Tak ada jalan instan dalam menggapai kesuksesan. Semuanya pasti melalui medan yang terjal. Mulai dari tergopoh-gopoh, tertatih-tatih bahkan hingga berdarah-darah. Namun, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha.
DEVI NILA SARI, Samarinda
Itulah yang sekarang mulai dirasakan sanggar seni Borneo Etnika yang berlokasi di Jalan Kemakmuran Gang KNPI, Samarinda. Berawal dari kecintaan terhadap seni budaya, membuat Didik Sutrisno selaku Ketua Yayasan Borneo Etnika beserta sembilan rekannya membuat sanggar seni. Sebagai wadah untuk menaungi hobi mereka terhadap seni tari dan musik.
Ya, para pendiri ini memang telah memiliki latar belakang sebagai seorang penari dan pemusik. Sehingga terbentuklah Borneo Etnika pada 14 September 2008.
“Awalnya kami bergerak sendiri-sendiri. Ketika ada job baru mengumpulkan anggota yang lain. Akhirnya kami putuskan membentuk sebuah grup,” tutur Didik kepada Metro Samarinda saat disambangi di kantornya UPTD Taman Budaya Jalan Kemakmuran.
Lebih lanjut, bapak satu anak ini mengatakan, setelah mereka memiliki grup, koordinasi dengan para seniman menjadi lebih gampang. Dari situ mereka jadi sering dipanggil oleh pemerintah maupun pihak swasta untuk menampilkan sebuah tarian. “Awalnya kami yang mencari-cari job, tapi alhamdulillah sekarang job yang menghampiri kami,” ujarnya.
Sanggar seni ini memang lebih fokus mengajarkan seni tari dan musik yang bersifat tradisi seperti musik tingkilan, kesenian dayak dan kesenian pesisir. Kesenian yang ditampilkan pun lebih banyak bersifat modernisasi.
Namun Didik mengatakan tari yang dimodernisasi tersebut tidak mengubah pakem asli suatu kebudayaan dan tetap mempertahankan nilai-nilai kebudayaannya. “Sesuai pesanan orang dan menyamakan dengan konsep suatu acara,” ucapnya.
Dari sekira anggota awal yang berjumlah delapan sampai sepuluh orang tersebut, sekarang Borneo Etnika memiliki anggota hampir 50 orang. Ternyata sanggar seni ini cukup diminati. Anggotanya pun beragam, mulai dari yang masih sekolah dasar hingga para pekerja. Semua kalangan bisa bergabung di sanggar seni ini, selama ada kemauan untuk belajar.
“Kami tidak mengelompokkan anggota. Kami latihan bersama, belajar sama-sama, di sini kami sistemnya kekeluargaan,” tutur pria kelahiran Samarinda 40 tahun lalu ini.
Didik menceritakan dari awal sanggar seni ini terbentuk pada tahun 2008 hingga sekarang, Borneo Etnika telah melanglang buana dari kota ke kota hingga mancanegara. Dan prestasi yang ditorehkan pun tak tanggung-tanggung.
“Seperti tahun 2013 lalu, kami masuk lima besar kategori festival musik dan tari daerah tradisi se-Indonesia di Taman Mini. Kami juga pernah ke Papua, Bali, Jakarta, Bandung, bahkan pernah ke Malaysia, Brunei Darussalam, dan masih banyak lagi,” ungkap Didik.
Dia menuturkan, selama perjalanan kariernya bersama Borneo Etnika, tentu saja banyak suka dan duka yang telah dilalui. Sukanya yaitu ketika mereka bisa tampil di berbagai kota di Indonesia dan dibiayai pemerintah maupun swasta.
“Itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi kami dapat menampilkan budaya Kaltim di kota orang,” ucapnya.
Namun di samping banyak kesukaan itu, terselip juga duka yang terkadang bila diingat kembali membuat Didik hampir menitikkan air mata. Ia menceritakan, bahwa dulu saat awal-awal perjalanan karier Borneo Etnika ke luar kota, mereka tidak memiliki cukup dana untuk menggunakan transportasi udara. Sehingga yang menjadi alternatif ialah melalui jalur laut atau kapal.
Ketika naik kapal itu pun mereka harus duduk di pojok-pojok. Karena tidak memiliki uang untuk menyewa kasur. Dan jika ada anggota yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan, mereka mesti berbagi sepiring berdua. Pengalaman ini menjadi perekat kerukunan mereka ketika terjadi kerenggangan di antara anggota.
“Ingatkah dulu saat kita naik kapal sama-sama, kecopetan, tidak mandi, bahkan menumpang di rumah orang dan hanya makan mi instan,” kenang Didik.
Untuk itulah, kadang dia sering sedih ketika anggotanya ngotot dengan ego masing-masing. Ia menyadari, bahwa dalam sebuah grup itu ada banyak kepala dan banyak pemikiran. Namun, ia mengharapkan agar semua anggota tetap solid dan tetap menjaga silaturahmi.
Memang tak jarang kejenuhan juga mengiringi proses latihan tari yang memakan waktu tidak sebentar. Tapi, itulah proses yang memang harus dilalui. ”Karena untuk menggarap sebuah tarian membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan hingga setahun,” ungkap dia.
Bahkan, di awal-awal terbentuknya sanggar ini, kadang dalam waktu sebulan tidak ada job menghampiri. Sehingga mereka terpaksa dari mulut ke mulut menawarkan ke masyarakat. “Seperti tampil di acara nikahan orang. Tampil gratis tidak masalah. Asal bisa tampil, kami sudah senang,” sebut Didik.
Dan mirisnya lagi, terkadang pihaknya masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Perihal ini dikaitkan pada murahnya bayaran yang dilontarkan untuk menyewa sebuah grup tari. Padahal, Didik mengakui, harga yang mereka patok sudah lebih dari standar.
“Tapi, kadang masih ditawar. Misalnya dari harga yang dipatok Rp 3,5 juta masih ditawar menjadi Rp 1 juga hingga Rp 1,5 juta,” tuturnya.
Namun terkait itu, Didik dan rekan-rekannya bisa maklum. Mungkin saja masyarakat belum paham bahwa untuk menciptakan sebuah tarian yang berdurasi sekira tujuh menit tersebut memerlukan waktu latihan yang tidak sebentar. Bayaran ini berbanding terbalik ketika artis kenamaan yang diundang.
“Yang paling penting, anggota yang lain tetap enjoy. Mereka paham kalau seni bukan tempat untuk mencari uang. Mereka sudah senang asal bisa tampil. Tapi secara materi sih sedih,” ujar Didik.
Diakui, prosesnya memang sedikit menyakitkan. Namun begitu, proses itulah yang membuat anggota sanggar tarinya menjadi kuat. Dan dari proses tersebut hampir 70 persen anggota sudah bisa mencari usaha sendiri dari skill yang dimiliki. “Seperti honor jadi pelatih tari dan lain-lain. Sebagian anggota sekarang sudah memiliki kesibukan sendiri,” kata dia.
Untuk masalah pendanaan, Didik menyebut di awal terbentuknya sanggar seni ini mereka memang harus merogoh kocek masing-masing untuk biasaya penyewaan pakaian dan lain-lain.
“Tapi alhamdulillah sekarang kami bisa berdikari sendiri. Dananya dari bantuan pemerintah. Selain dari job, pendapatan kami kebanyakan dari penyewaan pakaian dan alat musik. Setidaknya, tidak sesusah yang dulu,” tandas Didik. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: