SAMARINDA – Pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur yang bertarung dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018 tidak bisa asal memasukkan gugatan. Yaitu terkait hasil suara yang diperoleh dari pemungutan suara 27 Juni mendatang. Dalam hal ini, selisih perolehan suara yang dipermasalahkan tak boleh melampaui 1,5 persen suara sah.
Hal ini diungkapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kaltim, Viko Januardhy. Komisioner yang membidangi Divisi Hukum ini menjelaskan, gugatan dapat dilakukan paslon kepada KPU Kaltim apabila ada legal standing atau kedudukan pemohon.
“Kedudukan pemohon itu dapat dipenuhi kalau suara paslon nomor urut 1, 2, 3, dan 4 tidak melampaui 1,5 persen suara sah,” ungkap Viko beberapa waktu lalu.
Kata dia, secara umum dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), terdapat beberapa kategori syarat bagi paslon yang mengajukan sengketa. Salah satunya, daerah dengan jumlah pemilih kurang atau lebih dari dua juta suara. Maka selisih suara antar pemenang dengan penggugat adalah 1,5 persen suara sah.
Sementara untuk daerah dengan jumlah penduduk dua hingga enam juta, maka selisih suara sah tetap 1,5 persen. Sebagaimana yang berlaku pada Kaltim. Syarat ini menjadi berbeda dengan jumlah penduduk enam juta sampai 12 juta. Selisih suara yang boleh digugat yakni satu persen.
Viko mengungkapkan, daerah dengan jumlah penduduk 250 ribu jiwa, paslon dapat menyampaikan gugatan apabila selisih suara dua persen. Sementara daerah dengan persentase penduduk 250 sampai 500 ribu jiwa, paslon dapat mengajukan gugatan dengan alasan selisih suara 1,5 persen.
Kategori berikutnya, berlaku untuk daerah dengan jumlah 500 ribu jiwa hingga satu juta jiwa. Syarat selisih perolehan suara yakni satu persen. Kemudian daerah dengan persentase penduduk lebih dari satu juta jiwa, dapat diajukan gugatan dengan selisih setengah persen suara sah.
Cara menghitungnya, lanjut Viko, persentase selisih tersebut dikali dengan suara sah dalam pemilu. “Tetapi gugatan yang disampaikan harus sesuai waktu yang telah ditentukan,” sebutnya.
Viko menjelaskan, contoh masalah lain yang dapat disengketakan ketika ada masyarakat di suatu desa tidak dapat memilih karena tidak mendapat surat C6, walaupun hanya 200 orang. Maka ketika pilkada selesai, masalah itu bisa menjadi objek sengketa.
Proses perekrutan penyelenggara ad hoc pemilu juga bisa menjadi sengketa pilkada. Yang meliputi rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PS), hingga Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Ketika ditemukan syarat tidak terpenuhi, juga bisa menjadi objek sengketa pilkada.
Begitupun ketika ada surat suara yang tidak memenuhi standar PKPU. “Beberapa masalah ini yang sejak awal coba kami minimalisir,” sebutnya.
Walau begitu, proses pengajuan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki batas waktu tiga hari setelah adanya penetapan resmi dari KPU. “Pleno terbuka penyampaian hasil penghitungan surat suara dilakukan tanggal 7-9 Juli,” terangnya. (drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: