SAMARINDA – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih terus berlanjut. Teranyar, rupiah menyentuh level Rp 14.875 per dolar negeri Paman Sam itu. Namun demikian, pelemahan nilai tukar tersebut tidak selamanya membawa efek buruk bagi perekonomian nasiolan dan lokal.
Kaltim yang notabenenya memiliki nilai ekspor yang lebih dominan ketimbang impor, akan diuntungkan seiring depresiasi rupiah terhadap dolar. Hal itu disampaikan oleh ekonom dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Aji Sofyan Effendi, Senin (17/9) kemarin.
“Kenapa bisa menguntungkan bagi Kaltim? Karena posisi ekspor lebih besar daripada impor. Walaupun barang-barang ekspor kita primer, tetapi tetap saja neraca perdagangan Kaltim surplus,” sebutnya.
Dia mengungkapkan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim 2017, nilai ekspor mencapai 10,8 persen. Sedangkan impor hanya berkisar 2,1 persen. Pada Januari hingga Juni 2018, ekspor Kaltim mencapai USD 9,334 juta. Sedangkan impor berkisar USD 2,036 juta. Jika dikalkulasi, tahun ini Kaltim mengalami surplus perdagangan Rp 10,9 triliun.
Karena itu, Kaltim memberikan kontribusi terbesar ketiga dalam total ekspor nonmigas nasional. “Kontribusi ekspor nonmigas pertama adalah DKI Jakarta. Kemudian disusul Jawa Timur,” bebernya.
Pada 2017, Kaltim menyumbang ekspor nonmigas nasional 10,08 persen. Sedangkan DKI Jakarta menyumbang 33 persen dan Jawa Timur 11 persen. Secara keseluruhan, ketiga daerah tersebut memberikan kontribusi ekspor nonmigas nasional sebesar 52 persen dari seluruh ekspor nasional.
“Selama lima tahun terakhir, neraca perdagangan Kaltim selalu mengalami surplus. Baik migas maupun nonmigas,” ucapnya.
Namun demikian, secara nasional, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar tersebut menjadi ancaman. Sebab pada 2018, pemerintah telah mematok asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp 13.400 di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kesalahan pertama pemerintah Indonesia itu, pada saat menentukan asumsi APBN, tidak melakukan forecasting interval. Karena kita memahami bahwa setiap fenomena ekonomi ini ada kecenderungan membuat resistensi terhadap psikologi masyarakat,” katanya.
Sejatinya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dapat menentukan asumsi ekonomi. Dengan catatan, pemerintah menentukan pengaruh nasional dan global. Terlebih, pemerintah pusat tidak menghitung secara detail pengaruh luar negeri atau eksternal shock di balik pelemahan nilai tukar rupiah tersebut.
“Oleh sebab itu, harus ada forecasting interval rupiah terhadap dolar. Nilai tukar terendah Rp 13.400 itu sudah benar. Tetapi yang tertinggi itu juga dipatok. Supaya apa? Satu tahun sebelumnya, masyatakat sudah siap mentalnya. Misalnya nilai tukar tertinggi itu Rp 16 ribu,” katanya.
Dengan adanya asumsi kenaikan dolar tertinggi tersebut, dunia usaha yang dominan memiliki bahan impor dapat menentukan strategi untuk menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah.
“Begitu juga dengan masyarakat yang memegang dolar. Mereka bisa menentukan langkah di masa depan. Pemerintah harus membuat masyarakat memahami persoalan itu. Sehingga enggak kaget. Ini kan persoalannya karena kaget saja,” jelasnya.
Selain itu, efek sangat besar secara nasional yakni pembayaran cost recovery migas. Kenaikan pembayaran tersebut mencapai dua hingga tiga kali lipat dari asumsi APBN.
“Kemudian dari sisi pembayaran utang dan bunga utang luar negeri. Itu akan sangat membengkak. Jadi ada dua pos yang sangat besar pengaruhnya pada kenaikan nilai tukar dolar ini,” sebutnya.
Dalam jangka pendek, supaya pelemahan nilai tukar rupiah tersebut tidak menimbulkan gejolak secara nasional, Sofyan menyarankan, pemerintah mesti menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.
“Kalau misalnya harga beras akan naik, strategi Bulog dalam rangka melihat depresiasi rupiah itu, harus melakukan operasi pasar. Supaya harga beras dan kebutuhan pokok lainnya enggak naik,” sarannya.
Kemudian, pemerintah pusat dan daerah harus memastikan agar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak mengalami kenaikan. Sebab kenaikan harga BBM akan menimbulkan efek yang sangat besar bagi masyarakat dan dunia usaha.
“Terakhir, jaga inflasi. Jangan sampai naik. Itu tugas Bank Indonesia. Jika tiga hal itu bisa dilakukan oleh pemerintah dengan baik, maka klir semua urusan. Walaupun dolar sampai Rp 16 ribu,” tutupnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: