BONTANG – Kasus nikah muda atau di bawah umur yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 dengan usia minimum 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan dirasa sudah sesuai. Namun, hingga kini masih saja ada yang meminta dispensasi untuk tetap menjalin hubungan resmi lantaran hamil duluan.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Lembaga Psikologi Insan Cita Bontang serta Anggota himpunan psikologi Indonesia (Himpsi) cabang Bontang, Laela Siddiqah menyatakan, pernikahan dini memiliki banyak risiko. Namun yang mendasari yakni mental dalam menjalin rumah tangga.
“Sangat berpengaruh besar pada psikisnya. Karena menikah itu menyatukan banyak pikiran,” katanya, belum lama ini.
Dia menuturkan, keduanya harus dapat mengontrol permasalahan atau konflik dalam rumah tangga. Meski dapat belajar dalam dan memahami pernikahan saat menjalani, namun banyak yang lebih memilih cerai. Hal ini karena kedua masih memiliki emosi yang labil. Sehingga konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan.
“Jalan pintasnya adalah memilih pisah. Padahal masih bisa didiskusikan dengan keluarga dan lain,” ungkapnya.
Dari data, terdapat 22 pasangan yang telah meminta dispensasi untuk melanjutkan hubungan ke dalam bahtera rumah tangga pada 2020. Sementara data perceraian dalam empat tahun terakhir mencapai angka 500 pasangan.
Laela menyatakan, pernikahan dini sangat identik dengan kasus perceraian. Dengan jumlah kasus yang banyak tersebut. Katanya, yang bakal menjadi korban yakni anak-anak. Sehingga akan berpengaruh kembali pada sumber daya manusia (SDM). Kaitan tersebut diungkapkan karena harmonisasi keluarga yang tidak didapatkan anak-anak akan menjadi kerawanan lain.
“Mereka rentan ke hal-hal negatif. Kasih sayang yang tidak didapatkan dalam rumah membuat psikologis, kesehatan, bahkan hingga perilaku akan berubah drastis,” tuturnya.
Sementara untuk pencegahan agar anak tidak masuk dalam dunia bebas. Dia menjelaskan, orang tua menjadi tombak pertama. Kemudian, sosialisasi dari sekolah dan dinas terkait akan mendukung pencegahan anak tidak melakukan hubungan intim di luar nikah.
Katanya, remaja sangat membutuhkan sebuah pengakuan, kasih sayang dan perhatian. Sebelum merujuk ke sana, dia mengatakan antara anak dan orangtua harus memiliki kedekatan emosional. Sehingga anak dapat merasa nyaman di rumah dan menentukan keputusan baik dan buruk.
“Kalau komunikasi itu tidak ada, anak akan mencari tiga kebutuhannya di luar. Larangan tanpa adanya komunikasi emosional akan membuat anak membangkang,” ungkapnya. (*/eza/rdh/k18/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post