KETUA Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bontang Suardi mengatakan, potensi politik uang bisa terjadi di mana-mana bukan hanya di Kaltim. Untuk itu selaku penyelenggara pemilu, KPU berharap jangan sampai terjadi politik uang dalam masa kampanye pilgub maupun Pemilu 2019 mendatang. Menurut dia, praktik politik uang merusak proses demokrasi bangsa.
“Politik uang itu merusak. Seharusnya memilih karena menganggap paslon yang dipilih memang pantas untuk dipilih. Agar membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi ketika orang memilih karena uang, maka dia akan mengesampingkan hal itu,” jelasnya.
Dengan begitu, urai Suardi, lima tahun ke depan akan menjadi tidak ada artinya bagi mereka yang memilih atas pertimbangan uang. Karena sang pemilih sudah mendapatkan ganjarannya terlebih dulu berupa uang yang akan habis seketika. Bila hal ini jamak terjadi, maka akan sulit mengharapkan terciptanya pemerintahan yang lebih baik.
“Jadi kami berharap itu (politik uang, Red.) jangan sampai menjadi dasar bagi pemilih untuk kemudian memberikan hak pilihnya,” tutur Suardi.
Menurut dia, seharusnya warga menggunakan hak pilih dengan melihat program masing-masing paslon. Di antaranya dengan menelusuri rekam jejaknya seperti apa selama ini. Terutama program dan visi misi yang ditawarkan semasa kampanye, terkait apa saja yang akan dilakukan ketika terpilih. “Itulah yang harusnya jadi patokan,” tegasnya.
Bicara politik uang, menurut Suardi merupakan hal yang rumit. Berdasarkan informasi dan penuturan orang, praktik tersebut ada di tengah masyarakat. Namun begitu sulit dalam pembuktiannya. Tetapi dengan regulasi sekarang yang semakin ketat, dia berharap para pengawas pemilu di antaranya Panwaslu bisa semakin maksimal dalam mengawasi dan menindak setiap pelanggaran yang ada.
“Politik uang ini tidak ada yang bisa diproses, tapi orang selalu cerita kalau itu ada. Sehingga kata orang-orang di Panwaslu, politik uang itu seperti buang angin, ada baunya tapi tidak bisa dilihat,” sebut Suardi.
Ketua Panwaslu Bontang Agus Susanto menyebut, semakin banyaknya aturan dan sanksi pelanggaran bisa semakin menekan ongkos politik yang dikeluarkan. Sehingga ketika nantinya mereka terpilih, tidak berpikir lagi untuk korupsi. Karena dengan semakin banyak ongkos politik yang dikeluarkan, akan berpikir bagaimana mengembalikannya kelak.
“Dengan tidak menggunakan politik uang, ongkos politik bisa ditekan. Sehingga calon bisa lebih pada menawarkan visi dan misi,” ungkapnya.
Sementara dalam proses kampanye yang tengah berjalan saat ini, Panwaslu beserta jajarannya masih belum menemukan adanya dugaan politik uang. Namun sudah ada beberapa laporan dan temuan, di antaranya terkait keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) serta adanya kampanye di luar jadwal.
“Jumlah pengawas yang kami miliki terbatas. Karena itu kami selalu mengampanyekan pengawasan partisipatif yang melibatkan semua pihak,” tandas Agus.
Prof Sarosa Hamungpranoto, pengamat hukum dan sosial politik Universitas Mulawarman menuturkan, dalam kondisi saat ini politik uang diperkirakan masih akan laku “menjerat” para pemilih. Hal ini disebabkan masyarakat telah terpola dari kebiasaan yang lalu setiap kali pemilu. Hal ini bisa dilihat dari masih adanya warga yang menanyakannya ketika kampanye bergulir.
“Ini sangat berbahaya. Kebiasaan ini mestinya sudah harus hilang,” ujar guru besar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda ini.
Kata Sarosa, politik uang paling rawan terjadi dalam momen pemilu, termasuk pilgub. Hal ini sulit dihindari mengingat paslon maupun parpol pasti akan berusaha mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Cara yang paling gampang di antaranya dengan “serangan fajar” dan sejenisnya.
Bila praktik seperti ini diteruskan, akan membahayakan pendidikan politik masyarakat ke depannya. Karena masyarakat sudah tidak objektif dalam menentukan pilihan. Bukan karena figur-figur, visi-misi, atau program-program kerjanya, melainkan memilih karena uangnya.
“Masyarakat sudah diarahkan ke pemikiran yang tidak objektif, untuk hal-hal berkaitan materi,” tutur Sarosa. “Ini berbahaya apalagi kalau dilakukan kepada pemilih pemula, anak-anak muda yang baru pertama kali memilih. Ini akan jadi racun, demokrasi akan terganggu,” sambungnya.
Pekerjaan rumah yang mesti dilakukan saat ini menurut Sarosa, yaitu bagaimana membawa pemikiran masyarakat menjadi objektif dan lebih rasional. Jangan karena masalah uang, sehingga mempengaruhi sikap dari masyarakat itu sendiri. Karena sikap masyarakat itu akan berubah bila ada sesuatu yang memang dianggap menguntungkan.
Untuk itu dia menyebut, masing-masing pihak harus menyadari dan menganggap politik uang sebagai masalah yang serius. Termasuk dari paslon dan partai politik yang mengusung agar jangan sekadar berlomba-lomba memburu suara, melainkan juga harus memiliki tanggung jawab. “Artinya jangan sampai merusak sikap dan perilaku masyarakat dengan melakukan politik uang,” jelas Sarosa. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: