Di balik tragedi penerkaman buaya di Guntung beberapa waktu lalu, terdapat sosok pejuang sekaligus pahlawan bagi korban. Fachrisatul Masruroh, salah satu dokter yang berjasa dalam misi penyelamatan satu nyawa yang kala itu keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan.
Jelita Nur Khasanah, Bontang
Perempuan berdarah Jawa itu lahir pada 29 Agustus 1984 di Lamongan, Jawa Timur. Ayahnya seorang petani, namun memiliki keteguhan yang kuat untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak-anaknya.
Sejak kecil, perempuan yang dulunya sering dipanggil Fachris itu berada di dalam keluarga yang penuh ambisi dalam hal ilmu pengetahuan. Keinginannya untuk menjadi dokter telah timbul sejak ia duduk di bangku sekolah. Harapan itu pun datang dari kakeknya yang merupakan tetua di kampungnya, yakni memiliki seorang anak yang menjadi mantri (sebutan orang yang ahli di suatu bidang kesehatan pada zaman dahulu).
Ketika harapan itu gugur di generasi ayahnya, harapan itu kemudian turun dan terus digaungkan di telinga anak-anaknya.
“Waktu saya ditimang, saya diharapkan menjadi seorang mantri yang nantinya dapat membantu pengobatan di kampung. Akhirnya saya sangat tertarik dan sayalah yang berkesempatan mengenyam pendidikan sebagai dokter. Itu salah satu yang membuat saya merasa beruntung,” ungkapnya kepada redaksi bontangpost.
Tak pernah terbesit di pikirannya bahwa ia akan berhasil mewujudkan hal itu. Ia menghabiskan sembilan tahun belajar di jenjang sekolah dasar dan menengah pertama di desanya. Hingga ayahnya datang membawa kabar, mengatakan bahwa ia harus pergi belajar ke salah satu SMA terbaik di Surabaya.
Pertanyaan soal alasan yang mendasari ayahnya berkeinginan keras memasukkannya ke SMA favorit itu mulai berkelana di kepalanya. Ia masih tidak melupakan mimpinya untuk menjadi seorang dokter. Membayangkan suatu saat nanti mengenakan jas putih, membantu banyak orang, dan membawa ilmu yang dimilikinya dengan lebih fleksibel ke manapun ia berada.
Tahun 2000 silam, ia berhasil masuk sebagai siswa di SMAN 5 Surabaya. Tinggal di kamar kos yang jaraknya tak jauh dari sekolahnya. Sepetak kamar yang dipilih langsung oleh ayahnya sehingga ia tetap dapat pergi ke sekolah tanpa menggunakan kendaraan umum.
“Begitu masuk ke sana (SMAN 5 Surabaya), saya mulai mengerti apa yang di pikirkan oleh ayah saya. Ingin saya berkembang dengan lingkungan yang mendukung,” katanya.
Menurut ayahnya, menjalani hidup dengan keteguhan menggapai cita-cita bukan hanya datang dari diri sendiri, tetapi harus diimbangi dengan lingkungan yang baik. Menciptakan hal itu akan lebih berat jika dilakukan di tanah kelahirannya, sebab hasil yang diperoleh tidak semaksimal dengan lingkungan yang juga berambisi mengejar hal yang sama.
Ia membayangkan bagaimana perjuangan ayahnya hingga dapat mengumpulkan informasi mengenai sekolah terbaik di ibukota Provinsi Jawa Timur itu. Bertanya ke sana ke mari, menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan berusaha di tengah keterbatasan informasi yang ada pada masa itu.
“Oh, ini yang dimaksud ayah saya,” ujar dia sembari menghela napas lega.
Selepas kelulusannya, ia membidik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga sebagai tempat belajar selanjutnya. Hal itu didukung penuh oleh seluruh keluarganya, terutama ayahnya. Namun kegagalan menghampirinya di tahun pertama setelah ia lulus dari bangku SMA, yakni 2003. Ia tidak diterima di universitas tersebut, melainkan di sebuah universitas di Pulau Bali.
Ia datang kepada ayahnya, mengadukan kegagalannya masa itu. Tidak banyak yang disampaikan ayahnya, sebab Fachris telah mengetahui jawabannya.
“Habiskan jatah gagalmu,” singkatnya, sambil menirukan perkataan ayahnya waktu itu.
Kegagalan baginya bukanlah akhir perjalanan. Dalam pelajaran hidup yang diajarkan ayahnya, setiap manusia memiliki jatah gagalnya masing-masing, pun sebagai manusia harus melalui dan menghabiskan itu. Mau tidak mau, suka tidak suka.
Lebih jauh, jatah gagal digambarkannya sebagai sesuatu yang selalu mengikuti usaha orang lain. Tidak ada yang tahu berapa banyak kegagalan yang berbaris menunggu giliran untuk digunakan. Maka ia menyadari, yang harus dilakukannya ialah mencoba lagi.
Ia kemudian berhasil menginjakkan kaki di fakultas impiannya di tahun kedua setelah kelulusannya, tepatnya pada 2004. Menjalani hidupnya sebagai mahasiswa kedokteran selama enam tahun dan berhasil meraih kelulusan 2010 lalu. Ia menorehkan gelar baru di depan ejaan namanya, sebagai seorang dokter umum.
Babak baru hidupnya dimulai di Bontang, mengikuti jejak sang suami menjadi perantau di tanah Kalimantan. Ia kemudian bekerja di RS Pupuk Kaltim. Sebelum memutuskan untuk kembali melanjutkan studinya dan mengambil spesialis bedah.
Pilihan itu ia ambil sebagai wujud dari apa yang disenanginya selama ini. Fachris lebih suka menjalani hal-hal yang menantang dan membutuhkan keterampilan. Hasil yang diperoleh dapat diukur dengan jelas, pun dengan follow up yang dilakukan. Meski begitu, kebimbangan sempat ia rasakan dengan mempertimbangkan dua bidang spesialis, yakni bedah dan kecantikan.
“Menjadi spesialis bedah memberi saya dorongan tersendiri, karena saya dapat melihat secara langsung apa yang menjadi keluhan pasien selama ini. Mengamati permasalahan, menegakkan diagnosis, sampai melakukan prosesi pembedahan. Itu menjadi hal yang sangat saya sukai. Saya dapat melihat perubahan setelah tindakan operasi yang saya lakukan,” terangnya.
Jika demikian, ia jelas memiliki kekaguman terhadap dokter spesialis lainnya, contohnya dokter THT. Menurutnya sangat sulit untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh pasien, sebab hal itu dipengaruhi oleh persepsi setiap orang sehingga sulit untuk mengukur dengan jelas apa yang dirasakan oleh pasien. Berbeda halnya dengan bedah yang dapat langsung mengambil tindakan atas permasalahan pasien.
Ia mengundurkan diri sebagai dokter umum pada 2012 dan melakukan persiapan untuk melanjutkan spesialis selama setahun. “Jadi 2014, saya mulai berkuliah lagi,” tuturnya.
Pendidikan spesialis bedah ia tempuh selama kurang lebih lima setengah tahun, dengan rincian setengah tahun melalui mata kuliah dasar umum. Ditujukan untuk mengulas dan mengingat secara keseluruhan ilmu yang telah didapatkan selama ini.
Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali bekerja di rumah sakit sebelumnya dengan posisi baru dan gelar baru di belakang namanya, spesialis bedah.
Ada hal yang unik dari nama panggilannya, Fao. Tiga huruf yang diambil dari namanya dan menjadi bentuk tanggung jawab atas tindakan yang ia lakukan kepada pasien.
“Fao menjadi nama panggilan sampai sekarang. Tidak ada ‘Fao’ lain selain saya, berbeda dengan panggilan Fachris yang juga dimiliki orang lain. Hal itu membuat saya harus bertanggung jawab penuh dengan apa yang saya lakukan dan mengerahkan segala kemampuan saya,” bebernya.
Banyak yang terjadi di meja operasi. Hal itu membuatnya memperoleh sejumlah pelajaran soal keyakinan. Kepada media ini, ia menceritakan sering bertemu dengan pasien yang membuatnya memahami arti keikhlasan.
Dalam suatu operasi pembedahan, ada pasien yang pernah mengatakan bahwa ia meletakkan seluruh kepercayaannya padanya, di saat ia tengah goyah dengan keyakinannya sendiri. Hal itu pun membuat rasa optimis kembali mengisi perasaannya sendiri.
“Saya justru sering mendapat pelajaran dari pasien saya sendiri dan hal itu sangat menguatkan saya,” sebut dia.
Faktanya, korban dari penerkaman buaya itu menjadi salah satu pasien dengan kasus paling menantang dan tergolong berat yang pernah ditangani, sepanjang ia berkarir sebagai dokter bedah selama hampir lima tahun terakhir. Melihat keadaannya yang sangat parah dan berhasil bertahan hingga sekarang membuatnya takjub.
Beberapa aspek mendasari kasus ini termasuk berat. Di antaranya multi trauma yang dialami pasien, beradaptasi dengan peralatan yang ada, termasuk gesekan dan konflik sosial yang berpeluang besar terjadi. Ia pun harus ekstra berhati-hati dalam melakukan penjelasan dan edukasi, sehingga tidak menimbulkan unsur provokatif yang dpaat memperkeruh keadaan.
“Saya katakan pasien itu mendapat hidupnya yang kedua dan itu suatu mukjizat. Saya ingat sekali ketika pertama kali korban datang. Keadaannya sangat mengkhawatirkan dan saya benar-benar merasa hancur melihat kondisinya,” ungkap Fao.
Segala upaya ia lakukan hingga keadaan membuat korban harus dirujuk ke rumah sakit dengan peralatan lebih memadai. Ia menjelaskan kondisi fisik pasien. Bekas luka gigitan buaya yang menganga lebar, hingga keadaan paru-paru korban yang memerlukan tindakan lanjutan.
Adapun ia selalu berusaha menjalin hubungan yang baik dengan pasiennya, termasuk korban gigitan buaya itu. Diakuinya, saat ini ia masih berkomunikasi dengan korban. Sekadar bertukar kabar serta memberi dukungan moral dan psikologis, sebab banyak spekulasi yang kerap terjadi di jejaring media sosial hingga sekarang.
Ada nasihat yang masih ia bawa ke manapun dan menjadi landasan dalam hidupnya sebagai seorang dokter. Orang tuanya selalu berpesan, bahwa sakitnya seseorang tidak hanya dilatarbelakangi oleh penyakit medis. Ada hal lain yang harus diperhatikan, seperti keadaan sosial, ekonomi, maupun keadaan psikologis seseorang. Sebagai seorang dokter, ia tidak dapat serta merta menghakimi seseorang bila tidak ingin mendapatkan perawatan atau melakukan operasi.
“Dan itu menjadi tugas saya, mencari tahu kenapa pasien tidak ingin ditangani, sementara kondisinya harus segera mendapat penanganan,” katanya.
Dijelaskan dia, tugas berat ia dan sejawat saat ini berasal dari berita-berita yang tidak valid atau hoaks. Hal itu membuat pasien terkadang tidak ingin mendapat tindakan dan berakhir menjalani perawatan yang kurang tepat.
Selain itu, yang lebih berat baginya sebagai seorang dokter bedah justru bukan melakukan tindakan bedah, namun meyakini orang lain bahwa ia adalah dokter bedah.
“Karena postur tubuh saya yang lebih kecil, terkadang pasien ragu kalau saya adalah dokter bedah. Itu yang lebih berat menurut saya,” tandasnya sambil tertawa. (edw)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post