SAMARINDA – Kematian Ari Wahyu (12) di lubang tambang di Desa Bukit Raya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), pekan lalu menguak fakta baru. Warga membantah pernyataan kepala desa setempat yang menyebut eks lubang tambang batu bara itu digunakan untuk pengairan sawah di musim kemarau.
Asraf (35), nama samaran, menyebut terdapat tiga lubang eks tambang di RT 09. Salah satunya dialihfungkan sebagai waduk untuk pengairan sawah. Lokasinya, berkisar 300 meter dari lubang yang digunakan almarhum Ari dan teman-temannya untuk berenang.
“Waduk itu lokasinya di atas. Beda lokasinya dengan lubang itu. Tetapi masih di RT 09. Tempat tenggelamnya anak itu, lubangnya sudah ditutup warga. Sedangkan waduk yang dimanfaatkan warga ini masih dipertahankan,” ungkapnya pada Metro Samarinda, Rabu (13/11) kemarin.
Dia menyebut, lubang tambang nahas yang digunakan Ari beserta delapan temannya baru beberapa bulan ditambang perusahaan. Sehingga tak mungkin dipakai warga untuk pengairan sawah.
“Itu ditambang penambang ilegal. Lokasinya masih KP (kuasa pertambangan, Red.) PT BBE (Bukit Baiduri Energi). Tetapi informasinya tidak ditambang PT BBE. Saya sering lewat di situ. Saya tidak pernah lihat air di lubang itu digunakan warga,” terangnya.
Kepala Desa Bukit Raya, Sutardi mengatakan, kasus kematian di lubang tambang di kecamatan tersebut tidak hanya terjadi pada Ari. Sebelumnya, dua orang remaja meninggal dunia di lokasi eks tambang di Kecamatan Tenggarong Seberang.
“Dua orang itu bukan warga saya. Tetapi warga di desa sebelah. Memang di lubang-lubang itu enggak ada peringatan dan pengamanan. Makanya anak-anak bisa masuk dan mandi di situ,” katanya.
Sutardi menyebut, lubang-lubang eks tambang itu sengaja tidak ditutup. Alasannya, pada saat musim kemarau, warga menggunakan air di lubang tambang itu untuk mengairi lahan pertanian.
“Bahkan telah ada paket irigasinya. Lubang itu saja bisa dimanfaatkan untuk mengairi sawah seluas 150 hektare,” jelasnya.
Namun tidak sedikit pula warga yang mendesak lubang itu ditutup. Hal itu terbukti setelah tragedi nahas yang terjadi pada Ahad lalu, warga berinisiatif menutup sendiri lubang tambang itu.
Kata Sutardi, pemerintah desa tidak dapat mengambil kebijakan di tengah pro dan kontra tersebut. Karena itu, hanya pemerintah provinsi dan perusahaan yang berhak menutupnya.
“Hasil pertemuan saya dengan warga, mereka ingin mempertahankan lubang itu. Harusnya kalau undang-undang mewajibkan harus ditutup, mau enggak mau harus ikuti aturan. Tetapi di sisi lain, warga juga memanfaatkannya. Ini yang membuat kami serba dilematis,” terangnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: