Sebagaimana gerakan-gerakan perlawanan di daerah lain di nusantara, kiprah Gerakan Rakyat Kutai (GRK) mendapat resistensi dari imperialis Belanda. Dengan siasat jahatnya, Belanda kembali berusaha memecah belah persatuan demi ambisi mendapatkan kembali Indonesia.
Kedatangan Belanda kembali ke bumi etam cepat diantisipasi pemerintahan Kutai. Apalagi Belanda berkeinginan menghidupkan struktur pemerintahan Belanda dan menempatkan controleur sebagai kepala onderafdeeling. Pamong praja Kutai golongan muda dalam konferensi pemerintahan atau bestuursconferentie lantas mengusulkan agar segera membendung kembalinya penjajah tersebut.
“Caranya dengan membagi wilayah Kutai dalam beberapa kepatihan. Dan mengangkat seorang patih di Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Muara Muntai dan Long Iram. Usul tersebut dalam direalisasikan di tahun berikutnya,” kata Hamdani, penyusun buku Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kaltim yang memuat kronik perjalanan GRK.
Kebencian terhadap penjajah membuat para bangsawan ikut tergerak mengantisipasi kembalinya Belanda. Salah satunya Aji Raden Ario Adi Putro, menantu Sultan Kutai Aji Muhammad Parikesit yang kala itu menjabat Kepala Penjawat Samarinda Seberang. Adi Putro kerap menyebarkan perasaan anti Belanda di kalangan pemuda dalam berbagai kesempatan.
“Hal ini dia lakukan lantaran rasa cinta air, tergugah semangatnya untuk mempertahankan kedaulatan bangsa,” terang Hamdani.
Januari 1946, aktivitas Adi Putro yang terbilang berani ini kemudian tercium mata-mata Belanda. Ketika mendengar kabar tersebut, Sultan Parikesit menyadari bahaya mengintai menantunya. Sang Sultan lantas memerintahkan Abdul Gani dan Awang Ishak untuk menjemput Adi Putro beserta keluarganya.
Dengan menggunakan KM Kartanegara pada malam hari, mereka diungsikan ke Tenggarong secara sembunyi-sembunyi. “Keesokan harinya, Samarinda Seberang dihebohkan berita kehilangan kepala penjawat dan menimbulkan desas-desus bahwa dia telah diciduk oleh Belanda,” imbuhnya.
Aktivitas Adi Putro semakin membuat Belanda menyadari kuatnya pengaruh GRK terhadap perjuangan rakyat. Untuk melemahkan perjuangan rakyat yang dipelopori GRK, pada Februari 1946 Belanda merencanakan penarikan kembali dan memutasikan pegawai-pegawai pusat. Yaitu pegawai-pegawai yang diperbantukan kepada Pemerintah Kutai sebelum pecahnya Perang Dunia II.
“Para pegawai tersebut terutama yang duduk menjadi pemimpin GRK. Jelas maksudnya adalah untuk melumpuhkan organisasi pergerakan ini,” terang Hamdani.
Maret 1946, rencana mutasi para pimpinan GRK mulai dilaksanakan. Tidak sedikit para pimpinan GRK dimutasi. Abdul Gani diangkat menjadi Kepala Penjawat Samboja menggantikan Markasi yang diangkat Belanda/NICA. Hasanuddin Saanin dipindahkan ke Muara Muntai. Raden Soewondo dipindahkan ke Palu, Sulawesi Tengah. St Bag Hoesain dipindahkan ke Tanjung Redeb, Berau dan Aji Raden Djojoprawiro kembali ke posnya sebagai Kepala Penjawat Balikpapan.
Namun solidnya komitmen yang telah dibangun tidak mengendorkan semangat juang GRK. Dengan adanya mutasi dan tersebarnya pimpinan GRK, diadakan penyesuaian dalam pembagian tiga wilayah perjuangan. Yaitu wilayah delta Mahakam yang meliputi Samboja dan sekitarnya dipimpin Abdul Gani. Wilayah Mahakam Tengah meliputi Tenggarong dan Samarinda dipimpin JF Sitohang. Terakhir wilayah pedalaman Mahakam meliputi Muara Muntai dan sekitarnya dipimpin Hasanuddin Saanin.
“Kendati dibagi tiga wilayah, namun koordinasi tetap berjalan dengan baik,” imbuh pria yang juga budayawan Kaltim ini.
April 1946, setibanya di Samboja, Abdul Gani mulai melakukan gerakan dengan membentuk beberapa koperasi. Pembentukan koperasi ini diharapkan kelak berfungsi sebagai badan penunjang logistik perjuangan. Koperasi-koperasi yang terbentuk adalah Oesaha Dagang Indonesia di Kampung Samboja Kuala dipimpin Ali Daeng Bantung dan Djohan, keduanya eks anggota Gerindo Balikpapan.
Lalu Usaha Dagang Kita (UDK) di Kampung Pondok Seluang dipimpin M Djuhra. Dan terakhir Oesaha Dagang Rakyat (Oedara) di Kampung Teritip Aji Raden dipimpin oleh Makke. “Ketiga koperasi ini ternyata mampu menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan pembentukannya,” sebut Hamdani.
Jarak antara Samboja dan Balikpapan yang relatif dekat membuat Abdul Gani mulai berhubungan dengan para pejuang Balikpapan. Tujuannya untuk melakukan koordinasi antara badan perjuangan.
Pada malam Ahad di bulan April, Pemberontak Indonesia (PI) di bawah pimpinan Abdurrachman Muhiddin melakukan pembongkaran gudang peluru (Munitie Depot) yang terletak di Kampung Gunung Sari, Balikpapan. Pembongkaran ini dilakukan dengan bantuan eks KNIL antara lain Subakri Kromo, dan Marjuned.
“Pembongkaran ini disaksikan Abdul Gani yang setiap Sabtu berada di Balikpapan dan kembali ke Samboja setiap Ahad malam,” jelasnya.
Selain dengan para pejuang Balikpapan, Abdul Gani juga bekerja sama dengan eks anggota KNIL. Pada bulan Mei dengan perantaraan Aji Raden Usman, diperoleh hubungan dengan Raden Soebijanto yang giat menggarap anggota KNIL untuk berpihak kepada Republik Indonesia. Soebijanto menggugah rasa cinta tanah air para anggota KNIL yang digarapnya tersebut.
Hasilnya pada Juni 1946, seorang deserter KNIL bernama Piet Warella datang ke Samboja melaporkan diri. Piet ditampung oleh M Djuhra, ketua Koperasi UDK sampai ada kesempatan untuk memberangkatkannya. Dengan bantuan sebuah Pedangkang (kapal layar Bugis) akhirnya dia dapat diberangkatkan menuju Sulawesi.
Setelahnya, berturut-turut melaporkan diri deserter KNIL yang lain yaitu Senu dan Penuju. Kesulitan yang paling terasa karena mereka membawa keluarga. “Karena tidak dapat ditampung di rumah mereka ditempatkan di perkebunan karet. Sambil menunggu kesempatan untuk berjuang bahu membahu dengan pejuang lainnya,” tambah Hamdani.
Sementara itu Belanda tidak tinggal diam untuk memperoleh kontrol dan memantapkan kuku kolonialnya. Dengan dalih demokrasi, Belanda mulai menganjurkan pembentukan “dewan-dewan perwakilan rakyat” di setiap kesultanan dan Onderafdeeling Pasir yang langsung diperintah Belanda.
Pembentukan dewan-dewan itu disusul pembentukan Federasi Kesultanan dengan nama Federasi Kalimantan Timur. Dengan tujuan terakhir pembentukan Negara Kalimantan untuk mengimbangi Republik Indonesia.
“Kalau Republik Indonesia adalah negara kesatuan, maka yang ditempuh Belanda adalah negara serikat. Yang dapat dikendalikan sebagai negara boneka dengan tetap di bawah Pemerintahan Belanda. Sebagaimana telah diusahakan dapat terbentuknya negara-negara bagian maka Belanda berkeyakinan politik tersebut dapat dijalankan di Kaltim,” papar mantan wartawan ini.
Juli 1946, Belanda melakukan langkah pertama untuk menarik Kaltim ke arah yang mereka inginkan. Yaitu dengan mengikutsertakan Kaltim dalam muktamar di Malino, Sulawesi Selatan. Namun dalam konferensi tersebut suara yang diharapkan tidak tercapai. Pasalnya, pernyataan ketua delegasi Kaltim Aji Pangeran Afloes bertentangan dengan keinginan Belanda.
Dalam bukunya Malino Maakt Historie, Aji Pangeran Afloes disebut sebagai pembicara berorientasi pada republik atau republikeins georienteerde speker. Dia Menyatakan, “Bangsa Indonesia menginginkan kemerdekaan sekarang dan Belanda menginginkan nanti. Sebaiknya persoalan ini diserahkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.” (luk/bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: