JAKARTA – Pemerintah terus mengkaji persoalan mahalnya harga avtur yang mengakibatkan kenaikan harga tiket pesawat. Salah satu solusi yang diusulkan adalah peniadaan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi penjualan avtur oleh Pertamina. Saat ini penjualan avtur dikenai PPN 10 persen dan pajak penghasilan (PPh) 0,3 persen.
Usul tersebut disampaikan Menteri BUMN Rini Soemarno saat rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin (13/2). ’’Harapannya, dihapus,’’ kata Rini setelah pertemuan.
Rini menyatakan, pihaknya sudah melihat cost structure tentang komponen harga avtur yang ditetapkan Kementerian ESDM. Di situ, lanjutnya, formula yang ditetapkan Kementerian ESDM relatif tidak jauh berbeda dengan yang ada di Singapura. Perbedaan hanya terletak di PPN. ’’Di kita kena PPN, di mereka enggak kena,’’ ujarnya. Atas dasar tersebut, Rini menilai wajar jika poin PPN harus dievaluasi.
Rini pun menilai opsi masuknya perusahaan lain sebagai kompetitor Pertamina kurang tepat. Sebab, selama ini pembangunan infrastruktur distribusi avtur di AP1 dan AP2 dilakukan sepenuhnya oleh Pertamina. ’’Infrastruktur di dalam, infrastruktur penyimpanan, itu semua investasi Pertamina,’’ ungkapnya.
Presiden Joko Widodo belum mengambil keputusan terkait dengan avtur. Dalam rapat tersebut, Jokowi meminta menteri menghitung pos-pos mana saja yang bisa dilakukan efisiensi. Jika sudah ada opsi-opsinya, dia akan mengambil keputusan. ’’Nanti diambil keputusan ya setelah ada kalkulasinya kan,’’ tuturnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menuturkan bahwa pihaknya masih mengkaji perpajakan untuk avtur bersama Pertamina. Namun, harga avtur yang tinggi tidak disebabkan pengenaan pajak. ’’Tapi, bisa juga kami kaji apakah memang pajak bisa untuk membantu menurunkan harga avtur, termasuk (mengkaji) benchmark di beberapa negara. Tampaknya, di negara-negara lain seperti Singapura dan lain-lain, avtur juga dikenai pajak (PPN),’’ jelasnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, pengenaan pajak pada avtur juga dilakukan negara lain. Lagi pula, tarif PPN 10 persen tidak berubah sejak 2003. Tarif PPN itu juga berlaku untuk komoditas penjualan lain, tidak hanya terbatas pada avtur. Selain itu, PPh 0,3 persen tidak termasuk tarif PPh yang mahal. Sejak dulu, tidak pernah ada masalah maupun protes dari maskapai penerbangan mengenai pengenaan pajak untuk avtur.
Menurut Pras, sapaan akrab Yustinus, pajak bukan pemberat harga jual avtur. Justru ada kemungkinan lain yang mengakibatkan harga avtur itu mahal. ’’Apakah karena bahan bakunya impor, lalu menjadikan avtur itu mahal, atau inefisiensi dalam pengelolaan bisnisnya, atau ada problem monopoli. Saya kira itu yang justru perlu dibedah dan didalami,’’ tegasnya.
Namun, jika hasil kajian dari pemerintah menyimpulkan bahwa pajak memang menjadi pemberat harga avtur, pemerintah bisa memasukkan avtur dalam daftar barang strategis. Jadi, penjualannya tidak dipungut PPN.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, sebaiknya pemerintah membuka jalan bagi kompetitor untuk masuk ke bisnis avtur. Namun, kompetitor itu harus bersedia membangun infrastruktur distribusi avtur yang efisien. Sebab, menurut Bhima, faktor yang membuat harga avtur mahal adalah biaya distribusi. Selama ini avtur diangkut lewat berbagai moda transportasi seperti kapal, pesawat, dan truk tangki.
’’Di luar negeri, avtur didistribusikan lewat pipa bawah tanah sehingga biaya distribusinya murah. Kalau kompetitor nanti tidak mau berinvestasi di infrastruktur distribusi, hanya mengimpor, dan menggunakan jalur distribusi yang sama dengan Pertamina, masalah tidak bakal selesai,’’ terang Bhima.
Sejauh ini perusahaan yang menyatakan berminat masuk ke bisnis avtur adalah PT AKR Corporindo. Namun, masuknya kompetitor itu juga bergantung pada kebijakan pemerintah. Entah akan memberi karpet merah atau justru membatasi ruang gerak kompetitor. Lagi pula, sudah sewajarnya bisnis tersebut tidak dimonopoli satu perusahaan. Sebab, avtur sama dengan BBM nonsubsidi lainnya yang dimasuki banyak perusahaan. ’’Avtur kan bukan BBM subsidi, bukan public service obligation (PSO). Avtur ini seperti BBM RON 90, 92, dan lain-lain yang komersial. Jadi, seharusnya tidak ada monopoli,’’ tandas Bhima. (far/rin/c14/oki/jpg)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini:
Komentar Anda