BONTANGPOST.ID, Jakarta – Isu perubahan iklim masih menghadapi tantangan yang serius sampai saat ini. Sejumlah tantangan itu mulai dari dalam negeri hingga tantangan global termasuk juga dari masyarakat dan pemerintah.
Salah satu yang menyampaikan tentang beratnya tantangan itu adalah Mahawan Karuniasa, anggota Indonesia Stakeholder Steering Group (ISSG) dan Founder/CEO Environment Issue. Dalam konferensi yang bertajuk, Kesiapan Pemerintah Indonesia Menghadapi Isu Perubahan Iklim: Arah Ambisi, Tantangan Ekonomi, Diplomasi, dan Isu Transisi Berkeadilan” yang diadakan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) dan ClimateWorks, Mahawan menyampaikan kegelisahannya.
Mahawan mengatakan sekarang ini sudah terjadi lebih dari 5000 bencana alam di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi di berbagai belahan dunia dengan berbagai bentuk yang ekstrem. Ia mencontohkan bencana banjir ekstrem yang terjadi di Valencia, Spanyol. Wilayah ini mengalami banjir ekstrem akibat curah hujan yang tinggi. Curah hujan setahun turun selama 8 jam menyebabkan bencana banjir luar biasa yang selama ini tak pernah terjadi.
Dosen dari Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) ini menyinggung ada kesepakatan Paris, atau Paris Agreement tahun 2015, di mana dunia sepakat untuk menjaga agar kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius. Jika terjadi kenaikan lebih dari itu, maka permukaan air laut akan naik, produksi pangan akan turun, dan cuaca ekstrem akan meningkat. Menurutnya, kondisi ini sudah terbukti terjadi di Indonesia. Ia merujuk data dalam 20 tahun terakhir di mana bencana hidrometereologis (banjir, tanah longsor) meningkat tajam. Hingga saat ini, sudah lebih dari 5000 kejadian bencana alam di Indonesia.
“Sayangnya di tahun 2024 ini, kenaikan suhu permukaan bumi akan meningkat lebih dari 1,5 derajat celcius. Karena tahun lalu di 2023 sudah 1,4.derajat celcius. Akhir Desember, BMKG di seluruh dunia akan mengeluarkan angka terbaru. Persoalannya untuk mengatasinya rumit dan tidak mudah. Produksi emisi Indonesia di tahun lalu kurang lebih 1 miliar ton. Kalau total seluruh dunia, kalau dijumlah kurang lebih 56 miliar ton. Paling banyak menghasilkan adalah Amerika Serikat. Melihat sejarahnya, paling banyak menghasilkan 500 giga ton,” ujar Mahawan, Sabtu (23/11/2024).
“Indonesia memiliki komitmen untuk mengurangi emisi sebanyak 32 persen. Beberapa waktu yang lalu sudah membuat rencana. Untuk mengimplementasi butuh kapasitas, butuh teknologi dan butuh duit. COP yang sekarang banyak bicara duit. Kemarin, dikutip dari Reuters, Presiden Prabowo mengatakan akan mewujudkan emisi bersih pada 2050 atau lebih cepat. Target negara maju adalah 2050. Nah ini hitungannya dari mana? Hitungan ini tidak sesuai dengan yang seharusnya. Hitungan KLHK adalah pada 2060,” ujar Mahawan menjelaskan.
Mahawan mendorong negara maju untuk mengambil peran aktif mengurangi emisi, dan di Indonesia butuh kesadaran bersama seluruh lembaga untuk sadar lingkungan, bukan hanya di darat, tapi juga di laut. Karena laut juga ikut terdampak jika kenaikan suhu bumi tidak terkendali.
Kekhawatiran senada juga disampaikan oleh Farhan Helmy, Presiden Pergerakan Penyandang Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia. Menurutnya, Paris Agreement yang sudah berjalan selama 19 tahun, ternyata masih belum terwujud sebagaimana seharusnya.
Apalagi, sayangnya menurut Farhan Helmy, isu perubahan iklim juga kerap tidak menjangkau kelompok disablitas. Anggota Dewan Perubahan Iklim Nasional tahun 2010-2014 ini berharap teman-teman difabel bisa dilibatkan dalam isu perubahan iklim, sebab semua akan terkena dampaknya, termasuk teman-teman difabel. Dan teman-teman difabel akan merasakan dampak yang lebih berat.
“Climate change saat ini sudah semakin membahayakan. Tapi jarang sekali kelompok difabel ini dilibatkan dalam isu yang harusnya jadi bahan inklusi ini. Padahal ada dua prinsip penting perlu dijadikan pegangan untuk mewujudkan inklusifitas, pertama adalah no one left behind dan yang kedua adalah nothing about us without us. Padahal ukuran kemajuan adalah bagaimana perhatian dan kemajuan dialami oleh kelompok disabilitas, sebagai bagian dari kelompok rentan. Jadi jangan sok tahu tentang apa yang dirasakan oleh kelompok rentan, tanpa melibatkan kelompok rentan. Saya melihat di ruangan ini tidak ada kelompok rentan, yaitu disabilitas,” ujar Farhan Helmy.
Ia berharap, isu climate change yang berbahaya ini bisa disuarakan bersama, termasuk melibatkan kelompok disabilitas. Sehingga semua orang terbangun kesadarannya untuk bergerak bersama. Menurutnya banyak hal yang bisa dikolaborasikan bersama antara kelompok rentan, pemerintah dan media untuk membangun dan menciptakan kesadaran bersama tentang membangun bumi yang lebih sehat dan lestari dengan melibatkan kelompok renta.
Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi Bambang Brodjonegoro juga menyoroti kesadaran masyarakat terhadap isu perubahan iklim. Menurutnya, literasi masyarakat terhadap perubahan iklim pada saat ini masih rendah.
“Masih banyak orang yang tidak sadar bahwa perubahan iklim itu sudah terjadi dan perubahan iklim itu berbahaya,” kata Bambang dalam diskusi yang sama.
Bambang yang pernah menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional 2016-2019 mencontohkan pengetahuan masyarakat tentang fenomena banjir di kawasan pesisir utara Jawa. Menurutnya, hanya segilintir orang yang memahami bahwa banjir rob yang terjadi di pesisir utara Pulau Jawa akibat naiknya permukaan air laut sebagai dampak pemanasan global.
Bambang juga menyoroti tantangan global dalam perubahan global. Mantan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang baru saja pulang dari perhelatan COP 29 di Baku, Azerbaijan, mengakui komitmen pendanaan negara-negara maju untuk mitigasi risiko perubahan iklim semakin melemah.
Sementara tantangan dari dalam negeri, peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menambahkan transisi energi fosil ke energi bersih membutuhkan biaya yang besar. Heri mengatakan, perekonomian Indonesia saat ini sangat bergantung pada energi listrik yang bersumber pada batu bara.
“Biaya tranformasi ke energi hijau sangat tinggi dan penuh ketidakpastian. Industri membutuhkan insentif untuk melakukan transisi energi,” katanya.
INDEF memperkirakan, Indonesia membutuhkan pendanaan sebesar Rp 4.002,4 triliun mencapai target zero emission. Dana ini untuk kebutuhan aksi mitigasi sektor energi seperti pembangunan pembangkit energi terbarukan. Setiap tahun Indonesia membutuhkan dana Rp 308 triliun untuk mitigasi iklim. Kebutuhan ini sangat jauh dari angggaran pemerintah untuk kegiatan perubahan iklim yang hanya sebesar Rp81,4 triliun.
Bukan hanya masalah pendanaan. Heri menyebutkan beberapa tantangan lain dalam mitigasi risiko perubahan iklim. Diantaranya masalah tenaga kerja yang masih minim dalam ekonomi hijau, ketergantungan pada tenaga kerja asing, kesenjangan antara dunia pendidikan dan lapangan pekerjaaan, hukum dan aturan yang masih belum komprehensif serta keterbatasan teknologi dan infrastruktur. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post