Oleh Lukman M, Redaktur Bontang Post
BENCANA kembali menerpa negeri ini. Kali ini di kawasan Sulawesi Tengah (Sulteng), tepatnya di Donggala dan Palu. Malahan dua bencana berskala besar sekaligus menerjang saudara-saudara kita di sana. Gempa berskala besar, tak tanggung-tanggung mencapai 7,4 skala ritcher, memunculkan bencana lain yang tak kalah dahsyat, gelombang tsunami.
Berbagai akses terputus. Jalan, telepon, listrik, dan perhubungan udara mati total. Mengerikan benar, khususnya bila melihat rekaman dampak gempa dan detik-detik terjadinya tsunami yang sempat beredar viral dengan cepatnya melalui berbagai jenis aplikasi pesan dan media sosial.
Akibatnya, beberapa waktu sejak bencana terjadi pada menjelang Magrib waktu setempat, Donggala dan Palu, dua daerah ini terputus hubungannya dengan dunia luar. Tak ada yang tahu bagaimana kabar sanak kerabatnya di dua daerah tersebut. Termasuk berapa korban jiwa yang telah ditimbulkan dalam waktu sekejapan mata itu.
Keesokan harinya, Sabtu (29/9), baru tabir kegelapan perlahan tersingkap. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mulai mencatat angka saudara-saudara kita yang terlepaskan nyawanya dalam momen mengerikan tersebut. Hingga tulisan saya ini dibuat, sebanyak 384 jiwa dinyatakan meninggal dunia. Sementara lima ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Jumlah korban ini masih bisa bertambah banyak, mengingat upaya evakuasi masih terus dilakukan. Pun demikian, masih ada daerah-daerah yang belum dapat diakses tim penyelamat. Berkaca dari tsunami di Aceh, 14 tahun silam, dari yang awalnya tercatat segelintir saja korban, lantas perlahan membengkak, bertambah hingga ratusan ribu korban meninggal.
Merinding, begitulah perasaan kita masing-masing mengetahui gempa dan tsunami ini. Apalagi saking kerasnya, getaran sampai terasa di Kaltim, termasuk di Bontang. Kepanikan warga terjadi di beberapa titik di Bontang, hingga membuat masyarakat berhamburan keluar dari kediamannya masing-masing. Bersyukur, hingga catatan ini diterbitkan, tak ada kerusakan atau korban jiwa di Bontang yang terdampak bencana ini.
Untuk kesekiankalinya, kita masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa bencana. Malahan kita sejatinya masih belum bisa move on dari gempa yang belum lama ini mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seakan belum cukup gempa Lombok, kini bangsa Indonesia kembali mendapat ujian dalam bentuk bencana yang sama-sama mengerikan, bahkan mungkin lebih dahsyat.
Dari segi ilmu geografi dan geologi, “maraknya” bencana di Indonesia tak terlepas dari posisi Indonesia yang berada dalam “Ring of Fire” atau lingkaran “Cincin Api Pasifik”. Tak tanggung-tanggung, bila merujuk peta cincin api ini, semua wilayah Indonesia masuk ke dalamnya tanpa terkecuali. Tanpa terkecuali. Artinya, potensi bencana yang terjadi lantaran cincin api ini seperti gempa dan letusan gunung berapi bisa terjadi di mana saja di Indonesia.
Sesuai peta cincin api ini, Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia. Pasalnya dikelilingi Cincin Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Karena kondisi geografis ini, di satu sisi menjadikan Indonesia sebagai wilayah rawan bencana letusan gunung berapi, gempa, dan tsunami. Namun di sisi lain menjadikan Indonesia sebagai wilayah subur dan kaya secara hayati.
Ya, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia itu ada harganya. Kali ini harga yang mesti dibayar lewat pergeseran Sesar Palu-Koro, yang memanjang dari Selat Makassar hingga pantai utara Teluk Bone. Dengan panjang patahannya mencapai 500 kilometer. Di Palu, beberapa segmen sesar ini berada di wilayah daratan hingga lembah Pipikoro. Kemudian memanjang sampai Donggala yang berada di selatan Palu.
Dahsyat, ya. Konsekuensi bagi bangsa yang bernenek moyangkan pelaut. Cincin api menyala kembali. Entah bencana yang keberapakah gempa dan tsunami ini, namun dampaknya selalu saja sama. Kehancuran suatu daerah, kematian para penduduknya. Aceh, Jogjakarta, Lombok, kini Donggala dan Palu telah merasakannya.
Lantas berikutnya, daerah mana lagi yang bakal “membayar” atas kesuburan Indonesia yang sejatinya merupakan rahmat Yang Maha Kuasa? Bisa di mana saja. Tak ada tempat aman di Indonesia, semuanya berpotensi mengalami bencana yang besar. Termasuk di Bontang.
Nyatanya, bencana yang terjadi di Indonesia bukan sekadar lantaran fenomena alam atau kondisi geografis/geologis. Melainkan juga ada makna lain di baliknya, bila dikaitkan dengan masyarakat Indonesia yang beragama. Dalam hal ini, ada “kekuatan” sangat besar di atas cincin api, yang merupakan perencana dalam semua skenario manusia di bumi. Tuhan.
Sebagai bangsa beragama, bencana yang terjadi tak bisa dilepaskan dari kehendak Tuhan. Dalam agama Islam, dikenal dengan istilah qada dan kadar. Bencana yang terjadi merupakan kewenangan Tuhan, bukan sekadar karena kondisi alam. Kondisi alam pun, bagi mereka yang mengimani adanya Tuhan, sudah ditentukan oleh Tuhan itu sendiri.
Berangkat dari premis ini, maka seharusnya tak ada yang boleh mengklaim secara tunggal, bahwa bencana ini murni fenomena alam. Harus selalu menyertakan bahwa bencana ini juga bagian dari kehendak Tuhan. Maka akan menjadi takabur bila seseorang hanya menyebut fenomena alam atau kondisi alam yang menjadi penyebab bencana dari setiap bencana. Seakan tak beragama, seakan “menyingkirkan” Tuhan.
Lantas, bila kita meyakini bahwa segala sesuatu karena kehendak Tuhan, berikutnya kita pasti paham, selalu ada makna di balik setiap peristiwa, termasuk bencana alam. Sebagaimana yang tergambar dalam lirik lagu-lagunya Ebiet G Ade. Makna atau hikmah itu bisa bervariasi bergantung pada pemikiran masing-masing, di antaranya bencana alam sebagai sebuah teguran dari Tuhan.
Teguran dari Tuhan ini bisa bermakna luas. Bisa teguran bagi mereka yang terkena bencana, bisa juga teguran bagi mereka yang tidak terkena bencana. Bagi mereka yang terkena bencana, menjadi sebuah teguran sekaligus ujian, demi meningkatkan level keimanan masing-masing. Seberapa sabar, tabah, dan tawakal dalam menghadapi bencana.
Teguran dari Tuhan ini juga bisa bermakna hukuman, azab, atau penghabisan, bagi mereka kehilangan nyawanya dan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Bisa jadi Tuhan sayang kepada mereka, atau bisa juga Tuhan membenci mereka. Karena layaknya kisah-kisah dalam riwayat para nabi, betapa bencana besar telah menghancurkan negeri-negeri nan makmur berikut penduduk di dalamnya. Wallahualam.
Sementara bagi mereka yang tidak terkena bencana, bagi mereka yang berada jauh dari bencana, teguran Tuhan bisa bermakna bencana serupa bisa saja terjadi pada mereka. Mereka atau mungkin kita, yang saat ini membaca, melihat, dan mendengar kabar bencana, bisa saja menjadi “sasaran” bencana berikutnya.
Karena layaknya bencana di Donggala dan Palu yang begitu mendadak tanpa bisa diprediksi sebelumnya, hal serupa juga bisa terjadi secara mendadak pula pada mereka, kita, yang saat ini dalam kondisi aman, nyaman, sejahtera. Maka, seberapa siapkah kita “menyongsong” hari tersebut? Khususnya dalam hal amal ibadah yang telah dilakukan selama ini.
Pun begitu, siapkah mental kita bila apa yang terjadi pada saudara-saudara kita di Donggala, Palu, Lombok, Aceh, dan daerah-daerah lain di Indonesia yang terkena bencana itu terjadi pada daerah kita? Dalam hal ini, kita yang mengalami dan merasakannya secara langsung? Sungguh berat menjawabnya.
Maka, bencana yang telah dialami saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air tersebut, patut menjadi pelajaran. Anggap sebagai teguran dari Tuhan. Agar kita semua mempersiapkan diri dalam mempersiapkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Khususnya kemungkinan terburuk dalam kaitan dengan Cincin Api Pasifik.
Bagaimana mempersiapkannya? Bisa dengan mulai meningkatkan amal ibadah, mulai menunjukkan kepedulian sosial kepada para korban bencana, juga bisa dengan melakukan berbagai upaya dalam pencegahan maupun penanganan apabila bencana benar terjadi pada diri kita. Ini bukan doa, ini adalah upaya preventif. Sehingga kelak kita tidak kaget, atau kelak kita bisa meminimalkan dampak yang mungkin terjadi.
Termasuk kepada pemerintah, teguran Tuhan ini bisa dialamatkan. Mengingat betapa makmurnya kekayaan alam negara kita yang diberikan oleh-Nya, bisa saja teguran ini agar pemerintah lebih arif dalam penggunaannya. Yaitu menggunakan tanpa merusak alam, tidak boros, atau tidak merugikan masyarakat.
Bisa juga, teguran kepada pemerintah agar kekayaan alam ini lebih dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri secara maksimal. Mengingat sejatinya dengan segala kekayaan alam itu, Indonesia bisa menjadi negara maju dan tercipta kesejahteraan. Layaknya Jepang yang juga berada dalam posisi yang sama, Cincin Api Pasifik.
Namun yang terjadi masih jauh panggang dari api. Bisa dilihat, betapa vokalnya para pegiat lingkungan dalam setiap aksi yang dilakukan. Korupsi, kolusi, nepotisme, masih mewarnai pengelolaan kekayaan alam negeri ini. Kekayaan alam yang mestinya bisa dioptimalkan membangun negeri, yang ada malah diimpor secara sporadis tanpa meninggalkan jejak manis.
Segala kemungkinan itu selalu ada. Karena memang ada banyak sudut pandang dan sikap terkait bencana alam yang seakan tiada habisnya. Namun yang pasti, harus sama-sama dipahami bagaimana bencana ini memunculkan kesadaran kita semua sebagai suatu kesatuan bangsa. Bagaimana sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air, bisa saling membantu di saat bencana melanda.
Tunjukkan kepedulian, keprihatinan, empati dan simpati. Galang dana dan bantuan, demi meringankan beban mereka para korban bencana alam. Baik di Donggala, Palu, maupun di Lombok. Sehingga mereka tidak merasa sendirian, sehingga mereka tidak merasa kesepian. Sehingga kesedihan tak hanya mereka yang rasakan karena kita ada untuk mereka. Sehingga mereka, kita, dan bangsa-bangsa di dunia ini mengetahui bahwa persaudaraan sebangsa dan setanah air Indonesia ini akan selalu ada di Indonesia. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post