Tinggal beberapa hari lagi tahun 2016 akan segera berakhir kemudian memasuki tahun baru 2017 Masehi. Biasanya, beraneka acara disiapkan untuk merayakan pergantian tahun baru. Namun, tampaknya penyambutan jelang tahun baru 2017 kali ini tidak tampak rame dibanding dengan tahun lalu. Para pedagang pernik-pernik tahun baru yang biasanya jauh-jauh hari sudah rame berjualan di pinggir jalan, kali ini terlihat hanya beberapa saja dan tidak banyak pembeli.
Semoga sepinya masyarakat dalam menyambut tahun baru bukan karena sekedar dampak dari lesunya perekonomian yang melanda masyarakat pada akhir tahun ini, namun lebih karena kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk perayaan tahun baru itu sendiri pada tahun-tahun sebelumnya.
Khususnya umat Islam, sebaiknya tidak merayakan tahun baru masehi, karena perayaan tahun baru masehi bukan budaya yang lahir dari aqidah Islam, bahkan bertentangan.
Budaya meniup terompet, menyalakan kembang api, petasan, jogetan, teriak-teriak dalam pergantian tahun baru, jelas bukan budaya Islam, tetapi budaya Barat yang cenderung menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan.
Kerapkali, pesta perayaan tahun baru dibarengi dengan menenggak minuman keras, pesta Narkoba, seks bebas, dan perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Dengan kata lain perayaan tahun baru sering menjadi ajang kemaksiatan.
Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk perayaan tahun baru, terkadang sampai menelan dana puluhan juta rupiah bahkan milyaran rupiah. Jika semua uang masyarakat yang digunakan untuk membeli petasan, terompet, kembang api, dan sebagainya itu dikumpulkan, pasti berjumlah milyaran rupiah. Sementara uang sebanyak itu hanya dibakar sia-sia, tanpa berdaya guna sedikitpun. Namun jika digunakan untuk pembangunan tentunya akan lebih bermanfaat. Oleh karena itu, budaya pesta perayaan tahun baru merupakan sikap pemborosan yang bertentangan dengan Islam.
Perayaan tahun baru masehi memiliki sejarah panjang. Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan hari itu tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.
Kegiatan ini merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings.
Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun.
Fakta ini membuktikan bahwa perayaan tahun baru sama sekali tidak berasal dari budaya kaum muslimin. Pesta tahun baru masehi, pertama kali dirayakan orang kafir, yang notabene masyarakat paganis Romawi.
Acara ini terus dirayakan oleh masyarakat modern dewasa ini, walaupun mereka tidak mengetahui spirit ibadah pagan adalah latar belakang diadakannya acara ini. Mereka menyemarakkan hari ini dengan berbagai macam permainan, menikmati indahnya langit dengan semarak cahaya kembang api, dst.
Dus, tahun baru masehi adalah hari raya orang kafir. Turut merayakan tahun baru statusnya sama dengan merayakan hari raya orang kafir. Sehingga umat Islam terlibat merayakan tahun baru hukumnya terlarang. Di antara alasan pernyataan ini adalah:
Pertama, turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud). Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”.
Kedua, mengikuti hari raya mereka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (baca: memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.” (QS. Al-Mumtahanan: 1).
Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk madinah, “Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i). Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya terbaik: Idul Fitri dan Idul Adha.
Untuk itu, turut bergembira dengan perayaan orang kafir, meskipun hanya bermain-main, tanpa mengikuti ritual keagamaannya, termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.
Keempat, Allah berfirman menceritakan keadaan ‘ibadur rahman (hamba Allah yang pilihan), “Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur…”. Sebagian ulama menafsirkan kata ‘az-Zuur’ pada ayat di atas dengan hari raya orang kafir. Artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.
Berdasarkan empat alasan di atas, seorang muslim harus menjauh kegiatan perayaan tahun baru agar terjaga aqidahnya. Kemudian meningkatkan ketaatan kepada Allah SWT dengan memperbanyak ibadah ritual atau mendatangi majelis-majelis ta’lim untuk memperkuat dasar ibadah dan membangun pandangan islam.
Bagi seorang muslim harus mengambil teladan Rasul-Nya dalam menjalani kehidupan ini. Kita harus kembali ke jatidiri kita sebagai seorang Muslim, yaitu terikat dengan syariah Islam dan mencukupkan diri dengan perayaan hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha saja. Back to the Real Muslim Style, bukan western Style.
Mari , kita kembali kepada Islam agar aqidah terjaga dipenghujung tahun ini.
WalLâhu a’lam
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post