BONTANGPOST.ID, Samarinda – Kepala daerah incumbent atau petahana masih mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk terpilih kembali pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di Kalimantan Timur (Kaltim).
Hal tersebut terlihat dari 10 kabupaten/kota di Kaltim, ada sebanyak 6 wilayah yang dimenangkan oleh kepala daerah petahana. Dalam hal ini, kepala daerah petahana yang masih menjabat.
Berdasarkan rekapitulasi hasil pilkada serentak pada kabupaten/kota se-Kaltim yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah kabupaten/kota yang dimenangkan oleh kepala daerah petahana.
Pada Pilwali Samarinda Pasangan calon petahana yang juga pasangan calon tunggal, Wali Kota Samarinda Andi Harun dan Saefuddin Zuhri pun menjadi pemenang. Demikian pula pada Pilwali Balikpapan. Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud dengan pasangannya Bagus Susetyo juga menjadi pemenang.
Hasil yang sama juga terjadi pada kabupaten dengan pasangan calon petahana yang masih langgeng. Bupati dan wakil bupati petahana tetap mampu mempertahankan posisinya. Seperti Pilbup Kutai Kartanegara (Kukar) Bupati Edi Damansyah dan Wakil Bupati Rendi Solihin menjadi pemenang.
Pun demikian, dengan Pilbup Berau. Bupati Sri Juniarsih Mas dan Wakil Bupati Gamalis juga menjadi pemenang.
Sementara pada kabupaten/kota dengan kepala daerah yang berpisah, yakni Kabupaten Paser dan Kabupaten Kutai Timur (Kutim), bupati mampu mempertahankan jabatannya dengan mengalahkan wakil bupatinya.
Seperti pada Pilbup Paser, Bupati Paser Fahmi Fadli yang berdampingan dengan Ikhwan Antasari yang merupakan Anggota DPRD Paser mengalahkan Wakil Bupatinya Syarifah Masitah Assegaf dengan Denni Mappa sebagai pasangannya.
Pun demikian pada Pilbup Kutim. Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman yang kini berpasangan dengan Mahyunadi, mantan anggota DPRD Kaltim periode 2019-2024 mengalahkan Wakil Bupati Kutim, Kasmidi Bulang dan Kinsu.
Meski tak maju, lagi pengaruh kepala daerah petahana maupun mantan bupati juga masih besar pada pilkada di Kaltim. Seperti di Kabupaten Kutai Barat (Kubar) dan Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu).
Pada Pilbup Kubar, Frederick Edwin yang merupakan anak dari mantan Bupati Kubar periode 2006-2016, Ismail Thomas yang berpasangan dengan pensiunan birokrat asal, Nanang Adriani. Dan pada Pilbup Mahulu, Owena Mayang Shari Belawan, putri dari Bupati Mahulu Bonifasius Belawan Geh yang berpasangan dengan pensiunan birokrat Stanislaus Liah turut menjadi pemenang.
Mengalahkan Wakil Bupati Mahulu, Yohanes Avun yang berpasangan dengan mantan Wakil Bupati Mahulu periode 2016-2021, Yohanes Juan Jenau. Dan pada Pilwali Bontang, mantan Wali Kota Bontang Neni Moerniani yang berpasangan dengan Wakil Ketua DPRD Bontang, Agus Haris menjadi pemenang.
Mengalahkan dua pasangan calon petahana, yaitu Wali Kota Bontang Basri Rase-Chusnul Dhihin dan Wakil Wali Kota Bontang Najirah-Muhammad Aswar.
Namun, anomali justru terjadi pada Pilbup Penajam Paser Utara (PPU). Mantan bupati justru dikalahkan. Pasangan calon Mudyat Noor, pengusaha asal Kota Samarinda yang bersama Abdul Waris Muin, mantan anggota DPRD Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (Sulsel) periode 2019-2024. Yang juga saudara dari Ketua DPRD Kabupaten PPU, Raup Muin. Mengalahkan dua mantan Bupati PPU, yakni Hamdam-Ahmad Basir dan Andi Harahap-Dayang Donna Faroek.
Pengamat Sosial dan Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Saipul Bahtiar mengatakan kemenangan petahana pada pilbup maupun pilwali tak lepas dari kemampuan dari petahana, baik itu bupati maupun wali kota untuk mengerahkan banyak sumber daya. Apalagi sudah memiliki niat untuk mencalonkan kembali menjadi bupati atau wali kota pada periode berikutnya.
“Jadi istilahnya “Sambil Menyelam Minum Air”. Ketika menjabat dan menjalankan program pemerintah secara normatif, secara politis juga bersosialisasi kepada jajaran masyarakat yang akan diarahkan untuk memilih petahana,” katanya kepada Kaltim Post, Minggu (8/12).
Selain itu, bupati maupun wali kota petahana juga berupaya memaksimalkan program yang menjadi unggulan, pada momen sebelum mendaftarkan kembali menjadi bupati maupun wali kota menjabat. Sehingga saat kampanye, petahana bisa mengklaim program tersebut dan menjanjikan akan melanjutkannya. Ketika terpilih kembali menjadi bupati atau wali kota. Termasuk menambah alokasi anggaran untuk program tersebut.
“Itu bentuk dari strategi yang rata-rata efektif bagi incumbent. Terutama di daerah-daerah yang ada di kabupaten. Yang mengklaim anggaran pemerintah itu adalah dari petahana. Akhirnya pemilih beranggapan program itu akan dihentikan, kalau kepala daerah petahana kalah,” jelas dia.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unmul ini juga menyoroti adanya indikasi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan petahana pada pilkada serentak di Kaltim ini. Terlihat dari adanya dugaan pengarahan oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang cukup terlatih. Dalam mengarahkan pemilih secara senyap untuk memenangkan pasangan calon petahana.
“Jadi incumbent bisa memanfaatkan birokrasi secara terstruktur. Yang secara kasat mata, terjadi diskusi di ruang publik. Kalau ASN mau mendapatkan jabatan penting harus memberikan kontribusi untuk incumbent. Kekuatan sumber daya birokrasi, mulai dari lurah hingga camat sangat besar pengaruhnya untuk mendulang suara,” ungkap Saipul Bahtiar. (*)