Beberapa hari ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah sibuk menyusun Rancangan Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Panitia khusus (pansus) pun dibentuk. Mereka bertugas merumuskan dan menuntaskan RUU untuk pesta demokrasi terbesar di Indonesia.
Memang, akhir-akhir ini saya kena sindrom politik. Itu setelah dipercaya mengelola Metro Samarinda. Salah satu produk Bontang Post (Kaltim Post Group) ini, memang menyajikan berita-berita bernuansa politik.
Di sisi lain, 3 Februari lalu, saat berada di Jakarta dalam rangka menerima penghargaan untuk desain halaman terbaik se-Indonesia di ajang Indonesia Print Media Award (IPMA) 2017, saya sedikit mendapat petuah dari anggota DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (Kaltim-Kaltara), Hetifah Sjaifudian.
Kembali soal RUU Pemilu. Di dalamnya, dijelasnya soal pembagian kursi per provinsi di seluruh Indonesia. Yang sedikit menyakitkan. Kaltim yang dulunya dapat delapan kursi, setelah “bercerai” dengan Kaltara menjadi hanya lima kursi saja.
Padahal jika dipikir, Kaltim itu luas. Demografinya juga tidak seperti di Jawa-Sumatera, yang bisa diakses dengan mudah. Coba bayangkan bagaimana sakitnya perjalanan darat Balikpapan-Berau, atau jalur ke Mahakam Ulu (Mahulu). Pokoknya ngeri.
Disadur dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 39 Tahun 2015, luas Kaltim mencapai 129.066,64 kilometer persegi dengan jumlah penduduk mencapai 3.360.610 jiwa. Kaltim juga punya tiga kota, tujuh kabupaten, 140 kecamatan, 215 kelurahan, dan 1.245 desa.
Jika hanya kebagian lima kursi, bisa dipastikan jika wakil rakyat yang dikirim ke Senayan untuk memperjuangkan nasib Kaltim tidak akan maksimal. Wong sekarang saja, perjuangan delapan orang di sana masih melempem. Kalah dengan provinsi lain yang wakilnya lebih banyak.
Saat berdiskusi dengan Hetifah, ada topik menarik yang jadi bahasan. Penentuan kursi tiap dapil berdasarkan pada jumlah penduduk. Padahal, metode itu tidak relevan. Mestinya, pembagian kursi harus proporsional dan adil. Tidak hanya mengacu pada jumlah penduduk saja, melainkan juga luas wilayah.
Ambil contoh Jawa Barat (Jabar). Luasnya hanya 35.777,75 kilometer persegi, atau hanya sekitar sepertiga luas Benua Etam. Meski luasannya lebih kecil, namun penduduknya lumayan besar, yakni mencapai 42.332.370 jiwa, sedangkan Kaltim 3.360.610 jiwa.
Di DPR RI, Jabar mendapat jatah 91 wakil. Bandingkan dengan Kaltim, yang berdasarkan RUU Pemilu hanya dapat lima kursi. Tidak adil bukan?
Bukannya mengecilkan atau menyepelekan Jabar. Pertanyaannya, apa yang mau dibangun di sana. Provinsinya kecil juga kok. Jalanan sudah mulus. Akses desa dan kampung di sana juga bisa dilalui.
Bandingkan dengan Kaltim atau Kaltara. Kita yang tinggal di pulau Borneo saja enggan membayangkan. Karena sudah sama-sama merasakan bagaimana jalan-jalan di provinsi kita. Mau ke mana-mana, nyawa taruhannya. Makanya, jalanan di Kaltim dijuluki jalur tengkorak.
Padahal lagi, Kaltim merupakan provinsi penyumbang devisa terbesar ketiga di Indonesia setelah Jabar (USD 16,6 miliar) dan Jawa Timur (Jatim) yang mencapai USD 12,5 miliar. Untuk diketahui, “sumbangan” Kaltim ke pusat mencapai USD 8,8 miliar.
Namun, duit yang turun tidak sebanding. Pembangunan infrastruktur juga tidak maksimal. Padahal, di awal kepemimpinan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji akan membangun perbatasan. Eh, nyatanya yang dibangun hanya perbatasan Papua saja. Sedangkan Kaltim, sama saja.
Wajar jika saat ini menjadi kesempatan Kaltim untuk menuntut hak. Maklum, banyak yang harus diperjuangkan untuk Kaltim. Untuk itu, perlu dukungan kursi di parlemen. Rasanya, tambahan menjadi delapan kursi seperti yang disuarakan anggota dewan kita bukan hal yang susah. Semoga kursi Kaltim bertambah. Amin. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post