SAMARINDA – Pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah menilai, suap politik atau bribery in election muncul karena partai politik gagal mencetak kader yang mau memperjuangkan nasib rakyat. Dalam artian, partai politik (parpol) belum mampu mendekatkan diri dengan massa pemilih.
Ketika pemilu, kader parpol berlomba mendekatkan diri pada masyarakat. Sehingga masyarakat merasa tidak memiliki ikatan emosional, baik dari segi kesamaan misi maupun ideologi.
“Kegagalan ini muncul mulai dari mencetak kader, menciptakan iklim demokratis dalam partai, hingga mendekatkan diri dengan massa. Walhasil, politik biaya tinggi masih menjadi pilihan. Dan partai berada dalam kendali oligarki,” kata pria yang biasa disapa Castro itu, Jumat (13/4) kemarin.
Disebutkan pengajar Fakultas Hukum Unmul itu, sebab lain munculnya suap politik karena minimnya kesadaran massa mengambang atau floating mass. Masyarakat yang dikategorikan massa mengambang lebih cenderung tidak memiliki pandangan hidup yang pasti.
“Massa mengambang ini mudah terbawa ke dalam pragmatisme politik,” ucapnya. Karena itu dia menegaskan, politik uang bukan hanya soal hulu saat tim sukses atau pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam pemilu, tetapi juga proses terciptanya politisi dan masyarakat yang sadar secara politik bahwa bribery in election adalah ancaman bagi masa depan bangsa.
“Suap politik terjadi mulai dari proses pencalonan, pendaftaran, kampanye, pencoblosan, hingga perhitungan dan penetapan hasil,” sebutnya.
Castro menerangkan, penanganan dan penindakan suap politik dalam pemilu sudah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dalam aturan tersebut dijelaskan, membiayai makan, minum, dan transportasi masyarakat diperbolehkan ketika paslon melakukan kampanye. Tetapi paslon serta tim suksesnya dilarang memberikan uang.
“Sementara jika kampanye dikemas dalam bentuk uang, maka hadiahnya hanya dalam bentuk barang dengan nilai paling tinggi Rp 1 juta,” terangnya.
Artinya biaya yang dikeluarkan paslon dan tim sukses di luar ketentuan yang diatur dalam PKPU 4/2017 tersebut, dapat dikategorikan sebagai suap politik.
“Kalau HP (handphone) yang dibagi-bagikan, bukan bagian dari perlombaan, terlebih tidak dilaporkan kepada KPU dan Bawaslu/Panwaslu. Maka secara nyata itu bisa dikategorikan sebagai suap politik,” katanya.
Karena itu, dia menyarankan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) harus memasang mata bedil pada titik krusial dalam pemilihan gubernur. Apalagi saat ini, Bawaslu beserta perangkatnya masih belum maksimal menindak siapa saja yang melanggar rambu pemilu.
“Salah satu sebabnya, resource atau sumber daya manusia yang dimiliki Bawaslu masih belum memadai. Karena resource lembaga pengawas yang minim, maka butuh jangkar untuk melawan suap politik dari sektor publik,” sarannya.
Jangkar yang dimaksud yakni akademisi, Non-Governmental Organization (NGO), mahasiswa, dan organisasi kemasyarakatan. Elemen tersebut diharapkan memperluas mata rantai pengawasan terhadap pemilu. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: