Oleh Lukman M, Redaktur Bontang Post
PEKAN lalu, publik Kaltim khususnya Samarinda dihebohkan dengan aksi persekusi warga atas pemotor yang mengenakan kaus bertuliskan #2019GantiPresiden. Persekusi yang terekam kamera ponsel itu lantas viral dan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Pasalnya, selain merupakan tindakan melanggar hukum, aksi persekusi tersebut diduga melibatkan tiga oknum anggota DPRD Samarinda.
Tentu saja tindakan tersebut sangat disayangkan, apalagi bila ada keterlibatan oknum legislator di situ. Wakil Rakyat yang sejatinya memberi contoh, malahan dengan terang-terangan melakukan tindakan melanggar hukum, persekusi yang terbilang cukup brutal. Bagaimana tidak, dalam video yang beredar, dua pengendara motor tersebut dipaksa menanggalkan kaus yang dikenakannya, dipermalukan di tengah jalan.
Kondisi semakin runyam tatkala komentar salah seorang oknum anggota DPRD tersebut dianggap menistakan khilafah, sistem hukum yang berlandaskan aturan Islam. Sehingga membuat salah satu parpol melakukan unjuk rasa meminta ketegasan terhadap perilaku tak terpuji tiga anggota dewan tersebut.
Pasalnya, menurut parpol tersebut, meski tidak diterapkan di Indonesia, khilafah diakui sebagai prinsip tata negara yang bersumber dari ajaran Islam. Apalagi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda merasa keberatan dengan pernyataan anggota dewan dimaksud, yang dianggap sudah melecehkan agama. Pihak kepolisian lantas diminta menangkap pelaku persekusi, sementara DPRD Samarinda diminta memberhentikan ketiganya.
Persekusi, sebagaimana diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan perburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Sementara dalam bahasa hukum, sebagaimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), persekusi bisa dijerat pidana. Setidaknya ada tiga pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku persekusi.
Yang pertama Pasal 368 tentang pemerasan dan pengancaman. Pasal 368 KUHP Ayat 1 berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.”
Yang kedua Pasal 351 KUHP ayat 1 berbunyi “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Sementara yang ketiga, dalam Pasal 170 ayat 1 disebutkan, “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana paling lama lima tahun enam bulan.”
Sayangnya, meski tindakan ini telah diatur dalam KUHP, aparat kepolisian tampaknya kurang tanggap dalam menyikapinya. Karena dalm video yang beredar luas, ada petugas berseragam cokelat yang semestinya bisa menghentikan persekusi, atau setidaknya mengamankan korban dari ulah pelaku yang tidak bertanggung jawab.
Akan tetapi, publik meyakini kepolisian akan mengusut kasus ini dengan tuntas. Pun demikian, kepolisian merespons cepat kasus persekusi ini setelah videonya viral beredar di masyarakat. Dalam hal ini, sesuai instruksi Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian yang telah meminta seluruh jajarannya untuk proaktif menindak tegas segala bentuk persekusi di daerah.
Kapolri beralasan, persekusi merupakan pelanggaran hukum yang tak termasuk delik aduan. Tanpa adanya aduan masyarkat, polisi bisa langsung memproses secara hukum. Dia menegaskan, bila ada di daerah yang tidak tegas dalam mengungkap persekusi, Kapolri bakal langsung menegur Kapolda di daerah terkait.
Tentu dengan instruksi ini, tanpa harus menunggu laporan dari korban, aparat kepolisian di Samarinda bisa langsung mengusutnya dengan segera. Hal ini penting dilakukan, untuk memastikan terciptanya keamanan dan kedamaian di masyarakat. Jangan sampai ada individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu yang merasa paling benar, sehingga bisa bertindak sewenang-wenang, main hakim sendiri, yang ujung-ujungnya merugikan orang lain.
Apalagi bila pelakunya merupakan anggota dewan yang terhormat, yang semestinya bisa memberikan teladan yang baik. Maka kasus ini mesti menjadi pelajaran kepada semua pihak, khususnya pejabat, untuk tidak bersikap arogan. Karena kalau sudah viral, pasti akan jadi bumerang yang merusak nama baik sendiri. Seharusnya, sebagai perwakilan suara masyarakat yang diberi amanah di legislatif, bisa lebih tenang dan mengedepankan musyawarah dalam setiap penyelesaian masalah. Bukan malah bermain kasar bahkan radikal.
Namun tak bisa dimungkiri bila tanda pagar #2019GantiPresiden beberapa kali menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat. Beberapa pihak sampai meradang dan antipasti mendengar atau melihat tagar ini. Mungkin itu juga yang dialami tiga oknum anggota dewan yang terlibat persekusi. Padahal, #2019GantiPresiden tak lebih dari ungkapan penyampaian pendapat yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.
Memang sih bagi sebagian pihak, gerakan berbau politik ini dianggap sebagai upaya provokasi dan membahayakan persatuan dan kesatuan. Bahkan ekstrimnya, ada yang menyebut gerakan ini sebagai makar. Katanya sih begitu, walaupun pakar hukum telah menyatakan gerakan ini bukan makar, termasuk penyelenggara pemilu yang menyebut tidak ada pelanggaran yang dilakukan.
Yang disayangkan adalah, bagi pihak-pihak yang kontra terhadap gerakan ini, tidak menggunakan dasar hukum yang jelas dalam penolakan yang disuarakan. Sehingga yang terjadi di lapangan adalah, upaya-upaya pemaksaan yang barbar, persekusi yang membahayakan keamanan di masyarakat. Ironisnya, para pelaku persekusi ini sebelumnya mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan demi menjaga keamanan di masyarakat.
Dengar saja komentar salah seorang anggota DPRD dalam video yang beredar, yang menyatakan bahwa #2019GantiPresiden telah dilarang. Padahal, secara jelas tidak ada aturan yang melarang penggunaan kaus #2019GantiPresiden. Kalaupun ada larangan, lebih ditujukan pada kegiatan deklarasi #2019GantiPresiden. Bukan larangan mengenakan kaus #2019GantiPresiden.
Kalaupun dilarang, sangat sulit untuk menemukan apa yang salah dari kaus #2019GantiPresiden. Karena secara tersirat, kalimat di kaus tersebut hanya mengungkapkan keinginan bahwa pada 2019, tepatnya pada Pemilu 2019, sang pengguna menginginkan adanya pergantian presiden. Maka keinginan ini jelaslah keinginan yang konstitusional, yang bisa diwujudkan dengan menggunakan hak pilih saat pemungutan suara Pemilu 2019.
Artinya, pemakai kaus sudah berencana menggunakan hak pilihnya, menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara untuk menyukseskan pesta demokrasi. Tentu langkah ini wajib diapresiasi, di tengah semakin apatisnya masyarakat Indonesia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu yang ditandai semakin tingginya angka golput.
Pun demikian dengan komentar oknum anggota dewan yang mengatakan bila ingin mengganti presiden, silakan pindah negara saja. Komentar ini jelaslah tidak tepat. Karena pergantian presiden, apalagi dengan cara yang diatur undang-undang, merupakan bagian demokrasi di Indonesia. Karena kalau ucapan anggota dewan ini dibenarkan, maka Jokowi tidak akan pernah jadi presiden, karena SBY tidak boleh digantikan. Logika ini jelas logika yang salah.
Patut dicermati bahwa penolak #2019GantiPresiden umumnya berasal dari pihak pendukung presiden petahana. Dalam hal ini, partai politik atau kelompok yang menjalankan roda pemerintahan. Menariknya adalah, presiden petahana yaitu Jokowi berikut menteri-menterinya, tidak pernah mengeluarkan larangan dalam memakai kaus #2019GantiPresiden.
Dengar saja ucapan Jokowi tatkala merespons kaus #2019GantiPresiden. Kala itu Jokowi sembari berkelakar mengatakan, “Masak pakai kaus itu bisa ganti presiden, enggak bisa.” Kata Jokowi lagi, ganti presiden itu ada kehendak dari Allah SWT. Artinya, sang presiden sendiri tidak mempermasalahkan ada yang memakai kaus tersebut. Kalau presiden saja tidak mempermasalahkan, kenapa para pendukungnya ribut sendiri?
Pun begitu, respons Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dalam hal pemakaian kaus juga pernah menjadi perhatian. Tepatnya saat Luhut mengomentari kaus berlambang palu arit yang berbau komunisme. Luhut menyatakan, meminta aparat tidak perlu berlebihan dalam menanggapi kaus ini. Malahan, Luhut menyatakan kalau kaus tersebut bisa jadi tren anak muda, sebagaimana dalam pemberitaan yang dimuat portal daring Detik.com yang terbit 9 Mei 2016 silam.
Nah, kalau Luhut saja bisa menanggapi santai kaus berbau komunisme yang notabenenya paham terlarang di Indonesia, kenapa pula kita mesti mempermasalahkan kaus #2019GantiPresiden yang belum jelas larangannya? Kan bisa saja kaus ini, sebagaimana kata Pak Luhut, merupakan bagian dari tren anak muda.
Maka dengan demikian, ketakutan akan kaus ini sejatinya tak perlu terjadi. Walaupun memang tidak bisa dimungkiri bila tindakan-tindakan melanggar hukum yang dilakukan pelaku persekusi ini bisa jadi karena ketakutan bahwa kampanye #2019GantiPresiden yang disuarakan lewat kaus bisa menggagalkan upaya junjungannya untuk bisa dua periode.
Padahal kalau mau arif, kalau mau bijak, ketakutan ini bisa dijawab dengan menggunakan narasi yang baik. Misalnya dengan membeber program atau keberhasilan pemerintah yang selama ini selalu dibangga-banggakan. Mesti meyakinkan masyarakat kenapa presiden tidak perlu diganti, tapi dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang, yang tentunya mengusung semangat demokrasi.
Tak perlu sampai melakukan persekusi atau tindakan melanggar hukum lainnya. Kalau sudah begitu, kan nama petahana juga yang jadi buruk karena tindakan oknum pendukungnya yang sewenang-wenang. Kalau presiden saja tidak takut, kenapa pula kita mesti takut dengan kaus? Takut itu kepada Tuhan, apalagi kalau kita banyak dosa. Setuju kan? (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post