“Om Misman, Pak Iyau … tadi ada orang buang sampah di sungai,”
Begitu anak-anak tepi Sungai Karang Mumus di sekitar Jembatan Kehewanan melaporkan pemantauan mereka ke Misman dan Iyau Tupang, duet maut dari Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.
Mustofa yang akhir-akhir ini lebih sering numpang main PS tak tahu perkembangan terbaru di tepian Sungai Karang Mumus, maka dia menjadi keheranan saat melihat teman-temannya akrab dengan dua orang yang tak dikenalnya itu.
“Siapa orang itu?” tanya Mustofa pada salah seorang temannya.
“Kenapa,suka kah,” jawab temannya sambil tertawan.
“Ketinggalan kamu, mereka orang terkaya di Samarinda,” lanjutnya.
Mustofa kemudian memperhatikan tampilan kedua orang itu. Dalam batinnya mungkin benar memang kalau dua orang ini adalah orang terkaya. Konon orang kaya cenderung berpakaian seadanya. Seperti foiunder Facebook, Mark Zuckerberg yang selalu berkaos dengan warna kelabu.
Sejauh yang jadi pemahaman Mustofa di Samarinda yang disebut sebagai orang kaya ada pemilik hotel dan mall besar serta pendiri masjid-masjid besar. Dua orang yang ada dihadapannya itu belum masuk dalam pengetahuannya.
“Eh, apa kekayaan mereka?”
“Itu,” kata temannya menunjuk sungai.
“Kok bisa,” kata Mustofa penasaran.
“Iya lah Mumus, mereka itu yang punya sungai ini. Coba kalau kamu sesuatu apa yang kamu lakukan?”
“Kujaga dan kupelihara,” jawab Mustofa seperti mengutip slogan.
“Nah itulah mereka,”
Dari cerita temannya itu Mustofa tahu kalau yang dipanggil Om Misman dan Pa Iyau itu adalah penjaga dan perawat Sungai Karang Mumus. Mereka nggak ada yang nyuruh dan minta, namun giat membersihkan permukaan sungai dari sampah dan membersihkan tunggul atau batang-batang yang berbahaya yang masih tersisa di sepanjang sungai.
Karang Mumus memang merupakan salah satu kekayaan Kota Samarinda, namun dilupakan. Mustofa sendiri gemar memakai nama Mumus karena bangga pada Sungai Karang Mumus. Menurut ceritanya dulu sungai ini adalah cikal bakal dari Kota Samarinda. Semua geliat mulai dari permukiman dan perniagaan muncul dari sungai ini.
Mustofa tahu bahwa dirinya bukan generasi yang menikmati Sungai Karang Mumus ketika masih bersih dan asri, sungai yang berair jernih, banyak ikan dan dihiasi pepohonan di kanan-kirinya. Ketika Mustofa mulai sadar lingkungan, Sungai Karang Mumus adalah sungai yang dikanan-kirinya dipenuhi oleh permukiman padat dan warganya gemar membuang apa saja ke badan sungainya.
Tapi soal kekayaan Sungai Karang Mumus, Mustofa tahu benar. Kekayaan terbesarnya adalah air, meski tak terpelihara. Air Sungai Karang Mumus yang warnanya mulai dari coklat sampai hitam masih digunakan oleh ribuan orang yang berdiam di tepiannya. Ada yang untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan cuci, namun tak sedikit juga untuk keperluan usaha seperti pembuatan tempe, potong unggas, pembuatan kikil, tetelan, pembersihan usus ayam dan jeroan.
“Sungai ini juga masih punya beragam ikan,” guman Mustofa dalam hati.
Ya, Mustofa mengenal Kai Hamzah, pencari ikan yang masih tekun menyusuri Sungai Karang Mumus di bagian tengah ke arah hulu. Disana Kai Hamzah akan memasang tempirai, atau jebakan ikan di rerumputan pinggir sungai. Meski jarang bisa menangkap ikan dalam ukuran besar, namun Kai hazah masih bisa membawa pulang ikan papuyu, puyau, biawan, haruan dan sebagainya. Sekali waktu Mustofa melihat Kai Hamzah menjual ikannya “35 ribu saja semuanya,” begitu ucap Kai.
Di hari Minggu biasanya Mustofa akan meminjam perahu tetangganya. Meski bukan lahir dalam keluarga bahari, namun karena lagu nenek moyang adalah pelaut, maka Mustofa belajar menguasai perahu. Jika ditanya mau kemana maka Mustofa akan menjawab “Ke hulu cari tempat hijau,”
“Di sepanjang sungai, bagian atas masih ada kanan kiri yang rimbun, ada pepohonan sepeti rumbia, bamban, jinggah, kademba, ara, kedongong hutan, mangga. Di atas juga masih banyak burung, burung air. Banyak blekok,” papar Mustofa kalau ditanya kenapa berperahu ke hulu.
Jika sedang fit, Mustofa akan mengayuh perahunya hingga mendekati Muang Ilir. Disana kanan kiri sungai adalah lahan terbuka yang dipakai untuk bercocok tanam. Aneka tanaman bisa dilihat mulai dari sayuran, bumbu dapur hingga buah-buahan serta tanaman pangan. Di sana sebelum mencapai pemukiman, Mustofa akan menepikan perahu ke sisi kanan, kemudian menaiki tebing sungai. Tak jauh dari tepi sungai ada saluran air irigasi. Terbentang luas di sebelah irigasi lahan pertanian nan luas dan rata. Dahulu adalah sawah, namun kini menjadi lahan kering karena saluran irigasi sudah bocor dimana-mana sehingga air tak cukup untuk mengenangi lahan itu menjadi persawahan.
“Padahal kalau ratusan hektar lahan ini ditanami padi, pasti kita akan punya beras Samarinda,” batin Mustofa.
Konon panjang Sungai Karang Mumus dari hulu hingga muara sekitar 34,7 km. Dan ditengah-tengah ada bendungan, yang membentuk waduk. Waduk yang seharusnya berfungsi sebagai reservoar itu disebut dengan waduk/bendungan Benanga. Luasnya kurang lebih 100 hektare dan ada pintu untuk mengalirkan air ke saluran irigasi yang mampu mengaliri sawah kurang lebih 300 hektare.
“Menyedihkan sekali,” Mustofa berguman dalam hati saat melihat wujud Waduk Benanga. Padahal di tepi jalan pintu masuk ke arah waduk tertulis dalam papan nama yang menunjukkan Waduk Benanga adalah salah satu destinasi wisata di Kota Samarinda.
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, waduk yang pernah jebol di tahun 1998 hingga membuat sebagian Kota Samarinda terendam selama beberapa hari ini terus mengalami pendangkalan. Luasannya kini menyusut dengan drastis. Area tutupan airnya hanya sedikit, sepanjang mata memandang yang terlihat adalah hamparan rata yang ditutupi oleh aneka rerumputan dan tetumbuhan air.
“Waduk ini sesungguhnya sudah mati,”
Setahu Mustofa dari berbagai berita yang dibacanya, Waduk Benanga berfungsi sebagai reservoir atau penampung air hujan dari daerah hulu Sungai Karang Mumus. Air ditampung di waduk ini sebagai cadangan air bersih dan juga dialirkan untuk irigasi teknis bagi kawasan persawahan yang terletak tak jauh dari waduk itu. Namun selama puluhan tahun waduk ini justru jadi wadah lumpur dari bebukitan yang diratakan untuk perumahan dan digali untuk pertambangan.
“Samarinda miskin tempat wisata dan yang ada pun tak terjaga. Bukan hanya Waduk Benanga tapi juga Kebun Raya Unmul Samarinda yang merupakan area lindung DAS Karang Mumus nasibnya juga tak kalah celaka,” ujar Mumus bicara sendiri.
Di tepi waduk itu Mustofa duduk, menghadap ke arah beton bendungan. Airnya putih berbuih dengan bunyi kericik tiada henti. Dari beton bendungan itu air mengalir ke arah Muang dalam aliran yang cukup deras.
“Daerah bendungan sampai Muang ini bisa menjadi waterpark alami,behanyut dengan ban dari sini sampai Muang pasti mengasyikkan”
Namun sesungguhnya Mustofa tidak tahu bahwa di area depan bendungan yang bak kolam itu tersimpan marabahaya. Di bawah air yang terlihat jernih dan putih berbuih itu ada banyak material bangunan, bekas cor-coran yang masih membawa kawat-kawat baja sertanya. Material itu berasal dari sisa-sisa bangunan bendungan yang dibongkar atau diperbaharui saat renovasi. Alih-alih mengangkat ke darat para pembangunnya justru melempar dan menyembunyikannya di dasar sungai.
Dan dari Bendungan Benanga hingga Muang dalam aliran airnya yang deras tersimpan banyak tunggul dan batang-batang pohon besar melintang di badan sungai. Banyak diantaranya menyimpan ujung ujung yang tajam yang bisa melukai bukan hanya kulit namun juga bisa merobek ban.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Mustofa soal kenapa ini terjadi. Dan tiupan angin semilir di tepian waduk membuat Mustofa terkantuk-kantuk. Hingga akhirnya tak terasa kepala Mustofa tersandar di kedua dengkulnya yang ditekuk. Samar-samar terdengar suara yang sepertinya menjawab pertanyaannya.
“Waduk dan sungai ini jadi begini karena tak ada yang mengurusnya. Semua membiarkan begitu saja, waduk dan sungai ini adalah kekayaan yang disia-siakan,”
Pondok Wiraguna, 24/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post