Entah sudah berapa lama ada gejala orang mengikuti pendidikan untuk mengejar gelar. Kini hampir seluruh guru Sekolah Dasar adalah Sarjana dan banyak guru Sekolah Menengah Pertama bergelar master. Mungkin saja beberapa diantara kepala sekolahnya adalah doktor.
Namun pada sisi lain nampak ada kecenderungan anak-anak didik semakin enggan belajar di sekolah. Anak-anak lebih suka mengikuti les atau bimbingan belajar di saat mau ulangan atau ujian. Lagi-lagi sekolah hanya ditujukan untuk naik kelas atau lulus.
Mustofa meski tak pandai-pandai amat, pernah menyatakan hendak berhenti dari sekolah. Mustofa menganggap di sekolah dia tak beroleh pengetahuan yang diinginkan sehingga dia ingin belajar langsung dengan mereka yang ahli, yang sudah mempraktekkan pengetahuan serta ilmunya. Karena orang tuannya pengrajin tempe, maka Mustofa ingin belajar pembuatan alat-alat untuk pengolahan makanan.
“Kamu itu mau jadi apa, belum tamat SMP sudah mau berhenti sekolah. Baca tulis saja belum lancar,” kata bapaknya saat Mustofa mengutarakan keinginan berhenti sekolah.
“Kalau kamu nggak mau sekolah, pergi saja dari rumah, bikin malu orang tua. Biar begini-begini bapak sama mamak masih mampu sekolahkan kamu,” tambah mamaknya.
Mustofa sebenarnya mau ngotot namun akhirnya berpikir-pikir juga, kalau sampai diusir dari rumah bakal celaka. Dia tak mau hidupnya akan berakhir sebagai gelandangan.
Kini setelah usai sekolah, Mustofa tak langsung pulang ke rumah. Dia akan mampir ke rumah Kai Nani, satu dari sedikit orang yang masih menekuni pembuatan perahu di tepian Sungai Karang Mumus. Tidak setiap hari Kai membuat perahu karena pesanan perahu makin hari makin menurun. Selain tak banyak lagi orang yang butuh perahu, sebagian juga beralih dengan memesan perahu fiber.
“Kai belajar buat perahu dari siapa?”
“Dari orang tua dan orang tuanya,”
“Turun temurun ya Kai?”
“Iya begitulah, tidak ada kursus atau training khusus untuk buat perahu. Pengetahuan diturunkan sebagai warisan untuk meneruskan tradisi,” ujar Kai Nani.
“Lalu sekarang, anak Kai ada yang belajar bikin perahu kah?”
“Nda ada,”
Mustofa terdiam. Dia teringat cerita bapaknya yang juga mengatakan hal yang sama. Mustofa juga tak pernah berusaha untuk belajar membuat tempe. Bapaknya juga tak pernah secara khusus mengajarkan cara membuat tempe. Kalaupun Mustofa paham membuat tempe itu karena setiap hari dia melihat bapak dan anak buahnya memproduksi tempe di bagian belakang rumahnya yang berada di atas aliran Sungai Karang Mumus.
Kai Nani bercerita kalau anak-anak tak ada yang tertarik untuk meneruskan tradisi keluarga sebagai keluarga pembuat perahu.
“Jaman sudah berubah, jenis pekerjaan semakin banyak. Pembuat perahu tak punya masa depan,”
Lagi-lagi Mustofa kembali ingat tempe produk bapaknya. Sebagai produk tempe masih punya masa depan cerah. Tempe adalah salah satu jenis makanan favorit yang bisa diolah menjadi berbagai macam pangganan. Namun pasar sekarang ada pasar yang sensitif, terhadap proses pengolahan sebuah produk.
Produk terutama makanan akan dinilai dari sisi kelayakan dalam proses produksi, kelayakan secara kesehatan dan lingkungan. Produk yang tidak ramah kesehatan dan lingkungan dalam garis produksinya pelan-pelan tapi pasti akan tersingkir dari pasar atau hanya akan bertahan di lingkaran paling pinggiran.
“Sama saja dengan tempe bapak saya Kai, meski diproduksi di tengah kota tapi terus terpinggir tak akan bisa masuk pasar-pasar modern yang kini lebih ramai dikunjungi ketimbang pasar tradisional,” ujar Mustofa.
Mustofa tahu persis di media sosial banyak orang menyumpah-nyumpah cara produksi tempe bapaknya yang berada di sungai yang penuh sampah. Tak sedikit dari mereka yang melihat kemudian mendeklarasikan tak lagi akan makan tempe.
“Tempe jadi seperti lele,”
“Apa maksudmu Mumus,” kali ini Kai Nani bertanya.
“Ya itu Kai, banyak orang berpikir kalau Lele itu ikan yang suka makan tai, jadi begitu lihat lele langsung terbayang …. “ jawab Mustofa tak selesai.
“Jadi biar lele dipelihara di kolam tetap saja orang itu tak mau makan lele. Nah nanti tempe juga begitu, kalau semua orang pikir tempe selalu dibuat di sungai yang kotor atau mengotori sungai, jadi begitu lihat tempe langsung terbayang ….,” lagi-lagi Mustofa tak meneruskan jawabannya, namun Kai Nani paham saja.
“Perahu dan tempe, sebenarnya senasib. Masa depannya suram karena sungai hancur,”
“Iya Kai, tapi kenapa sungai kita hancur?” kali ini Mustofa bertanya.
“Kamu pasti tahu Mumus, kan kamu setiap hari memandangi Sungai Karang Mumus dan tahu apa yang terjadi,”
Mustofa tak menjawab lagi. Dia terdiam, ingat betapa sungai meskipun penting tapi tak lagi dipandang. Sungai ibarat hanya menjadi jalur buangan, semua yang tidak lagi dipakai dan tak diperlukan akan berakhir di sungai.
“Makanya kamu sekolah baik-baik Mumus,”
“Saya rajin sekolah Kai, berangkat pagi-pagi, pulang sore,”
“Maksudnya itu kalau sekolah baik-baik itu artinya kamu belajar,”
“Lah ini baru pulang les Kai, belajar tambahan,”
“Bukan itu, belajar artinya kamu menguasai pengetahuan, bukan cuma tahu untuk mengisi ujian,” ujar Kai nani.
“Ingat Mumus, sekarang ini banyak sarjana, doktor dan profesor tapi sedikit yang mengamalkan ilmunya,”
“Kok begitu Kai?”
“Ya kamu lihat saja sungai kita ini. Kalau orang-orang pandai itu mengamalkan ilmunya pasti sungainya nda jadi begini,” Pondok Wira, 03/09/2016@yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post