SAMARINDA – Proses Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Kaltim, Andi Harun (AH), masih menyisahkan polemik. Muncul dugaan, AH dianggap telah melanggar etika kedewanan karena tak kunjung mengundurkan diri pasca diangkat sebagai pimpinan partai berlambang garuda tersebut.
Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Jahidin mengaku keberatan jika AH dinilai melanggar etika di DPRD Kaltim. Pasalnya, sebelumnya muncul bahwa AH dapat diadukan ke Badan Kehormatan Dewan (BK) karena tak kunjung mengundurkan diri.
Padahal AH sendiri sudah berpindah partai. Sebelum memimpin Gerindra Kaltim, AH tercatat sebagai anggota Fraksi Partai Golkar. Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa setiap anggota DPRD yang pindah partai, maka harus dilakukan PAW.
“Selama belum diganti, AH tetap sah menerima gaji di DPRD Kaltim. Tidak melanggar etika. Kalau tidak lagi menjabat, sedangkan masih menerima gaji, itu baru disebut sebagai pelanggaran,” kata Jahidin, Selasa (22/5) kemarin.
Dia menyebut, penggantian anggota DPRD mestinya berlandaskan UU Nomor 1/2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Sebab aturan tersebut mengatur secara detail masalah yang menyangkut kedewanan.
“Sedangkan UU Nomor 23/2014 itu hanya mengatur secara umum. Dalam UU MD3 dikatakan, setiap anggota dewan yang sedang menjalani proses hukum, tidak boleh dilakukan PAW,” tegasnya.
Proses PAW terhadap AH, lanjut dia, harus melewati sejumlah tahapan. Salah satunya pengajuan PAW yang dilakukan Partai Golkar selaku partai induk AH. Karena itu, pengajuan penggantian sepenuhnya berada di tangan Golkar.
“Jadi proses PAW itu ada tahapannya. Bukan berarti AH tidak mengerti etika atau melanggar etika. Etika yang mana yang dia langgar? Kalau surat keputusan (SK) dari Kementerian Dalam Negeri itu sudah keluar, sudah dilaksanakan PAW, kemudian AH masih menjabat, itu baru dinyatakan melanggar etika,” terangnya.
Meski begitu, dirinya sepakat apabila AH diganti di DPRD. Namun tetap dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Kepindahan AH ke Gerindra dapat dijadikan dasar pengambilan pengajuan PAW.
Namun kepindahan tersebut hanya sebagai syarat, belum dilaksanakan. Karenanya selama tahapan PAW belum terlaksana, AH masih memiliki hak menerima gaji di DPRD.
“Kalau pindah partai, tidak mesti langsung mengundurkan diri dari DPRD. Pengunduran diri dari Golkar itu baru memenuhi syarat untuk PAW. Tidak serta merta mundur dari Golkar, juga diharuskan mundur dari DPRD. Jadi ada tahapan yang harus dipenuhi,” ucapnya.
Dalam kapasitasnya sebagai teman, Jahidin sudah menyarankan AH mundur dari DPRD. Jahidin menyebut, AH sejatinya sudah sependapat untuk mundur. “Bahkan sudah tanda tangan mundur. Saya lihat itu di Partai Gerindra. Masalahnya itu Partai Golkar saja yang tidak aktif untuk mencari dan meminta SK itu,” lanjutnya.
Sebelumnya, pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah mengatakan lambannya PAW terhadap AH dapat memberikan contoh buruk bagi masyarakat. Sebab anggota DPRD adalah pejabat publik yang seharusnya mempertontonkan keteladanan di publik.
“Di samping itu, ini juga berimplikasi pada keuangan negara. Dia akan terhitung keluar dari Partai Golkar sejak SK di Gerindra keluar. Kalau masih menerima gaji dan tunjangan, bisa jadi temuan,” ucapnya.
Menurut Herdiansyah, diterimanya gaji oleh AH tetap sah sepanjang belum ada surat pemberhentian. Tetapi jika dianalogikan, kalau tidak diganti sampai 2019, gaji yang diterima itu patut dipertanyakan. “Ada niat yang buruk di dalamnya,” lanjutnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: