SANGATTA- Idealnya, dokter maupun perawat laki laki hanya diwajibkan melayani pasien laki laki. Begitupun sebaliknya. Hanya saja yang menjadi masalah, tak satupun aturan, baik Peraturan Pemerintah (PP), Undang Undang (UU), Peraturan Daerah (Perda) maupun sejenisnya mengatur hal tersebut.
Sehingga praktiknya, siapapun bisa memberikan pelayanan kepada pasien pria maupun wanita.
“Aturannya tidak ada (khusus layani sejenis). Bebas saja. Tetapi jika bicara idealnya, sebaiknya memang pasien laki-laki dilayani laki-laki. Perempuan dilayani perempuan,” ujar Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kutim, Bahraini Hasanal.
Tidak hanya masalah pelayanan semata, seharusnya penanganan juga demikian. Contoh kasus dalam masalah melahirkan, operasi ataupun yang serupa dengan hal tersebut.
“Lagi-lagi sebaiknya seperti penanganan kandungan atau sejenisnya harus yang satu jenis kelamin. Biar tidak risih,” katanya.
Masalah lainnya, selain terkendala belum adanya aturan yang mengikat akan hal ini, jumlah perawat maupun dokter di Kutim juga terbatas.
“Contoh dokter kandungan di Kutim saja cuman 4 orang. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Begitupun perawat paling banyak perempuan. Kalau harus sejenis susah juga,” katanya.
Kecuali menggunakan bidan lanjutnya, maka dipastikan akan ditangani wanita secara keseluruhan jika memeriksa kandungan. Bahkan penanganan hingga pelayanan sampai lahir akan ditangani yang sejenis.
“Kalau bidan banyak. Perempuan semua. Contoh bidan Triana.Tetapi kalau dokter sedikit saja. Sangat terbatas sekali,” katanya.
Sebagai dokter, dirinya berpandangan jika masalah penanganan tak perlu dipermasalahkan. Karena semua tenaga kesehatan memiliki sumpah yang mengikat.
Jika melanggar hal itu, ada konsekuensi yang akan diterima. Baik di dunia terlebih akhirat.
“Apalagi dalam keadaan darurat. Siapa yang berkompeten wajib menangani secara langsung,” katanya. (dy)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: