Pelan tapi pasti, dari mulanya ia tak tahu apapun, kini Muhammad Ali dikenal publik sebagai salah satu tokoh penggerak pelestarian bakau dari pesisir Kota Bontang. Dedikasinya berbuah penghargaan Kalpataru.
FITRI WAHYUNINGSIH, BONTANG
Sore pertengahan 2009. Muhammad Ali menyusuri aliran Sungai Santan di Desa Santan, Kukar. Dia menggunakan kapal ketinting berukuran sekitar 3 meter. Dalam perjalanan mengarungi aliran sungai yang kecokelatan itu, ia menyaksikan deretan bakau. Yang pelan-pelan habis ditebang manusia tak bertanggung jawab.
Ranting, dahan, dan badan pohon tandas jadi potongan kecil. Belakangan baru ia tahu, potongan itu rupanya dijadikan bahan baku arang. Yang nantinya berujung di tungku pembakaran. Melihat kejadian itu, perasaan Ali terasa ngilu. Tak lama usai kejadian itu, Ali pulang dengan hati mengganjal. Secara naluriah ia yakin tindakan itu tak benar. Benaknya bilang, tumbuhan itu hidup bukan untuk ditebang begitu saja. Ia tumbuh buat menjaga keseimbangan alam.
Berangkat dari keresahan itu, Ali mulai menyelami soal bakau. Pelan-pelan. Cari tahu bagaimana ia hidup. Apa saja manfaatnya. Apa saja jenis-jenisnya. Dan terpenting dari itu semua, Ali harus mulai bergerak. Jangan sampai hutan bakau keburu habis dibabat. Dan sisanya tinggal sesal lantaran alam marah pada manusia.
“Melihat kejadian itu hati saya bagaimana, ya. Tidak bisa begitu. Kalau bukan kita yang rawat, siapa lagi sudah,” kata Ali ketika disambangi di kediamannya, Jalan Cumi-Cumi, Tanjung Laut, Bontang Selatan, Selasa (13/7) sore.
Untuk menanam bakau, mulanya Ali mencari buahnya. Itu dia peroleh dari pesisir Bontang. Baik di pulau-pulau terpencil atau bibir pantai. Sebab di pesisir Kota Taman, julukan Bontang, banyak pohon bakau tumbuh liar. Sekali petik bisa 50-100 buah. Kendati ia tak paham juga, buah itu berasal dari bakau jenis apa.
Barulah di belakangan ia tahu kalau buah yang dipetik itu berjenis Rhizovora muncoronata. Jenis bakau yang khas hidup di kawasan pesisir. Buah bakau yang dipetik itu kemudian dibawa ke kediamannya di Jalan Cumi-Cumi, RT 01, Tanjung Laut. Dari sana, buah lantas dimasukkan dalam polybag hitam yang sebelumnya sudah bermedium tanah. Usai proses ini rampung, bibit bakau dijejer di halaman rumahnya. Yang notabene berkontur rawa dan cukup basah.
Seluruh aktivitas ini dilakukan Ali seorang diri. Anggota keluarganya sekadar bantu memantau bibit pohon yang dijejer depan rumah. Mulanya, ucap dia, kegiatan ini yang dilakukan kala libur kerja. Seminggu dua kali. Sebab kala itu, ia masih tercatat sebagai karyawan di salah satu perusahaan tambang batu bara yang terletak di perbatasan Bontang-Kutai Kartanegara (Kukar).
“Belajar di lapangan aja. Tidak ada yang ajar. Ya pas menanam itu saya sekalian belajar,” ungkapnya.
Setelah 2-3 bulan disemai, beberapa bibit mulai menampakkan hasil. Dalam durasi itu, bibit pohon bakau sudah mengeluarkan empat daun, dengan panjang sekitar 70-80 sentimeter. Tak lama usai bibit ini merekah, dewi fortuna seolah kembali menyambangi Ali. Kala itu, jelang pengujung 2009. Kelurahan Tanjung Laut Indah dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan (KSOP) Klas II Bontang berencana menggelar kegiatan penanaman pohon bakau di pesisir. Salah satu staf menyambangi kediaman Ali, menawar untuk membeli bibitnya.
“Mereka mau beli 1000 (bibit pohon). Saya tawarkan Rp 5.000 per pohon. Ternyata mereka mau,” terangnya.
Penjualan perdana ini membuat semangat Ali semakin melambung. Pertama, uang hasil penjualan itu ia gunakan membeli polybag. Kedua, namanya mulai dikenal sebagai pembudi daya bibit pohon bakau. Berbekal itu, Ali meminta bantuan Lurah Tanjung Indah kala itu, Edi Patroni. Minta dibantu dan difasilitasi agar bisa menjadi mitra binaan Comdev PT Badak LNG. Ia serius mengembangkan budi daya bakau ini.
“Saya ke lurah, bisakah saya dibantu membuat proposal. Ternyata dia mau,” katanya.
Gayung bersambut, tak sampai sepekan proposal yang diajukan direspons perusahaan. Dua perwakilan perusahaan saat itu, Edi Cahyadi dan Bushori datang ke kediamannya di Tanjung Laut Indah. Menyaksikan sendiri apa yang sudah dilakukan Ali di sana. Tertarik dengan kegiatan budi daya bakau, perusahaan kembali memberi penegasan bila mereka siap menggandeng Ali sebagai mitra mereka. Perusahaan bertanya, apa saja dibutuhkan guna mengembangkan budi daya itu.
Ali menyebut butuh dibuatkan paranet dan disediakan ketinting (kapal kecil). Paranet untuk menaungi bibit pohon yang sudah di polybag. Kemudian ketinting untuk mencari buah atau menanam bibit baku. Usai jadi mitra binaan perusahaan, perlahan tapi pasti budi daya bakau yang dimulai dengan modal nekat ini terus bergerak maju.
Kapasitas bibit pohon bakau yang dihasilkan terus tumbuh. Dari mulanya hanya ratusan per bulan, jadi ribuan. Ini berlangsung selama setahun 2009 akhir hingga awal 2011, ketika Ali menambah tujuh energi baru. Dengan memberdayakan warga sekitar di RT 01 Tanjung Laut Indah, alias tetangga rumahnya sendiri.
Di tahun yang sama, 2011, Ali diikutsertakan dalam lomba penghijauan tingkat Provinsi Kaltim. Tak disangka, debutan ini langsung menyabet juara pertama. Secara otomatis ia ditunjuk mewakili Kaltim untuk lomba serupa di tingkat nasional.
Ali diterbangkan langsung ke Jakarta. Dalam lomba yang dihelat oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Kemen-LHK) RI itu, Ali duduk di posisi juara harapan II. Kemen-LHK kala itu, Zulkifli Hasan yang menyerahkan langsung penghargaan kepada pria kelahiran Santan ini.
“Gara-gara itu saya bisa injak Istana (Merdeka), ikut upacara 17 Agustus. Pulang juga dikasih uang pembinaan Rp 45 juta. Saya di pesawat terasa kayak tidak duduk, karena pegang duit sebanyak itu,” ujarnya antusias.
Memasuki 2012, Ali kembali meminta dukungan perusahaan. Dia ingin mengubah persepsi masyarakat kalau bakau sekadar berfungsi sebagai penahan abrasi. Ada hal lain yang bisa diulik. Ada potensi ekonomi yang besar di sini. Maka atas bantuan perusahaan, seorang ahli dari Surabaya didatangkan buat melihat potensi apa yang bisa digali dari pohon bakau. Ternyata diketahui, buah bakau jenis Sonneratia Ovata dapat dijadikan sirop. Satu kilo buah Sonneratia Ovata dapat menghasilkan lima botol sirop isi 500 mililiter. Untuk rasa, ia punya karakter asam. Dan berdasarkan hasil penelitian, ia kaya akan vitamin C. Bahkan kandungannya lebih tinggi ketimbang apel. Sementara ampas dari buah Sonneratia Ovata bisa dimanfaatkan jadi dodol.
Rupanya, kata dia, bakau jenis Rhizophora mucronata juga bisa dibuat pewarna pakaian. Pemanfaatan dilakukan tanpa merusak pohon itu sendiri. Pelestarian lingkungan berjalan, ekonomi juga bergerak. “Karena agak susah orang mau bergerak di lingkungan saja kalau tidak ada nilai ekonomis di dalamnya,” kata pria berusia 50 tahun itu.
Memasuki 2013, Ali memilih fokus di pembudidayaan ini. Ia meninggalkan gaji Rp 7 juta per bulan yang ia terima dari pekerjaan sebagai operator alat berat di perusahaan tambang. Dia resmi mengundurkan diri. Dari perusahaan, ia menerima pesangon. Sebesar Rp 110 juta di antaranya dipakai membeli lahan dekat rumahnya. Itulah yang menjadi sentra aktivitas pembudidayaan bakau saat ini. Atau lebih dikenal dengan Kelompok Lestari Indah. (ak/riz/k15/bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post