Serangkaian perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda tercatat di Bumi Kaltim. Salah satunya Gerakan Rakyat Kutai yang sarat patriotisme dan membawa Kutai menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia melalui Radio Australia serta merta disambut gegap gempita oleh seluruh Rakyat Indonesia. Tidak terkecuali di Kaltim, khususnya di wilayah Kesultanan Kutai. Sebagaimana tersaji dalam buku “Kronik Gerakan Rakyat Kutai (GRK)” yang disusun Abdul Gani yang merupakan pelaku langsung sejarah tersebut.
Buku ini menceritakan perjalanan perjuangan masyarakat bersama Kesultanan Kutai dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai. Detailnya disampaikan sejak rapat-rapat pembentukan gerakan, hingga proklamasi Sultan Kutai Kartanegara yang semakin memperkokoh NKRI.
Kisah ini lantas disajikan kembali dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur” yang disusun duo penulis Johansyah Balham dan Hamdani. Dalam suasana peringatan HUT ke-72 Republik Indonesia, Metro Samarinda diperbolehkan mengulas ulang bagaimana GRK ikut andil mempertahankan kemerdekaan.
Sebagaimana di daerah-daerah lain di nusantara, proklamasi kemerdekaan nyatanya belum menjadi jaminan kemerdekaan sepenuhnya. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya GRK di Kaltim.
“Para tokoh pergerakan di wilayah Kutai meyakini, meski secara de facto Indonesia sudah merdeka, imperialis Belanda dan Sekutu yang menang atas Jepang di Asia masih ingin menguasai bumi nusantara nan kaya raya,” tutur Hamdani, salah seorang penyusun buku Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur.
Guna mengantisipasi manuver para imperalis tersebut, para tokoh melakukan gerakan terkoordinasi. Mereka membentuk organisasi yang bertujuan menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah diawali dengan kontak-kontak, berlanjut rapat di salah satu ruangan Kerapatan Besar (Pengadilan Kutai) Tenggarong.
Keputusan rapat, para tokoh sepakat membentuk Badan Perjuangan yang diberi nama Gerakan Rakyat Kutai, disingkat GRK atau Gerak. Penamaan ini diilhami nama suatu partai politik sebelum Perang Dunia II yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Nama tersebut diusulkan tokoh pergerakan Abdul Gani yang merupakan mantan sekretaris Gerindo cabang Balikpapan pada 1938.
Meski berkedudukan di Kutai, namun para inisiator pergerakan terdiri dari berbagai jenis etnis yang ada di wilayah ini. “Hal ini menunjukkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis. Berjuang dalam kebhinekaan bangsa Indonesia,” sebut Hamdani.
Walaupun dalam pertemuan tidak dihadiri tokoh-tokoh pergerakan seperti Raden Soewondo dan St Bag Hoesain, pembentukan tetap dilakukan beberapa tokoh yang ada. Untuk memberi corak perjuangan semesta yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan, maka disusunlah secara musyawarah mufakat pimpinan secara kolektif.
Susunannya yaitu Abdul Gani mewakili Kalimantan, Hasanuddin Saanin mewakili Sumatera, Raden Soewondo mewakili Jawa, St Bag Hoesain mewakili Indonesia Timur, dan JF Sitohang sebagai pelaksana harian. GRK bukan hanya dibentuk di Tenggarong, melainkan juga di beberapa tempat lainnya. Yaitu yang berada di wilayah Kesultanan Kutai seperti di Muara Kaman dan Loa Kulu.
“Sekalipun seluruh Kalimantan telah diduduki Belanda yang membonceng sekutu, namun proklamasi kemerdekaan telah membakar jiwa rakyat Indonesia di pulau ini. Tarakan diduduki sejak Juni dan Balikpapan jatuh sejak Juli 1945. Dengan sendirinya, Sekutu telah menguasai Kaltim,” urai Hamdani.
Di berbagai tempat muncul pergolakan dan saling hubung-menghubungi antarbadan pergerakan perjuangan. Sehingga membuat Pemerintah Kutai berada di antara dua bara. Yaitu antara kekuasaan Belanda yang membonceng Sekutu, dan rakyat Indonesia berjiwa Republik.
Di internal pejabat Kutai sendiri, ada yang secara terang-terangan dan adapula yang sembunyi-sembunyi memihak perjuangan rakyat. Dalam situasi ini, Pemerintah Kutai terlihat bersimpati pada perjuangan rakyat. “Namun begitu, menghindari campur tangan langsung dan terseret dalam kancah pertentangan dengan pihak Belanda,” tambahnya.
Dalam situasi yang menegangkan tersebut, terjadi pertemuan antara APT Prawoto, Menteri Kesultanan Kutai didampingi AR Djojoprawiro dengan Raden Soewondo dan Abdul Gani. APT Prawoto didampingi oleh Kepala Pejawat Balikpapan yang diperbantukan di Kamar Kepolisian Kutai. Djojoprawiro yang tengah berada di pengungsian lantaran Balikpapan diserang Sekutu, merupakan salah satu pendukung GRK.
Pertemuan itu membicarakan tentang datangnya surat dari seseorang di Balikpapan yang meminta bantuan persenjataan. Namun sulit untuk menilai dan menindaklanjuti isi surat tersebut. Apalagi senjata memang tidak ada karena senjata yang dirampas dari tentara Jepang telah dilucuti oleh Sekutu.
“Juga ada kekhawatiran bila surat itu datang dari kaki tangan Belanda untuk mengetahui sikap Pemerintahan Kutai,” kata Hamdani yang pernah berprofesi sebagai wartawan ini.
Hal lain yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut adalah sikap apa yang harus ditempuh Pemerintah Kutai. Raden Soewondo menginginkan perlawanan frontal. Namun perlawanan frontal dianggap terlalu riskan. Keselamatan rakyat banyak dan tetap berfungsinya Pemerintah Kutai menjadi pertimbangan riskannya perlawanan frontal.
Gerakan bawah tanah lantas dianggap lebih efektif sampai keadaan memungkinkan untuk melakukan tindakan lainnya. Oktober 1945 menjadi awal dilakukannya perjuangan GRK mempertahankan kemerdekaan melalui gerakan bawah tanah.
Di satu sisi, perlawanan di berbagai tempat membuat Belanda merasa perlu mengadakan pameran kekuatan atau mathsvertoon di Tenggarong yang merupakan ibukota Kesultanan Kutai. Kabar tersebut membuat penduduk merasa gelisah. “Sementara Pemerintah Kutai terjepit antara Belanda dan rakyat,” imbuhnya.
Posisi tidak menyenangkan ini lantas mendapat jalan keluar dari Raden Soewondo. Dia menyarankan diadakan referendum atau pemungutan suara di seluruh Tenggarong. Tujuannya untuk memperoleh kepastian akan keinginan rakyat secara demokratis. Sekaligus memberikan alasan kuat kepada Pemerintah Kutai apakah menerima pengibaran bendera Belanda yang artinya mengakui kedaulatan penjajah atau sebaliknya, menyatakan penolakan.
Rakyat Tenggarong ternyata memiliki keberanian dan jiwa patriot. Referendum menghasilkan jawaban positif, menolak secara mutlak pengibaran bendera Belanda. Keputusan tersebut merupakan didikan kepada rakyat dalam bentuk perlawanan pasif dan menghidupkan perasaan patriotisme. “Pemerintah Kutai tunduk pada keputusan akhir referendum ini,” ungkap Hamdani.
Mathsvertoon yang dikhawatirkan akhirnya benar terjadi. Tentara NICA mendarat di Loa Kulu dengan satu batalion pasukan dari Balikpapan dan Samarinda. Mereka berbaris dilengkapi persenjataan mutakhir menuju Tenggarong. Pada saat pamer kekuatan itu, tidak ditemukan selembar bendera Belanda pun yang berkibar.
Alhasil, Belanda menghadiahkan sebuah peti berisi sepucuk owen gun kepada Sultan Kutai. Pemberian hadiah ini dapat diartikan sebagai ancaman terhadap pemerintah dan rakyat di daerah tersebut. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: