Ada pemandangan tak biasa. Siang itu rumah disebelah Mustofa dipenuhi oleh orang berseragam. Dan Dulkamid, pemilik rumah itu digelandang oleh polisi dengan muka tertunduk melewati gang menuju jalan besar di depan. Disana berderet mobil telah menantinya.
Sirene berbunyi pertanda mobil-mobil itu telah meninggalkan tempat parkirannya. Banyak tetangga masih berkumpul di halaman sempit depan rumah Dulkamid. Dan Mustofa sebagai anak yang kena penyakit GU atau Gila Urusan ikut ramai merangsek ke keramaian itu. Mustofa aktif menguping perbincangan orang.
“Kenapa itu Dulkamid,”
“Jualan Siomay Palsu,”
“Palsu bagaimana?”
“Siomaynya pakai Iwak Cicak yang ditangkap di Karang Mumus,”
“Lah, nyaman saja kok itu. Anakku juga sering beli nggak apa-apa,”
“Eh, baik..baik…tahulah Iwak Cicak yang disini sudah mengandung bahan berbahaya apa?”
“Mana kutahu, tapi anakmu kulihat sering makan juga,”
Mustofa merasa beruntung, dia tak pernah memakan Siomay Dulkamid. Bukan karena tak suka melainkan mamaknya tak pernah memberi uang jajan. Dan pangganan kesukaan Mustofa hanyalah tempe buatan bapaknya yang mungkin tak jauh berbeda masalahnya dengan Siomay Dulkamid itu.
“Oh, jadi itu to masalahnya,” ujar Mustofa dalam hati.
Mustofa tahu persis, dulu Dulkamid kerap membeli Iwak Cicak kecil-kecil. Katanya untuk dijual ke pemilik aquarium karena Iwak Cicak adalah jenis ikan yang suka memakan lumut. Jadi Iwak Cicak dijadikan pekerja untuk membersihkan kaca aquarium.
Namun bisnis ikan pembersih aquarium itu melesu. Kini kebanyakan orang lebih suka mempunyai aquarium air laut yang jenis ikannya lebih bermacam-macam. Karenanya Dulkamid banting setir menjadi penjual Siomay. Ketika mulai berjualan Siomay, Dulkamid juga membeli perahu dan rajin menjala ikan dengan perahunya.
Di dekat rumah Mustofa ada Posko Mahasiswa KKN. Mustofa sering singgah dan bermain di posko itu. Rasa penasaran tentang Iwak Cicak mengantarnya kesana. Dia ingin bertanya-tanya pada kakak mahasiswa yang kelihatannya pandai-pandai itu.
“Kak, tahu Iwak Cicak lah?”
“Oh, Ikan Sapu-Sapu,”
“Mungkin kak, itu ikan yang banyak hidup di Sungai Karang Mumus sekarang,”
“Iya, itu nama dalam bahasa Indonesianya Ikan Sapu Sapu,”
“Itu ikan darimana kak?”
Kakak mahasiswa yang kebetulan memang pandai itu kemudian menerangkan kalau Ikan Sapu Sapu itu ikan yang berasal dari Amerika Latin. Masuk ke Indonesia karena diimport untuk membersihkan akuarium. Ikan itu juga dikenal sebagai Ikan Bandaraya atau Ikan Pembersih Bandar (kota). Disebut sebagai pembersih karena ikan ini suka memakan sisa-sisa tumbuhan dan lumut di malam hari.
“Tapi ikan ini bisa juga jadi besar, panjangnya bisa sampai 60 cm. Kalau sudah besar begitu, dia jadi malas bergerak dan makan segalanya,” terang Kakak Mahasiswa.
“Kok bisa ada di Sungai Karang Mumus Kak?”
“Wah itu kakak tidak tahu. Tapi kemungkinan dulu ada orang membuang Ikan Sapu Sapu dari aquarium, mungkin sudah terlalu besar. Dan bisa jadi yang membuang bukan satu dua orang, lalu berkembang biak di Sungai Karang Mumus,”
“Oh, iya kak. Itu ikan bisa dimakan apa tidak?”
“Nah, bisa saja dimakan. Tapi mungkin yang dari Sungai Karang Mumus berbahaya,”
“Kenapa kak?”
“Ikan ini bisa hidup dalam perairan yang paling buruk sekalipun. Nah seperti di Sungai Karang Mumus yang kotor ini, Ikan Sapu Sapu sekarang jadi ikan dominan. Mungkin kalau diperiksa di laboratorium, daging ikannya mengandung merkuri, timbal dan logam berat lainnya yang berbahaya untuk manusia,” terang Kakak Mahasiswa.
“Nah, coba selama ini ikan apa saja yang kamu temui di Sungai Karang Mumus,” kemudian Kakak Mahasiswa bertanya.
“Kalau di dekat rumahku ya tinggal Iwak Cicak itu kak. Kalau di hulu masih ada Sapat, Puyau, Papuyu, Ikan Pipih, Haruan, tapi kecil-kecil,” jawab Mustofa.
“Nah berarti disini tinggal Ikan Sapu-Sapu yang bertahan. Ikan lain nggak sanggup hidup karena lingkungannya sudah tercemar berat, terkontaminasi limbah dan bahan berbahaya lainnya,”
“Oh, begitu ya kak. Tapi diatas sana katanya ada yang suka makan Ikan Cicak, ikannya dikukus, dagingnya lembut dan rasanya kayak ayam,” ujar Mustofa
“Kamu sudah mencoba kah Mumus?”
“Belum kak. Pantas tadi Dulkamid dijemput polisi,”
“Lho, kenapa Mumus?”
“Dia jual Siomay yang bahannya Iwak Cicak,”
“Nah, itu. Berarti nggak boleh dimakan itu Ikan Sapu Sapu yang hidup di Sungai Karang Mumus?”
“Tapi kok teman-temanku yang sering beli Siomay Dulkamid nda apa-apa?” tanya Mumus mencoba menyanggah.
“Tidak ada yang melarang untuk makan daging Ikan Sapu Sapu selama tidak mengandung merkuri, timbal atau bahan berbahaya lainnya. Tapi jika ikan ditangkap dari sungai yang sudah terkontaminasi sebaiknya tidak. Efeknya tidak akan kelihatan segera karena bersifat akumulatif dalam tubuh,” ujar Kakak Mahasiswa.
“Oh, jadi bukan seperti racun yang langsung kelihatan efeknya?”
“Iya begitulah,”
“Apa akibatnya kalau kita makanan yang mengandung zat seperti yang terkandung dalam daging Iwak Cicak itu?”
“Salah satunya memicu kanker?”
“Kalau kecerdasan?”
“Dalam jangka panjang bisa juga menyebabkan penurunan kecerdasan,”
“Oh, pantas,” batin Mustofa dalam hati. Jangan-jangan karena pengaruh air dari Sungai Karang Mumus yang dipakai oleh warga untuk kepentingan MCK dan juga sumber air baku PDAM, maka sebagian warga Samarinda menjadi tidak cerdas dalam memperlakukan sungainya.
Pondok Wira,12/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: