Serial Karang Mumus (06): Buanglah di Sini

Ilustrasi(Misman Rsu/Net)

 

Konon di kuburan Nietzsche ada yang menuliskan “Nietzsche juga mati”. Tulisan itu mungkin ditujukan untuk mengolok-olok Sang Filsuf yang dikenal dengan ungkapan Gott ist tot atau Tuhan sudah mati itu. Dalam buku klasiknya Also Sprach Zarathustra, The Madman ini menuliskan “Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimana kita pembunuh dari segala pembunuh menghibur diri kita sendiri?. Yang paling suci dan perkasa yang pernah dimiliki oleh dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita?”

Mustofa, bukan pembaca Nietzsche. Jangankan Nietzsche, buku-buku ringan di perpustakaan sekolah tak sekalipun disentuhnya. Namun dalam dirinya ada sebuah pemahanan yang mirip dari apa yang dinyatakan oleh The Madman. Mustofa merasa bahwa pesan publik sudah mati, sudah lama mati. Pesan itu mati karena dibunuh oleh penerima pesan, yang bebal dan tak peduli. Pesan bukan lagi pesan yang menghadirkan, melainkan menjadi pepesan kosong belaka.

“Mumus … itu di sana,”

“Ayo …. let’s go”

Bondan dan Mustofa mulai mengendap menuju sebuah papan pesan. Disitu tertulis “Buanglah Sampah Pada Tempatnya”. Dan di ruang kosong bawah tulisan itu, Mustofa menorehkan tulisan “Tempatnya Dimana?”.

Dua bocah itu akhir-akhir ini terserang virus vandal. Mereka menyerang pesan-pesan dengan pesan tambahan. Virus vandal muncul ketika mereka menemukan selebaran yang berisi “Melawan dengan Gembira”.

Entah karena kurang kerjaan atau apa, kemudian Bondan dan Mustofa merancang aksi strategis dengan corat-coret pada pesan apapun yang terkait dengan kebersihan. Semua pesan yang berhubungan dengan kebersihan diserangnya dengan modal sekaleng cat dan kuas murahan.

“Mumus …. sana-sana… “

Dan mulailah srat..sret…srat..sret …., Mustofa mengoreskan kuasnya di sebuah spanduk bertuliskan HBS atau Hijau Bersih Sehat. Dia menambahkan tulisan “Di Spanduk Saja,”.

Belum selesai Mustofa menutup kalengnya, Bondan sudah berteriak kencang “Nah, itu ada lagi,”

Bondan menunjuk sebuah papan bertuliskan “Kebersihan adalah sebagian dari iman,”

Tak menunggu lama-lama, Mustofa berlari menuju papan itu. Ditambahkannya tulisan “Sayangnya sebagian besar dari kita tak beriman,”

Rupanya aksi keduanya ada yang menyaksikan dari kejauhan. Saat Bondan dan Mustofa duduk-duduk menikmati kepuasan karena telah menyalurkan virus vandal, tiba-tiba bahu keduanya dicengkeram oleh seseorang.

“Apa yang kalian perbuat?”

Kaget bukan kepalang, keduanya menoleh ke belakang bersama. Wajah Pak RT yang tidak asing buat mereka, kini menakutkan karena matanya melotot tajam.

“Nambah komen saja Pak,” Bondan menjawab sekenanya.

“Eh, kamu kira papan dan spanduk itu halaman facebook kah?”

Hilang sudah keterkejutan dan ketakutan Bondan serta Mustofa begitu Pak RT menganalogikan papan dan spanduk sebagai halaman facebook.

“Pak RT main facebook kah?”

“Lha iyalah, kamu kira biar tua begini gaptek begitu?”

“Ya nggak Pak RT. Berarti Pak RT lihat lah gambar-gambar sampah di Sungai Karang Mumus yang banyak di posting di Facebook?’

“Ya lihat lah …kamu kira Pak RT buta apa?”

Bondan dan Mustofa sedikit terdiam dan kemudian memberanikan diri bertanya pada Pak RT.

“Coba kenapa orang membuang sampah ke sungai?”

Sebetulnya Pak RT enggan menjawab dan juga ada rasa gengsi dalam dirinya, masak kedua bocah kecil itu mengajukan pertanyaan layaknya cerdas cermat saja.

“Di pinggir sungai nggak ada tempat sampah,” jawab Pak RT Keceplosan

“Nah, salahkah kalau kami tambahkan pernyataan dibawah tulisan Buang Sampah Pada Tempatnya dengan pertanyaan dimana tempat sampahnya?’

Lalu kembali mereka bertanya.

“Sungai kita ini bersih tidak?”

“Kotor sekali,” sahut Pak RT tidak bisa menutupi kenyataan.

“Kalau kebersihan adalah bagian dari iman, lalu sungai kotor apa coba artinya?”

“Ya artinya kita kurang beriman,” jawab Pak RT cepat.

“Kalau begitu Pak RT, kami pamit dulu,”

Kedua bocah itu kemudian beringsut dari tempat mereka dipergoki oleh Pak RT.

“Permisi Pak RT, kami mau corat coret lagi,”

Pak RT pun hanya terdiam menyaksikan kedua bocah berjalan pelan-pelan namun kemudian mengambil langkah kaki seribu seperti tengah dikejar oleh anjing yang baru beranak.

Pondok Wira, 31/08/2016 @yustinus_esha

Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News

Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:


Exit mobile version