Tak ada ngabuburit atau penjual takjil di bahu jalan seperti di Indonesia. Salat Tarawih pun hanya di rumah.
JELITA NUR KHASANAH, Bontang
Empat tahun menetap di Victoria, salah satu negara bagian Australia, membuat perempuan yang akrab disapa Nisa sedikit banyak tahu tentang negara itu. Begitupun saat harus menjalani Ramadan di sana. Meski awalnya sekadar mengunjungi kerabat, ia malah bertemu dengan kekasih hatinya dan memulai kehidupan baru di Negeri Kanguru itu.
Puasa dimulai sejak pukul 5 pagi sampai pukul 7 malam. Lama waktu puasa bergantung pada musim yang sedang berlangsung. Karena saat musim panas, waktu puasa menjadi satu jam lebih lama dibanding saat musim dingin. Begitu pula perbedaan waktu dengan Indonesia. Kala musim panas, perbedaan waktunya 3 jam. Sementara saat musim dingin, perbedaan waktunya 2 jam. Sistem ini disebut daylight saving time.
Berbeda dengan Indonesia, berpuasa di Victoria sama seperti hari-hari biasanya. Pun tidak ada istilah “ngabuburit” dan penjual takjil yang menghiasi bahu jalan. Salat Tarawih juga dilakukan di rumah. Bukan karena tidak ada masjid, namun di daerah tempat tinggalnya hanya terdapat musala milik salah satu universitas. Sehingga jam bukanya pun dibatasi, dari pukul 8 pagi hingga pukul 8 malam untuk publik. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri.
Perempuan 24 tahun itu bermukim di wilayah timur yang mayoritas dihuni orang Asia seperti Jepang, Korea, maupun Tiongkok. Hal tersebut akan berbeda jika tinggal di wilayah utara yang mayoritas pendatang dari Turki, Pakistan, atau Arab. Karena di sana bisa menemukan hingga dua masjid dalam satu area. Sehingga salat Tarawih dilaksanakan di masjid-masjid tersebut. Tidak jauh, terdapat toko-toko pakaian muslim dan perlengkapan salat khas Timur Tengah.
Ada satu hal yang sangat disukai perempuan kelahiran Bontang itu. Toleransi yang tinggi. Meski banyak temannya berasal dari negara lain dan warga lokal, hal itu tidak mengendurkan rasa toleransi di antara mereka. Malah teman-temannya sangat tertarik dengan hal-hal spiritual dan kebudayaan orang lain. Bahkan pernah mencoba untuk ikut berpuasa. Meski tidak selesai, tapi cukup untuk membuat mereka memahami bahwa puasa bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan nafsu dan amarah.
“Saya paling suka karena mereka (penduduk Victoria dan pendatang dari negara lain) menghormati orang-orang yang berpuasa. Jadi kalau kerja pun, mereka enggak kasih yang berat karena tahu lagi puasa. Waktu makan juga mereka usahakan untuk nggak makan di depan kami. Itu sesuatu yang bikin saya kagum. Bukan cuma warga lokal, para pendatang juga bisa mengerti,” jelasnya.
Mendekati Lebaran, takbiran hanya dilakukan di area yang dekat dengan masjid. Jika lebih jauh, takbiran digemakan di rumah saja. Sangat berbeda dengan Indonesia yang memang mayoritas penduduknya muslim, sehingga bisa mengumandangkan takbir ke penjuru kota.
Di Victoria tidak ada hari libur nasional, sehingga diri sendirilah yang harus menjadi alarm untuk mengajukan libur terlebih dahulu. Pihak perusahaan biasanya juga akan memaklumi dan memberikan izin pada hari-hari besar tersebut.
“Idulfitri nanti saya berencana ke Victoria Market. Karena di sana akan ada sesama muslim yang merayakan Lebaran. Silaturahmi, makan bareng, seperti tradisi Lebaran pada umumnya. Bedanya, bersama orang dari mancanegara. Hitung-hitung ngobatin kangen karena udah lama enggak ngerasain suasana Lebaran di Indonesia,” katanya dengan antusias.
Tidak mudah membangun suasana Lebaran yang mirip dengan Indonesia. Walaupun harga daging sapi terbilang lebih murah dibanding ayam dan bahan pangan lain, Nisa mengaku sangat merindukan makanan khas Lebaran. Salah satunya buras.
“Ngga sulit menemukan store halal. Tapi di sini daun pisang pun beku. Rasanya juga tetap beda. Mau gimana pun bikin suasana semirip mungkin, tetap enggak bisa,” tutupnya. (dwi/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: