Farewell, Brits…
Hari ini Inggris tidak lagi bergabung dalam Uni Eropa. Beberapa politikus merasa melankolis menjalani hari-hari terakhir. Namun, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson sudah tak sabar menikmati keuntungan Brexit.
Mochamad Salsabyl Adn, Jawa Pos
Should old acquaintance be forgot,
and never brought to mind?
Should old acquaintance be forgot,
and auld lang syne?
SUASANA pilu itu mewarnai perpisahan Inggris dengan Uni Eropa. Atmosfer haru tersebut terasa saat sidang parlemen Eropa di Brussel Rabu lalu. Sidang terakhir yang dihadiri anggota parlemen dari Inggris.
Dalam sidang itu, legislator diberi tugas untuk meratifikasi kesepakatan Brexit pada sidang parlemen terakhir yang dihadiri Inggris, Rabu (29/1/2020). Tak ada debat yang panas dalam sidang tersebut. Kesepakatan itu lolos dengan hasil 621 dukungan versus 49 penolakan.
Tak lama, Presiden Dewan Eropa David Sassoli langsung mengesahkan hasil tersebut. Semua MEP sontak berdiri bergandengan tangan, lalu menyanyikan Auld Lang Syne. Lagu tradisional Skotlandia itu biasa digunakan sebagai lagu perpisahan di Inggris atau Eropa.
”Anda akan meninggalkan Uni Eropa, tapi Anda akan selalu menjadi bagian dari Eropa,” ungkap Sassoli menurut BBC. Politikus asal Green Party, Inggris, berdiri dan berbicara. Dia menyesal kehilangan rekan kerjanya di Eropa. Dia masih menyimpan mimpi untuk kembali ke kursi parlemen Eropa suatu hari nanti. ”Saya tahu ini bukan waktu yang tempat untuk kampanye bergabung kembali. Tapi, mimpi masih harus dijaga,” ungkapnya.
Berbeda dengan suasana parlemen, Johnson terus memperlihatkan ambisinya. Kemarin (30/1/2020) dia menjamu Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo. Pertemuannya itu membuktikan niat kuat Inggris merayu sekutu di NATO.
Pekan lalu Pompeo merajuk. Dia tak setuju dengan keputusan Inggris untuk menggunakan teknologi 5G dari Huawei. Diplomat berusia 56 tahun tersebut sudah lama menjadi sosok yang paling vokal melawan ekspansi global raksasa telekomunikasi Tiongkok itu.
”Saya harap Inggris mempertimbangkan kembali keputusannya. Kami harus memastikan informasi AS tak melewati jalur yang berbahaya,” ungkap Pompeo.
Kini Johnson harus merayu orang kepercayaan Presiden AS Donald Trump tersebut. Dia harus segera menenangkan Pompeo sebelum Jumat (31/1/2020) pukul 23.00 GMT. Dengan begitu, Inggris bisa langsung berbicara dengan AS soal kesepakatan perdagangan.
”Ini adalah momen luar biasa untuk bangsa. Momen penuh harapan dan kesempatan,” ungkap Johnson seperti dilansir Agence France-Presse. Pompeo pun melunak. Tiba-tiba dia bersedia untuk bicara soal isu Huawei.
Hubungan Inggris dan AS memang penuh guncangan. London marah kepada Washington karena menolak mengekstradisi istri diplomat AS yang menabrak mati pemuda Inggris. Sebaliknya, Johnson ketahuan bergosip soal Trump di pertemuan NATO.
Rezim Johnson terlihat ambisius untuk keluar dari kekang Uni Eropa. Sejak menang pada pemilu dini Desember tahun lalu, dia terus menegaskan bahwa masa transisi Brexit hanya berlangsung sebelas bulan. Dia positif bisa membuat kesepakatan dagang dan politik yang bagus meski kubu Eropa bersikeras waktunya terlalu mepet.
”Kami mengincar kebijakan tanpa tarif atau kuota (dengan Uni Eropa, Red),” ujar Menteri Brexit Inggris Stephen Barclay.
Barclay mengatakan bahwa Inggris punya daya tawar yang luar biasa. Salah satunya, kontribusi Inggris ke Uni Eropa selama ini. Inggris juga punya peran penting untuk 27 negara yang bergabung dalam Uni Eropa (UE). Terutama, pentolan organisasi seperti Prancis, Jerman, atau Belanda.
”Kami yakin bisa mencapai standar yang tinggi dalam melakukan negosiasi. Yang paling penting, kami tak akan jadi sekadar negara taat aturan (Eropa, Red),” tegas Barclay.
Peran Inggris selama 45 tahun menjadi anggota UE memang penting. Setelah Inggris keluar, anggaran tahunan blok Eropa bakal berkurang 12 miliar euro (Rp 180 triliun). Hal tersebut menghasilkan perdebatan panas.
Kontributor besar seperti Jerman, Austria, Denmark, Belanda, dan Swedia memaksa agar anggaran diturunkan sesuai dana urunan Inggris. Kelompok yang disebut Frugal Five (Lima Anggota Pelit) itu juga minta dijadikan pengecualian jika UE memutuskan mempertahankan anggaran.
Hal tersebut langsung dilawan belasan negara Eropa Timur dan Mediterania yang bernama Friends of Cohesion (Teman Berpadu). Merekalah yang paling terdampak jika anggaran UE dikurangi.
Namun, Eropa juga terus menantang Inggris. Perdana Menteri Republik Irlandia Leo Varadkar mengklaim bahwa UE bakal jadi kubu yang kuat dalam negosiasi teknis perjanjian. Menurut dia, populasi Uni Eropa jelas mengalahkan Inggris. Dengan faktor geografisnya, Inggris bakal jadi pihak yang lebih merugi jika kesepakatan antara dua pihak tak ideal.
”Kami punya 450 juta penduduk, sedangkan Inggris hanya punya sekitar 60 juta. Sepertinya mereka belum sadar bahwa mereka adalah negara yang kecil,” ungkap sang Taoiseach, sebutan untuk perdana menteri di Irlandia.
Tak ada yang tahu soal masa depan Inggris. Namun, setidaknya Bank of England baru saja menurunkan target pertumbuhan mereka menjadi 0,75 persen. Turun dari prediksi awal sebesar 1,2 persen. (*/c10/dos/kpg)
Sejarah Inggris Bersama Uni Eropa
Bergabungnya Inggris
– 9 Agustus 1961: Pemerintah Inggris menyatakan niat untuk bergabung dengan aliansi Eropa yang dulu masih bernama European Economic Community (EEC).
– 14 Januari 1964: Presiden Prancis Charles de Gaulle memveto proposal Inggris dan mengklaim Inggris hanya ingin merebut koneksi Eropa dengan AS.
– 27 November 1967: De Gaulle kembali menolak permintaan Inggris menggunakan hak veto.
– 1 Januari 1973: Inggris akhirnya masuk ke EEC bersama Irlandia dan Denmark setelah de Gaulle turun takhta.
– 5 Juni 1975: Pemerintah yang dikuasai Partai Buruh mengadakan referendum soal keanggotaam EEC, 67 persen pemilih memilih bertahan.
Munculnya Perlawanan
– 30 November 1979: Perdana Menteri Margaret Thatcher menuntut potongan harga atas kontribusi Inggris ke anggaran tahunan Eropa. Eropa memenuhi tuntutannya pada 1984.
– 20 September 1988: Thatcher meminta agar badan Eropa mengurangi upaya integrasi politik saat berpidato di Bruges, Belgia. Kaum eurosceptic mencuat akibat pidato.
Terbentuknya Integrasi Uni Eropa
– 7 Februari 1992: Pakta Maastricht menciptakan Uni Eropa yang terintegrasi secara ekonomi dan politik. Inggris berhasil mengamankan beberapa pengecualian, termasuk penggunaan mata uang tunggal.
– 23 Juli 1993: Perdana Menteri John Major mendapatkan mosi tidak percaya jelang rastifikasi Pakta Maastricht. Major berhasil bertahan dan pakta Uni Eropa akhirnya diratifkasi.
Lahirnya Brexit
– 23 Juni 2016: Rezim David Cameron menggelar referendum Brexit sebagai bukti janji kampanye. 52 persen mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa.
– 29 Maret 2017: Theresa May, penerus Cameron, memulai masa jeda dua tahun sebelum Inggris meninggalkan Eropa.
– 22 November 2018: Inggris dan Uni Eropa mencapai kesepakatan dasar Brexit.
Krisis Brexit
– 15 Januari 2019: Majelis rendah parlemen menolak kesepakatan. Kesepakatan itu diajukan lagi dua kali, tapi tetap ditolak.
– 22 Maret 2019: Uni Eropa setuju untuk menunda pemberlakuan Brexit hingga 12 April.
– 11 April 2019: Uni Eropa kembali menyetujui penundaan Brexit hingga 31 Oktober.
– 24 Juli 2019: Boris Johnson menjadi perdana menteri Inggris.
Perjanjian Baru
– 17 Oktober 2019: Johnson bersama presiden Komisi Eropa mengumumkan perjanjian yang berbeda dari rezim May. Uni Eropa juga menunda pemberlakuan Brexit hingga 31 Januari 2020.
– 12 Desember 2019: Pemilu dini diadakan pada 12 Desember. Partai Konservatif mencetak kemenangan besar.
– 31 Januari 2020: Brexit diberlakukan pada 23.00 GMT.
Sumber: Agence France-Presse
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post