemerintah itu belum maksimal sehingga masyarakat menginginkan pergantian presiden.
Dalam hal ini, pemerintah mesti bisa merangkul serta memberikan bukti bahwa sang presiden benar-benar bisa bekerja dan membuktikan janji-janjinya, bukan hanya berteriak “Saya Pancasila”. Karena bila pemerintah sanggup membuktikan janji-janji yang pernah diucapkan sang presiden, termasuk juga menghasilkan kinerja yang memuaskan, saya yakin gerakan ganti presiden akan hilang dengan sendiri.
Namun kenyataannya, alih-alih memilih berdamai dengan kritik, pemerintah berikut kelompok-kelompok pendukungnya malah bersikap radikal, melakukan pengadangan dan bersikap abai serta bersikap tidak adil terhadap warga negaranya sendiri yang sejatinya hanya ingin menyuarakan pendapatnya. Maka bila tetap demikian, saya rasa ganti presiden memang harus diberlakukan tahun depan. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: