Ada kesan di masyarakat yang mengatakan sangat tabu bila membicarakan perihal politik dalam rumah ibadah, terutama gereja. Namun sebenarnya tidak demikian, gereja tidak perlu anti apalagi alergi dengan politik.
—-
ITULAH pernyataan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (MPH PGI) Kota Bontang ketika ditemui Bontang Post, beberapa hari yang lalu.
Pendeta M Simatupang selaku Wakil Sekretaris MPH PGI mengatakan, untuk memahami antara hubungan gereja dengan politik dapat dilihat dari dua sisi. Sebab di balik sikap gereja terhadap politik dalam hal ini di pemerintahan, pada kenyataannya politik pun sudah ada dalam kehidupan bergereja.
“Contohnya pemilihan di tingkat sinode maupun pengurus di suatu gereja,” tutur pendeta yang akrab dipanggil Pendeta Leon ini.
Menurut Simatupang, politik kental mewarnai setiap gereja dalam sistem pemilihan masing-masing. Permasalahannya kembali pada motivasi ketika hendak terlibat dalam pemilihan.
Beliau menuturkan, selama masih ada segilintir orang yang ingin mendapatkan kepentingan tertentu, maka gereja hanya menjadi batu loncatan politik. Perkembangan pelayanan gereja sebagai sesuatu yang seharusnya menjadi pergumulan utama, malah jadi terabaikan. Sehingga pada akhirnya perkembangan gereja malah ke arah yang tidak baik.
Salah satu contohnya, terdapat gereja yang menganut sistem periodik atas para penatuanya. Sehingga setiap lima tahun penatua harus dipilih kembali. Di gereja tersebut terdapat peraturan, kalau terpilih empat kali menjadi penatua maka yang bersangkutan akan mendapat gelar Penatua Emeritus. Gelar itu merupakan kehormatan, yang ditandai dengan pemberian pin emas.
Maka selesai tiga kali pemilihan, timbul kecenderungan di mana semangat pelayanannya menjadi tidak murni lagi. Demi mengejar pemilihan yang keempat itu. “Dikarenakan ketika gagal pemilihan, biasanya tidak muncul lagi di gereja, atau malah cenderung menjadi oposisi di gereja itu” ucapnya.
Beliau menuturkan, dalam Alkitab sebenarnya sudah ada sistem pemilihan yang sebenarnya patut ditiru yaitu sistem undi. Misalnya, sebelum dilaksanakan penjaringan dengan menjelaskan kriteria-kriterianya. Kemudian dari bakal calon yang ada dilakukan semacam Tes Kelayakan (Fit and Proper Test). Pada hari pemilihan nanti, barulah dilakukan sistem undi dengan didahului dengan doa untuk menggumulinya.
“Selama sistem kita masih voting, niscaya akan ada banyak sekali tim sukses (TS), lobby-lobby, dan conflict of interest, berikut utang-budi atau dendam politik pasca pemilihan di kemudian hari. Tentang ini, mau tidak mau kita harus jujur mengakuinya”, ujarnya.
Selain itu, untuk urusan politik dalam negara, Pdt M Simatupang menilai bahwa gereja pun harus ikut serta mengawasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Jawaban Yesus tentang membayar pajak untuk Kaisar dalam kitab Injil, sudah mengimplikasikan adanya tanggungjawab orang Kristen. Hasil itu sebagai warga negara dan sekaligus warga Kerajaan Allah.
“Menggunakan hak pilih dengan bertanggungjawab, bahkan upaya untuk menjaga agar pemilihan berjalan dengan baik, aman dan tenteram, itu merupakan anugerah, dan serentak menjadi kewajiban kita,” ucapnya.
Gereja juga wajib menyerukan kebenaran dalam perjalanan pemerintahan, yang dikenal dengan istilah “Suara Kenabian”. Asalkan metode penyampaian kritik tetap sesuai dengan kaidah peraturan yang berlaku.
“Selama ada hal-hal yang bertentangan dengan aturan negara terlebih falsafah, jiwa, dan ruh yang terkandung dalam setiap aturannya, gereja semestinya jangan diam,” tuturnya.
Tidak hanya itu, gereja pada dasarnya membuka pintu bagi siapapun kandidat yang ingin maju dalam pesta demokrasi. Namun satu hal yang ditegaskan beliau, bahwa gereja adalah Rumah Tuhan, Rumah Doa, bukan tempat untuk berkampanye.
Tugas gereja adalah mendoakan setiap kandidiat yang datang, bukan menyatakan dukungan kepada kandidat tersebut. Gereja juga tidak semestinya mengundang kandidat tertentu untuk datang, guna menghindari adanya kepentingan dengan memanfaatkan momen tersebut.
“Kalau kandidat pilkada datang, ya didoakan, jangan tutup pintu. Sekaligus kita tegaskan bahwa kedatangan saudara ke mari untuk didoakan agar Tuhan berkenan sekaligus memberi kekuatan, jadi bukan untuk berkampanye, apapun bentuknya. Tetapi ketika dia bilang pilihlah saya, ya maaf, saudara harus keluar,” tegasnya.
Kemajemukan jemaat menjadi faktor kedua atas tidak diperkenankannya berkampanye dalam gereja. Jika dilanggar (kampanye, Red.), maka bisa menimbulkan potensi konflik.
“Kalau gara-gara itu berkelahi jadi bahaya. Apalagi misalkan ada dua calon dalam satu gereja, maka berdasarkan pengalaman, hal-hal begitu bisa memicu konflik. Jadi, netralitas adalah suatu keharusan bagi gereja,” terangnya.
Senada dengan itu, Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan PGI, Bambang Nugroho mengatakan, apabila ada anggota jemaat di gereja yang berkeinginan memasuki dunia politik, maka gereja pun semestinya mengkader yang bersangkutan secara personal. Fokusnya adalah supaya yang bersangkutan memasuki dunia politik sebagai sungguh-sungguh anak-anak terang.
Ia harus menjadi garam dan terang di sana nantinya. Wujudnya berupa pemberian dukungan dan doa. “Sesudah yang bersangkutan memperoleh kedudukan, gereja juga wajib mengingatkan agar ia menjalankan fungsi kontrol. Ia wajib mengingatkan bilamana terdapat kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat”, tuturnya. (ak)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: