Keberadaan hauling batu bara di jalan umum seperti sulit ditindak. Padahal, provinsi ini ada perda yang melarang itu. Sejak 2012 diundangkan, namun hingga sekarang tidak efektif. Aturan seperti tidak berjalan.
SEBUAH truk putih dengan pelat kuning melintas di depan kendaraan Kaltim Post di Jalan Soekarno-Hatta, Kilometer 16, Kelurahan Karang Joang, Balikpapan Utara, Rabu (28/9) sore. Setelah SMA 9 Balikpapan dari arah kota Balikpapan. Di dalam baknya, tampak menyembul bongkahan batu bara yang ditutupi terpal paduan hijau, kuning, dan merah yang sudah kusam.
Padahal paginya, kepolisian telah menggerebek sebuah penambangan ilegal di kawasan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) di Kilometer 33, Kelurahan Karya Merdeka, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar). Seperti tidak jera, aktivitas hauling batu bara di jalan umum masih terus berlanjut.
Aktivitas pengangkutan batu bara alias hauling di jalan umum tersebut memang sudah menjadi pemandangan biasa di Balikpapan. Sedikitnya dalam perjalanan Kaltim Post ke lokasi penggerebekan tambang batu bara yang diduga ilegal di lahan milik BOSF di Kilometer 33, Kelurahan Karya Merdeka, ada tiga dump truck yang melakukan hauling.
Setelah liputan di lokasi tambang batu bara diduga ilegal, pada 28 September, Kaltim Post mengikuti aktivitas hauling batu bara. Terlihat sebuah dump truck kuning dengan terpal hijau diduga mengangkut batu bara melintas di Kilometer 20 sekitar pukul 17.58 Wita. Kendaraan yang ditumpangi media ini pun mengekor.
“Kalau asalnya memang dari sekitar Kilometer 20-an. Biasanya mereka (hauling) dari sore sampai malam. Kalau hujan sepi, tapi kalau sudah kering (cuaca panas) pasti lumayan ramai,” ungkap sumber Kaltim Post, warga Karang Joang yang enggan namanya dikorankan.
Truk yang Kaltim Post ikuti sempat berbelok di Jalan Sungai Wain, ke arah Kebun Raya Balikpapan (KRB), Kilometer 15. Melewati permukiman penduduk dan menghadapi penyempitan jalan akibat aktivitas pasar malam Kamis di daerah tersebut.
Berada 1 meter di belakang truk, Kaltim Post bisa melihat sisa-sisa diduga batu bara menempel di badan bak kendaraan. Rupanya truk sempat berhenti dan sang sopir keluar dari kendaraan. Selepas magrib, truk tampak berputar arah. Kembali ke Jalan Soekarno-Hatta, berbaur dengan kendaraan pribadi lain ke Kilometer 13.
“Arahnya ke Jalan Pendekat Pulau Balang. Tapi ada juga yang melewati jalan tembus Kilometer 13 menuju Kariangau,” kata sumber Kaltim Post.
Benar saja. Di jalan tembus Kilometer 13–Kariangau, di salah satu titik yang menanjak, tampak batu bara tercecer di jalan. Memanjang di tengah batas jalur akibat tersapu kendaraan yang melintas.
Ada sejumlah pelabuhan batu bara yang menjadi tujuan para truk tersebut. Di antaranya, pelabuhan milik PT Kaltim Kariangau Terminal (KKT), perusahaan yang berada di Kawasan Industri Kariangau (KIK), dan dermaga di kawasan Kariangau.
Dikonfirmasi terkait hauling batu bara di jalan umum, sejumlah pihak yang diwawancarai Kaltim Post mengakui adanya aktivitas tersebut.
“Terkait jalan umum sebagai jalur hauling, kami akan berkoordinasi dengan dinas terkait di Kaltim. Dan hasilnya akan kami sampaikan nanti,” singkat Kabid Humas Polda Kaltim Kombes Yusuf Sutejo dalam rilis pengungkapan empat kasus illegal mining, termasuk di kawasan BOSF Samboja, Jumat (30/9).
Pada hari yang sama, Kaltim Post juga menemui Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kaltim Yudha Pranoto. Pria yang baru dua bulan menjabat kepala Dishub Kaltim itu menegaskan penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling adalah pelanggaran. Sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10/2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara dan Kelapa Sawit.
“Hauling (di jalan umum) itu tidak boleh. Sayangnya Dishub tidak punya kewenangan menindak. Kami ranahnya ada di regulasi. Yang bisa kami lakukan misalnya ketika mendapati pelanggaran itu, mencatat nomor pelatnya, terus lapor ke pihak berwajib,” kata Yudha.
Dia mengakui ada celah yang dimanfaatkan oknum untuk melakukan hauling di jalan umum. Pun bisa juga, kata dia, oknum petugas yang di lapangan “tutup mata”. Apalagi jalur yang digunakan untuk pengangkutan batu bara, yakni di Jalan Soekarno-Hatta berstatus jalan nasional. Sementara kewenangan Dishub Kaltim hanya di jalan milik provinsi.
“Sama seperti Mas-nya (wartawan). Kami tahu itu (ada hauling di jalan umum). Tapi kan kami lurus-lurus saja sesuai aturan. Kalau memang aturannya tidak boleh (hauling), ya, tidak boleh. Tapi itu ada kewenangannya. Makanya kalau ada aturan yang baru, dengan kekuatan yang diberikan ke Dishub untuk menindak, ya harus didukung penuh,” ucapnya.
Perlu diketahui, dalam Perda 10/2012 di Pasal 6 menyebut, setiap angkutan batu bara dan hasil perusahaan perkebunan kelapa sawit dilarang melewati jalan umum. Lalu setiap hasil tambang batu bara dan hasil perkebunan kelapa sawit yang berasal dari perusahaan pertambangan dan perusahaan perkebunan wajib diangkut melalui jalan khusus.
Selanjutnya, penggunaan jalan umum untuk hanya berlaku untuk pengangkutan hasil perkebunan kelapa sawit setelah memperoleh izin dari pejabat berwenang.
Di Pasal 8, untuk batu bara boleh menggunakan jalan umum karena alasan perusahaan pertambangan yang sudah ada pada saat berlakunya perda sedang dalam tahap melaksanakan konstruksi pembangunan jalan khusus. Atau dalam keadaan darurat karena kerusakan jalan khusus yang disebabkan oleh bencana alam atau oleh sebab lain. Sehingga tidak dapat dilalui.
Pasal selanjutnya, hasil tambang batu bara juga boleh diangkut menggunakan jalan umum jika sudah berupa kemasan dan ditujukan untuk keperluan rumah tangga dengan pembatasan tonase sesuai kelas jalan. Belakangan eksekutif dan legislatif memproses revisi perda tersebut. Namun hingga berita ini dimuat, Kaltim Post belum menerima salinan rancangan revisi Perda Nomor 10/2012.
Dikonfirmasi media ini, anggota Komisi II DPRD Kaltim Sapto Setyo Pramono membenarkan aturan itu telah direvisi. Namun, dia menilai, tidak ada perubahan yang krusial dari perda tersebut.
“Truk pengangkut batu bara mutlak tak boleh melintas di jalan umum. Khusus angkutan sawit yang memang ada penambahan pasal. Tapi saya belum tahu persisnya, karena tidak masuk pansus (panitia khusus),” ucap politikus Golkar itu.
Terkait kelas jalan itu, Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XVII Kaltim dan Kaltara Muiz Thohir menjelaskan, secara pemanfaatan semua kendaraan boleh melintas di jalan umum. Kecuali pada kendaraan tertentu untuk aktivitas yang dilarang sesuai peraturan di daerah tersebut.
Sementara untuk pengawasan, BPTD memiliki kewenangan pada sumbu kendaraan disesuaikan dengan kelas jalan di Kaltim. Untuk pengawasannya, BPTD menggunakan perangkat berupa jembatan timbang. Di Balikpapan, jembatan timbang ini berada di Kilometer 17, Karang Joang, Balikpapan Utara.
“Kami akui jembatan timbang di Karang Joang ini kurang ideal. Karena sempit dan terbatas. Maka kami masih proses membangun di daerah Kilometer 36. Nanti jembatan timbangnya di pindah ke sana,” sebut Muiz.
Kalau pun ada operasi di jalan untuk menertibkan yang melanggar ketentuan, semacam kendaraan over dimension/overloading (ODOL), menyebut pihaknya harus didampingi aparat penegak hukum. Dan khusus untuk kendaraan pengangkut batu bara yang hauling di jalan umum, dia menjelaskan seharusnya sudah dilakukan sejak dari sumber batu bara itu berasal.
“Yang mampu kami lakukan ada di hilir. Itu pun sebatas kewenangan kami dari sisi pengawasan di jembatan timbang. Itu pun di lapangan, begitu tahu kami sedang operasi, mereka (truk pengangkut batu bara) tidak bergerak. Begitu operasi berakhir, mereka jalan lagi. Jadi memang komitmennya harus dari hulu,” jelasnya.
Muiz menegaskan, pihaknya sudah menunjukkan komitmen dalam menertibkan kendaraan ODOL. Pada 18 Juli lalu misalnya, dari hasil pengawasan di Jembatan Timbang Karang Joang yang ditindaklanjuti dengan penyidikan Pasal 277 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), seorang sopir diputus oleh Pengadilan Negeri Balikpapan dengan denda Rp 18 juta karena membawa kendaraan overloading dan tanpa disertai KIR.
“Pekan lalu juga sedang dilaksanakan sidang di Pengadilan Negeri Balikpapan hasil pengawasan kami terhadap lima truk tangki di jembatan timbang. Jadi kami secara pengawasan sudah menjalankan peran,” ujarnya.
Untuk diketahui, Pemprov Kaltim, diwakili Asisten II Perekonomian dan Administrasi Pembangunan yang kala itu dijabat Abu Helmi dalam Rapat Paripurna Ke-4 DPRD Kaltim, pada 17 Januari 2022 sempat menyampaikan Nota Penjelasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perubahan Perda Nomor 10 Tahun 2012. Pemprov saat itu menyayangkan jalan yang semestinya untuk jalan umum digunakan untuk angkutan batu bara dan sawit.
Disampaikan, secara umum, kendaraan angkutan batu bara maupun angkutan kelapa sawit memiliki tonase rata-rata di atas 10 ton. Sementara batas muatan sumbu terberat (MST) jalan provinsi dan nasional di Kaltim masih kelas IIIA yang hanya bisa menahan sumbu terberat kendaraan 8 ton.
Bila tonase yang melewati jalan umum lebih 8 ton dan terus-menerus, maka bisa menyebabkan kerusakan jalan. Apalagi bila muatan angkutan batu bara dan kelapa sawit berlebihan.
“Hal ini menimbulkan dampak di antaranya jalan yang cepat rusak, juga menyebabkan jalan rawan kecelakaan karena beban angkutan yang lewat di jalan umum tersebut tidak sesuai tonase jalan. Sehingga mengakibatkan terganggunya kenyamanan masyarakat dan pengguna jalan lain, serta masyarakat yang berada di sekitar jalan itu,” sebut Abu Helmi.
Sebelumnya Polda Kaltim mengungkap kasus penambangan yang diduga ilegal di Kilometer 33, Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar), Rabu (28/9). Aktivitas penambangan itu masuk lahan milik BOSF. Konservasi orangutan dan beruang madu pun kian tertekan.
Dari pengungkapan itu, kepolisian menahan 12 orang yang diduga pekerja. Tapi sayang, aparat belum berhasil menangkap pemodal dari penambangan ilegal tersebut. Aktivitas itu disebut sudah berjalan selama dua bulan belakangan.
“Ya itu (lahan) milik BOSF. Sudah lama kami resah lahan kami ditambang. Dari 1.800 hektare luas kepemilikan lahan BOSF, 300–600 hektare kondisinya dirusak pertambangan batu bara ilegal,” ungkap kuasa hukum BOSF Yesaya Rohy, Rabu (28/9).
Diduga kuat pengangkutan batu bara yang dikeruk dari kawasan BOSF itu menggunakan Jalan Soekarno-Hatta. Yang kemudian membawa emas hitam tersebut ke kawasan Kilometer 13, Balikpapan.
Yesaya menjelaskan, terungkapnya aktivitas tambang ilegal setelah pihak BOSF melapor dua pekan lalu ke Polsek Samboja. Namun diarahkan melapor ke Polda Kaltim. Dari laporan tersebut, Rabu (28/9), setelah munculnya laporan sekuriti BOSF terkait adanya aktivitas pertambangan, pihaknya pun segera mengabari Polda Kaltim. “Kami sudah bersurat ke Polda Kaltim sekitar dua pekan lalu untuk minta pengamanan, lahan kami ini ditambang liar,” lanjut Yesaya.
Kata dia, sebenarnya aktivitas pertambangan di kawasan konservasi orang utan dan beruang madu itu tak hanya di sisi Kilometer 33. Namun di sisi pesisir juga ada. Bahkan sudah berlangsung lama. Namun setiap akan diungkap selalu gagal lantaran ketika petugas datang, sudah tidak ada kegiatan. Sehingga polisi meminta kepada sekuriti atau petugas keamanan BOSF untuk melapor jika ada aktivitas pertambangan.
“Sudah bertahun-tahun. Operasi sekitar minggu lalu kosong. Jadi kayak pukul lari atau kucing-kucingan. Sekuriti pun diminta laporan kalau ada kegiatan. Nah hari ini (Rabu) itu ada kegiatan. Jadi langsung melapor dan akhirnya Polda Kaltim turun,” jelasnya. (rdh/nyc/rom/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: