Dokter Michael Leksodimulyo MKes tak hanya mengobati penyakit, tapi juga kemiskinan. Dia memberikan layanan kesehatan gratis secara keliling, menyediakan beragam pelatihan, hingga menggelar nikah masal.
SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya, Jawa Pos
—
RUMAH itu berbalut dinding kombinasi antara seng, tripleks, dan anyaman bambu yang saling menempel. Beberapa baju jemuran digantung pada tali yang dibentangkan di luar dinding rumah.
Sementara itu, atap rumah yang setengahnya menggunakan seng, sebagiannya lagi menggunakan genting. Melindungi seisi rumah dari teriknya siang kala itu.
Rumah di tepi Kali Jagir, Surabaya, berukuran 3 x 3 meter tersebut hanya terdiri atas satu ruangan, tapi multifungsi. Di sudut kanan bagian depan rumah, ada kompor dan tabung gas hijau melon.
Di belakang dapur kecil itu, ada sebuah kasur berukuran single. Di sampingnya terdapat sebuah dipan dan tumpukan baju-baju. Sepertinya itu adalah tumpukan jemuran yang baru saja diangkat.
’’Saya tidurnya di sini,” kata Ramiyati, sang tuan rumah, sambil menepuk-nepuk tempat tidur yang didudukinya.
Dia sedang sendirian pada Selasa siang lalu itu (22/12). Anaknya, Saryadi, sedang bekerja sebagai kuli bangunan dan belum waktunya pulang ke rumah.
Sudah setahun Ramiyati tinggal di rumah itu. Saban bulan, dia membayar Rp 300 ribu untuk biaya sewa kos. Namun, kini dia lebih banyak dibantu Saryadi.
Sebab, janda 64 tahun itu kini tak lagi bekerja sebagai koki untuk para relawan Yayasan Pondok Kasih. Dia sudah pensiun.
Beruntung, pertolongan dari orang-orang yang peduli padanya terus mengalir. Terutama bantuan dari Yayasan Pondok Kasih yang digawangi dr Michael Leksodimulyo MKes. Selasa siang lalu itu, Michael memberikan bingkisan berupa makanan dan vitamin untuk Ramiyati.
’’Dimaem lho rotine. Ojok ngenteni telung dino, ngko basi, mambu (Dimakan rotinya. Jangan menunggu tiga hari, nanti basi, bau, Red),” ujar pria 52 tahun itu kepada Ramiyati yang dibalas dengan anggukan.
Bingkisan itu pun diterima Ramiyati sambil sesekali terbatuk. Dia memang mempunyai riwayat penyakit paru-paru. Sempat terjangkit tuberkulosis (TB) beberapa tahun lalu. Untungnya, Michael membantu biaya pengobatan Ramiyati hingga sembuh. Setelah dirawat di RS Gotong Royong Surabaya, kondisi Ramiyati kini lebih baik.
Ramiyati hanya satu di antara sekian banyak orang yang menerima pertolongan dari Michael. Sesuai julukannya, “dokter spesialis gelandangan”, dia memang sudah dikenal sebagai dokter yang tidak hanya mengobati penyakit, tapi juga kemiskinan. Yang sudah dia lakukan selama 12 tahun terakhir.
Sebelum berkiprah di dunia filantropi dan kemanusiaan, dokter asal Surabaya itu membuat keputusan yang cukup besar dalam perjalanan karirnya. Dia menanggalkan jabatannya sebagai staf direksi Komite Mutu RS Adi Husada Surabaya. Latar belakangnya yang dulu hanya bisa mengandalkan beasiswa untuk kuliah membuatnya bertekad mengabdi pada kaum papa.
’’Saat ingin kuliah, saya merasa dicukupkan oleh Tuhan untuk memikirkan kaum duafa. Apalagi setelah bekerja, saya punya rumah dan kendaraan yang bagi saya itu sudah cukup. Saya ndak mau hidup hanya untuk menimbun harta,” paparnya yang kemudian mengantarkan Jawa Pos mengelilingi kompleks permukiman para pemulung di kawasan Keputih, Surabaya.
Kepedulian Michael diwujudkan dalam berbagai hal. Mulai memberikan layanan kesehatan gratis secara keliling, menyediakan pendidikan komputer dan buku bacaan untuk anak-anak, membantu pembuatan administrasi untuk warga, hingga menggelar nikah masal. Semua itu dilakukan tak lain demi membantu mengurangi kemiskinan.
Pernah, dia merasa prihatin melihat seorang ibu yang setiap hari mengeluh. Kepada Michael, ibu itu bercerita bahwa suaminya hanya memberinya uang Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu untuk belanja.
’’Setiap hari saya dengar ibu itu ngersulo (mengeluh). Dan kata-kata ini kan tidak enak ya kalau didengar anak. Anaknya nanti jadi berpikir bahwa dia dilahirkan untuk menjadi orang miskin,” ucapnya.
Michael pun lantas berinisiatif memberikan pelatihan untuk ibu tersebut dan ibu-ibu lainnya. Mereka diberi pelatihan merajut, menjahit, dan membuat karya yang bisa mendatangkan keuntungan.
Ibu-ibu tersebut juga diberi edukasi mengenai manajemen finansial dan manajemen gizi untuk keluarga. Di luar itu, ada pula program pencetakan kader kesehatan bagi para ibu. Mereka diajari cara memeriksa gula darah dan tekanan darah agar bisa membantu tetangganya.
Suami-suami para ibu itu, kata Michael, bekerja sebagai pemulung, tukang becak, dan pekerjaan lain yang halal. Namun, rupanya banyak juga yang menafkahi keluarganya dari hasil maling spare part mobil.
Nah, para suami tersebut diberi bermacam pelatihan. Mulai pelatihan mengecat hingga membersihkan AC. Ada juga yang dibekali modal untuk beternak bebek hingga kini sukses menjadi peternak bebek di Bangkalan, Madura.
Michael tidak membeda-bedakan ketika akan memberikan bantuan. Semua orang miskin, apa pun agamanya, dia bantu. Dia sendiri pernah mengarahkan para pemulung di Keputih untuk mendirikan musala.
Dari dalam mobil, sambil menunjuk sebuah titik pengepulan sampah, Michael menceritakan di situlah lokasi musala yang dulu diinisiasi olehnya.
Warga bahu-membahu menyumbangkan seng, tripleks, dan bahan-bahan lainnya untuk membuat musala itu. Inisiatif tersebut didasari para pemulung yang jarang sekali salat Jumat karena tidak ada tempat ibadah di sekitar kampung.
Bagi Michael, miskin itu ada dua: miskin fisik dan miskin rohani. Miskin fisik masih bisa diobati dengan cara memburu rezeki dunia yang ditebarkan Tuhan setiap hari.
Namun, kalau sudah miskin rohani, itu yang lebih berbahaya. ’’Miskin rohani itu kalau tidak butuh Tuhan ya,” kata ayah tiga anak tersebut.
Musala pun berhasil didirikan. Sayang, musala itu kemudian diruntuhkan untuk kepentingan penyesuaian tata ruang dan tata wilayah kota.
Namun, sebagai gantinya, kini ada masjid yang lebih besar. Masjid itu dibangun atas hasil donasi warga dan orang-orang yang peduli pada pembangunan karakter rohani warga pemulung di Keputih. Ada juga pengajaran membaca Alquran untuk anak-anak di kawasan itu.
Michael lantas mengantarkan tim Jawa Pos ke kantor Yayasan Pondok Kasih yang letaknya dekat dengan kampung pemulung itu. Di ruang kerjanya, piagam dan plakat tanda penghargaan berjejer rapi di dinding dan lemari kaca.
Penghargaan-penghargaan tersebut, antara lain, Doctor of the Year dalam ajang The Asia Pacific Action Alliance on Human Resources for Health (AAAH) yang diselenggarakan World Health Organization (WHO) pada 2014.
Dia mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai berhasil memberdayakan masyarakat yang kurang mampu untuk menjadi lebih mandiri. Juga, karena dia telah menginisiasi bantuan untuk membantu pembiayaan pelayanan masyarakat. Yang terbaru, pada Agustus 2020, dia diganjar penghargaan sebagai Ikon Prestasi Pancasila.
Bagi Michael, penghargaan bukan yang utama. Dia paling bahagia ketika bisa melihat orang-orang di sekitarnya lebih mampu.
’’Kebaikan itu harus disebarkan seperti virus cinta. Seperti virus Covid-19 yang cepat menyebar, virus cinta ini ndak boleh kalah sebarannya,” tutur lulusan S-2 Health Marketing Universitas Airlangga itu. Senyum mengembang di kedua ujung bibirnya.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post