SAMARINDA – Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda memastikan tidak akan mengajukan banding terkait putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tentang perintah menerbitkan izin mendirikan bangungan (IMB) masjid di lapangan Kinibalu.
Sekretaris Kota (Sekkot) Samarinda, Sugeng Chairuddin mengatakan, putusan yang inkrah tidak dapat lagi diganggu gugat. “Sekarang yang menjadi permasalahan, apakah putusan tersebut akan diikuti atau tidak,” ujarnya.
Sugeng tidak mau berandai-andai mengenai sikap yang akan diambil pemkot. Sebab kepastian mengenai putusan itu baru akan dibicarakan setelah Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang kembali dari dinas luar kota.
“Pak Wali sudah rapat dengan Kemendagri mengenai perjanjian SKB (Surat keputusan bersama, Red.) tiga menteri. Rencananya Senin mendatang kami akan bertemu Pak Wali dan mengambil sikap. Apabila keputusannya sudah ada, siangnya akan langsung diteken,” ucapnya.
Mengenai sanksi yang akan diberikan jika pemkot melewati tenggat waktu yang diberikan, Sugeng belum dapat mengomentarinya. Dia hanya meyakinkan, wali kota telah mengetahui permasalahan tersebut. “Kita belum tahu juga, nanti dilihat lagi. Yang jelas Pak Wali sudah tahu,” katanya.
Sebelumnya, Pemkot Samarinda dituntut segera mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk proyek masjid di lapangan Kinibalu. Sesuai dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda bernomor 9/P/FP/2018/PTUN.SMD, majelis hakim mengabulkan semua tuntutan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim.
Apabila dalam masa lima hari kerja pemkot tidak melaksanakan putusan tersebut, maka akan dikenai sanksi berupa uang paksa senilai Rp 2,5 juta per hari. Dan pemberhentian sementara Kepala DPMPTSP Samarinda dengan atau tanpa memperoleh hak jabatan.
Menanggapi sikap pemkot tersebut, kuasa hukum warga Kelurahan Jawa dan Kelurahan Bugis, Achmad Jayansyah menyebut, putusan pengadilan itu telah mencederai proses pengurusan IMB. Lantara proses pengurusan IMB itu diduga cacat hukum dan sarat rekayasa.
Kata dia, pihaknya sepakat segera membawa masalah tersebut di Mahkamah Agung (MA). Di MA, warga akan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan itu. Langkah tersebut sebagai upaya untuk mengoreksi putusan PTUN.
“Apabila Pemkot Samarinda tidak ada perlawanan, kami yang akan ajukan PK di MA. Kami menduga putusan ini telah direkayasa. Kok bisa wali kota dipaksa mengeluarkan IMB, sementara masyarakat masih menolak pembangunan masjid,” tegasnya.
Jayansyah mempertanyakan sikap Pemkot Samarinda yang justru legawa dengan putusan tersebut. Dalam hal ini dia menduga Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang menjadi bagian dari dugaan rekayasa yang digagas Pemprov Kaltim itu.
Dugaan rekayasa bukan tanpa alasan. Pasalnya pada saat pemanggilan sejumlah saksi di pengadilan, majelis hakim seolah mengabaikan pertimbangan penolakan warga terhadap proyek yang menghabiskan anggaran Rp 64 miliar tersebut.
Sejatinya, penerbitan izin itu justru mengabaikan prasyarat awal yang mengharuskan adanya persetujuan warga. Perintah PTUN pada pemkot agar menerbitkan IMB menambah keyakinan kelompok yang kontra pada proyek itu. Bahwa majelis hakim tidak mempertimbangkan seluruh masukan saksi.
Kejanggalan berikutnya, majelis hakim hanya merujuk pada hasil paripurna di DPRD Kaltim yang telah menyetujui penganggaran proyek. Padahal di hulunya, pembangunan masjid itu tidak pernah masuk daftar musyawarah perencanaan pembanguan (musrembang) di tingkat kelurahan dan kecamatan.
“Begitu juga setelah proyek ini dijalankan. IMB belum diterbitkan. Padahal itu syarat awal untuk membangunan masjid. Lurah dan camat juga tidak pernah menyetujui proyek ini. Itu sudah melanggar prinsip dasar pelaksanaan proyek,” ucapnya.
Pun demikian, dalam tahapan penolakan yang diajukan warga di DPRD, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Kaltim telah bersepakat untuk mengevaluasi proyek itu melalui mekanisme sidang paripurna di Gedung Karang Paci.
Sejumlah fraksi di DPRD Kaltim juga menyetujui rencana sidang tersebut. Diperkuat dengan persetujuan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam), Kepala Kejaksaan Tinggi Negeri (Kajati), kepolisian daerah (polda), tokoh masyarakat, ulama, lurah, dan camat.
Dalam rapat di dewan yang dipimpin Ketua DPRD Kaltim Muhammad Syahrun, kesepakatan tersebut muncul dan disepakati sebagian wakil rakyat. Namun gubernur dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kaltim absen dalam rapat dengar pendapat tersebut.
Buah dari rapat itu yakni penghentian sementra pengerjaan proyek yang dicanangkan rampung pada Desember 2018 itu. Dalam perjalanannya, celah hukum diambil Pemprov Kaltim dengan mengajukan gugatan perdata di PTUN.
Dia merasa aneh dengan sidang di pengadilan yang berlokasi di Samarinda Seberang itu. Pasalnya, beragam masalah yang melingkupi proyek tersebut, justru yang ditekankan hanya penerbitan IMB.
“Sementara kami bicara bukan semata IMB. Proyek ini tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keputusan PTUN yang cacat ini tidak objektif,” tutupnya. (*/dev/*/um/drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: