Oleh: Dahlan Iskan
Saya tidak mengerti isi khotbah tahun ini. Pakai bahasa Urdu. Separo yang di masjid itu memang orang Pakistan. Separonya separo lagi orang India. Sisanya campuran.
Saya memang mencari masjid yang Iduladha-nya lebih pagi. Agar pukul 09:00 bisa terbang ke Chongqing.
Sebenarnya ada yang khotbahnya bahasa Indonesia. Di Causway Bay. Di lapangan. Dalam kompleks stadion Hongkong. Di Jalan Caroline Hill. Tapi baru pukul 09:00 dimulai.
Maka bila tidak ada rotan, Urdu pun oke. Toh sedikit-sedikit ada bahasa Arabnya. Yang saya agak mengerti.
Yang menarik, masjid ini seperti gereja: kebaktiannya tidak hanya sekali.
Pukul 09:00 ada salat Id berbahasa Urdu. Pukul 09.30 berbahasa Kanton. Giliran pukul 11.00 pakai bahasa Indonesia.
Yang pukul 07:00 itu juga baru bagi saya. Doa pada akhir khotbah dipisah. Tidak dilakukan oleh khotib.
Begitu khotbah kedua selesai khotib turun mimbar. Tanpa baca doa. Duduk bersila. Di tempat imam. Satu ulama di barisan depan membaca doa.
Selesai. Bubar. Sebagian saling bersalaman.
Masjid WanChai ini besar. Empat lantai. Wanita di lantai 4. Satu baris bisa 40 orang.
Usai salat di masjid WanChai saya ke stadion. Masih punya waktu 30 menit. Untuk menyapa panitia di lapangan itu. Beberapa panitia saya kenal baik. Minta saya mampir.
Mengapa baru dimulai pukul 09:00?
”Baru diijinkan pukul 09:00,” ujar Lutfiana Wahid. Bujangan.
Sudah 10 tahun di Hongkong. Cantik sekali. Hidungnya mancung. Matanya tajam berkilau. (Lihat fotonya yang menyertai tulisan ini).
Di Hongkong, kata Lutfiana, ada hukum. Tidak boleh ada pengeras suara. Sebelum pukul 09:00 pagi. Agar tidak menganggu istirahat penduduk. Yang umumnya bangunnya siang.
Sebagai minoritas mereka ikut saja. Tidak mau melanggar aturan. Yang dibuat mayoritas.
Konsekwensinya: aduh… panas sekali. Seperti dijemur di lapangan.
Apalagi ini lagi musim panas.
”Berarti khotbah saya nanti harus pendek,” ujar Ustadz Zaidi Abdad. Yang didatangkan dari Lombok. Untuk khotbah tahun ini.
Apalagi ia pakai jas.
”Sudah delapan kali saya diminta khotbah di Hongkong,” ujar Ustadz Zaidi pada Disway.
Saya sempat duduk di barisan depan. Di atas tikar plastik. Berbincang dengan ustadz Zaidi. Panasnya bukan main.
”Kalau Idul Fitri di taman Victoria. Tidak bisa di sini. Tidak cukup,” ujar Djudjuk Djuwariah. Panitia asal Blitar.
Djudjuk sudah 14 tahun di Hongkong. Di juragan yang sama. “Setiap saya mau pulang anaknya sakit,” ujar Djudjuk. ”Saya tidak sampai hati. Saya perpanjang terus,” tambahnya.
Kemarin itu Djudjuk tidak libur. Sebenarnya. Tapi dapat izin ke lapangan. “Saya diijinkan karena bilang akan bertemu pak Dahlan,” katanya.
”Bahkan titip salam untuk bapak,” tambahnya.
Tahun depan Djudjuk berharap bisa pulang. ”Anaknya yang paling kecil sudah masuk SMP. Tidurnya pun sudah mulai pisah,” kata Djudjuk.
Mau kerja apa di Blitar kelak?
”Kuliner. Saya bisa masak. Juragan saya senang sekali masakan saya,” katanya.
Termasuk masakan Indonesia?
”Iya. Kalau saya masak ayam panggang pasti ludes. Rawon pun sangat suka,” katanya.
Dua tahun lalu Djudjuk ikut berduka. Juragan laki-lakinya meninggal. Saat rekreasi bersama istri dan dua anaknya ke Malaysia. Ke pantai Langkawi. Dapilnya Mahathir Muhamad itu.
Anak sulungnya ditinggal di Hongkong. Bersama Djudjuk. Sekolah. Dua yang kecil ikut. Belum sekolah. Dua balita itu main di air. Gelombang datang.
Sang ayah ingin menyelamatkan anaknya. Tapi justru sang ayah yang diterkam gelombang. Sampai keesokan harinya. Mayatnya baru ditemukan.
”Satu minggu saya menangis. Beliau begitu sehat. Saat berangkat. Kok meninggal,” kata Djudjuk.
Teman di dekat Djudjuk itu mestinya juga tidak libur. Tapi diizinkan. ”Juragan saya pemegang saham bank syariah di Malaysia. Beliau sudah tahu pentingnya hari raya seperti ini,” kata teman Djudjuk itu.
Si cantik Lutfiana juga ingin pulang. ”Saya kan juga ingin berumah tangga,” kata gadis Turen, Malang ini.
Lutfiana juga merasa senang. Selalu dapat juragan baik. Yang pertama. Maupun yang kedua. Yang pertama itu sampai lima tahun. Baru berhenti karena juragannya meninggal.
Anak-anaknya sudah punya pembantu sendiri-sendiri.
Di rumah pertama itu Lutfiana hanya berdua dengan juragan wanitanya. Kaya. Rumahnya villa. Tiga lantai.
Lutfiana tidak dianggap pembantu. Makan harus satu meja.
Sering diajak ke restoran.
Juga makan satu meja.
Sering pula diajak jalan-jalan. Juragannya setir mobil sendiri.
”Dulunya saya tidak bisa masak. Sering diajak ke restoran. Diberi tahu. Itu masakan apa. Cara masaknya bagaimana. Bumbunya apa. Lalu disuruh mencoba,” kata Lutfiana.
Saat ayahnya sakit kanker di Turen ia terharu. Luar biasa. Juragannya memberi uang. Sampai Rp 50 juta. Ia belikan mesin produksi. Kangen water. Agar ayahnya banyak minum. Air sehat.
Ayahnya meninggal. Mesin itu tidak berguna. Juragannya meninggal. Mesin itu masih ada. “Kalau pulang nanti saya akan jualan kangen water. Menggunakan mesin itu. Untuk mengenang ayah saya. Dan juragan saya,” kata Lutfia.
”Sampai sekarang pun pulsa hp saya masih dibayari anak juragan lama,” katanya.
Semoga Lutfia tetap jadi orang baik.
Djudjuk tetap orang baik.
Teman-temannya selalu orang baik.
Orang baik harus bertemu orang baik. Untuk membiakkan kebaikan. Memperkecil keburukan…. (dahlan iskan)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post