Oleh: Ufqil Mubin, Wartawan Metro Samarinda
PENOLAKAN pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu sudah berlangsung sejak 2017. Namun, baru-baru ini protes dari warga kembali mencuat setelah proyek yang diinisasi Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak tersebut mulai terbangun. Protes yang dilayangkan warga tentu saja beralasan, berlandaskan pandangan-pandangan yang terbentuk dari informasi yang disuguhkan pihak tertentu. Bisa saja informasi dari media massa atau mungkin suguhan “pengaruh” dari aktor di balik penolakan tersebut.
Sependek pengetahuan saya, penolakan pembangunan masjid tersebut kembali mengemuka ke publik pada Mei 2018 lalu. Bahkan jauh sebelum itu, warga sudah berulang kali menyampaikan penolakan atas pembangunan masjid yang memakan anggaran daerah sebesar Rp 81,85 miliar tersebut. Lalu, gelembung dan arus kritik pelesat bak panah saat Awang Faroek memutuskan untuk memulai pembangunan masjid lewat groundbreaking pada 14 Mei lalu.
Apa alasan di balik protes tersebut? Ada beberapa argumentasi yang disampaikan warga. Namun pada intinya mengerucut pada: pertama, lapangan Kinibalu adalah aset sejarah yang sudah berakar dalam nadi masyarakat sekitar. Irfan Syamsurizal, Ketua RT 7, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota, Samarinda, mengisahkan bahwa lapangan tersebut sudah melahirkan banyak pemain bola yang mengisi pentas kejuaraan di tingkat lokal dan nasional.
Agus Waluyo adalah satu di antara banyak nama yang pernah mengisi debut pergerakan historis di balik melambungnya nama Kaltim di dunia sepak bola. Bahkan belakangan, Waluyo masuk dalam daftar pemain PSSI Garuda. Tak heran, melalui pria kelahiran Benua Etam tersebut, muncul bibit-bibit unggul yang hingga kini berlaga di sepak bola lokal dan nasional.
Lalu sejak 1950, beragam klub lokal dan nasional pernah bermain di Lapangan Kinibalu. Sebut saja misalnya DKI Jakarta, Persiba, Persisam, hingga warga setempat pernah menyaksikan laga antar kelurahan, kecamatan, hingga antar klub kabupaten/kota.
Karena itu pula, Irfan beserta ratusan warga setempat menyebut Lapangan Kinibalu sebagai nadi sejarah yang tidak pernah hilang ditelan waktu. Hatta oleh kerasnya tekanan pemerintah supaya warga legawa menerima kenyataan, bahwa kelak lapangan tersebut disulap menjadi masjid.
Kedua, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim beralasan pembangunan masjid untuk kepentingan pegawai pemerintah. Saban hari, abdi negara yang menunaikan salat tidak lagi mampu ditampung masjid-masjid terdekat. Pun demikian dengan musala kecil di setiap ruangan di kantor gubernuran.
Alasan tersebut tentu saja dinilai warga setempat mengada-ada. Sebab tidak jauh dari kantor gubernur, terdapat beragam masjid yang dapat digunakan untuk menampung ratusan jemaah. Tersebut misalnya Masjid Al Mukmin, Masjid Al-Baitussalam, hingga Masjid Al Maa’un yang jaraknya hanya sekali lemparan batu dari kantor Gubernur Kaltim.
Di antara masjid sekitar, rumah ibadah umat Islam yang fonemenal di wilayah tersebut tentu saja Masjid Al-Maa’un. Masjid itu sudah menjadi buah bibir karena telah lama tidak dirawat, namun tetap digunakan. Kondisinya sangat memprihatinkan. Lantai hingga dinding masjid sudah retak. Apa sebabnya? Tidak terurus karena minim pendanaan.
Masalah di sekitar pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu tersebut lalu terurai, mengembang, dan memunculkan perlawanan. Belum lama ini, ratusan warga berdemonstrasi di lokasi yang berdekatan dengan pembangunan masjid. Mereka membawa pesan yang sangat kental dengan kritik lewat hujjah yang sudah terdokumentasi dengan apik.
Terbukti, lewat hearing yang dipimpin oleh Asisten I Setprov Kaltim Muhammad Sabani, warga menanyakan izin pembangunan masjid. Orang kepercayaan gubernur itu nampak “gagap” menjawab beragam pertanyaan yang lontarkan warga. Baru di hari berikutnya, Sabani dapat menyampaikan informasi lengkap terkait izin untuk pembangunan masjid yang tidak jauh dari Taman Samarendah tersebut.
Apa yang dipersoalkan warga pada saat demonstrasi tersebut? Pertama, warga mempertanyakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Belakangan terbukti bahwa IMB yang terpampang di lokasi proyek pembangunan masjid, hanya merujuk pada nomor registrasi. Sekretaris Kota Samarinda Sugeng Chairuddin menyebut, IMB belum diterbitkan. Sebab belum ada surat rekomendasi persetujuan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Padahal jika merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, setiap gedung yang akan dibangun, pemerintah harus terlebih dulu mengantongi IMB. Karena itu, pasal 14 ayat (1) dan (2) PP 36/2005 mengharuskan Pemprov Kaltim untuk terlebih dulu mendapat IMB dari Pemkota Samarinda, sebelum masjid dibangun.
Maka dari itu, penghentian sementara pembangunan masjid yang disuarakan warga bukan tanpa alasan. Ada dasarnya. Merujuk pada pasal 115 PP 36/2005. Dengan membangun masjid tanpa mengantongi IMB, Pemprov Kaltim dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu.
Selain itu, di pasal 45 UU Nomor 28/2002 disebutkan, Pemprov Kaltim dapat dikenakan denda berupa uang 10 persen dari total biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan masjid tersebut.
Kedua, warga memastikan lapangan Kinibalu bukan milik Pemprov Kaltim. Sebab Gusti Sa’ad selaku pemilik lahan, sudah mewakafkan tanah tersebut untuk dimanfaatkan warga setempat. Tentu saja sebagai sarana olahraga. Sebab hinggi kini keturunan Gusti masih mengantongi surat wakaf tersebut.
Ketiga, terdapat tanda tangan palsu yang digunakan untuk memuluskan pengurusan IMB. Ada puluhan ketua RT yang menolak pembangunan masjid tersebut. Nama mereka pernah tercantum dalam daftar orang yang menandatangani izin untuk pengurusan IMB.
Masalah kian menjadi runyam saat dugaan pemalsuan tanda tangan itu diadukan pada kepolisian. Siapa aktornya? Inilah yang kelak akan didalami penyidik. Bisa saja, ada upaya sejumlah pihak yang ingin “menyenangkan” gubernur, bahwa segala permasalahan di akar rumput telah selesai. Tetapi kenyataannya, bagai api dalam sekam, deretan masalah “menampar” wajah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak yang sejatinya memiliki niat “baik” di balik pembangunan masjid tersebut.
Mestinya sejak awal, penolakan warga, pengurusan IMB, hingga sengketa kepemilikan lahan terlebih dulu diurai oleh Pemprov Kaltim. Mengapa tidak sejak rencana pembangunan masjid, pemerintah memanggil warga, duduk bersama, mengurai masalah, hingga mencari titik temu?
Pun demikian dengan lokasi masjid. Mengapa tidak mempertimbangkan masukan warga, agar masjid-masjid terdekat dipebaiki, dipelihara, dan diperluas. Lalu dengan dana puluhan miliar itu, Lapangan Kinibalu dikembangkan sebagai pusat pengembangan bibit-bibit muda untuk regenerasi sepak bola di Benua Etam. Jika masalah ini tidak dievaluasi, diurai, dan diselesaikan, pembangunan masjid di Lapangan Kinibalu dapat menjadi catatan hitam nan kelam di akhir kepemimpinan Awang Faroek. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post