SEBAGAI putra daerah, Aji Dedi Mulawarman cukup prihatin dengan kondisi ekonomi Kaltim yang terus anjlok. Sementara tanah Borneo adalah lumbung bagi sumber daya alam (SDA). Bahkan menjadi salah satu pondasi ekonomi nasional. Tapi nyatanya, akselerasi pembangunan di Kaltim justru paling lambat.
Dengan latar belakang sebagai cendekiawan ekonomi, Aji Dedi menyadari ada banyak kekeliriuan dalam konsep pembangunan di Kaltim. Khususnya pada pengelolaan dan pemanfataan SDA. Selain itu, banyak proyek pembangunan yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Salah satu yang nampak di mata Aji Dedi yakni, gaya pembangunan yang hanya terkonsentrasi pada ekonomi ekstraktif. Sementara kekuatan kemandirian untuk mengimbangi hal itu belum terbangun baik. “Kaltim secara sosiologis kultural punya pola berbeda dengan daerah lain. Masyarakat banyak hidup di sungai dan di pinggiran pantai,” jelas Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kepemimpinan Indonesia ini.
Menyatukan kepentingan antara kebudayaan, eksosistem berbasis sungai dan pantai, serta potensi SDA, bisa jadi solusi agar Kaltim tidak tergantung pada pertambangan. Akan tetapi hal itu belum disiapkan pemerintah. Pasalnya, kebijakan pemerintah saat ini mengedepankan logika keuntungan.
“Saya melihat, selama itu menguntungkan, negara mengeluarkan perizinan. Pajak dan bagi hasil hanya tersedot ke pusat. Yang hancur adalah Kaltim. Masyarakat Kaltim inikan mayoritas muslim. Religiusitasnya tinggi. Nah, ini tidak pernah dilihat secara integral, holistik sebagai potensi pembangunan,” tuturnya.
Menurutnya, sebagai konsekuensi logis atas ketergantungan Kaltim pada hasil pertambangan, yakni fluktuatifnya APBD dari tahun ke tahun. “Angka pengangguran terbuka di Indonesia itu paling besar ada di Kaltim. Nggak logis kalau pengangguran itu banyak di Kaltim, padahal pusat SDA ada di sini,” ungkap Aji Dedi.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2017, terbesar ada di Kaltim mencapai 8,55 persen dari total pengangguran di Indonesia yakni 7,01 juta orang yang bekerja.
“Mungkin saja SDA tidak terkoneksi dengan kebudayaan. Tidak terkoneksi dengan sistem peradaban sungai dan pantai. Di situ saya mencoba melihat dari sisi lain, membangun Kaltim Baru Religius,” ujar pria yang akan maju sebagai bakal calon gubernur (Cagub) Kaltim 2018 mendatang.
Dijelaskan, Kaltim Baru Religius dimaksud yakni, Kaltim yang integral. Antara kebudayaan, keagamaan, nasionalitas, ekonomi, dan peradaban sungai dan laut terintegrasi. Kaltim merupakan potret Indonesia mini. Dari suku jawa, bugis, madura, banjar, dayak, dan kutai menyatu di Kaltim.
“Saya merasa harus ada konsep baru yang integral, bukan merusak, bukan hanya mengeksploitasi kekayaan, tetapi harus membangun secara holistik. Kata kuncinya, lingkungan alam harus diselamatkan, sumber daya manusia harus dinaikan. Supaya anak-anak atau pemuda cerdas tidak lari dari Kaltim,” usulnya.
Dosen Universitas Brawijaya Malang ini melihat, banyak putra putri Kaltim yang cerdas dan pintar, namun mereka memilih tinggal di daerah orang lain. Hal itu dikarenakan siklus ekonomi, pembangunan, dan sosial budaya yang tidak dirawat pemerintah dengan baik menjadi alasannya.
“Ini harus disadari pemerintah. Kalau generasi Kaltim merasa tidak nyaman, kan berarti ada sesuatu yang harus segera dibenahi pemerintah. Saya sebagai putra daerah, saya merasa punya tanggung jawab, saya ingin membangun Kaltim. Maka saya harus kembali. Salah satunya, saya terjun langsung sebagai Cagub di Pilgub Kaltim 2018,” katanya. (drh/adv)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: