bontangpost.id – Kendati pembelaan Abdul Gafur Ma`sud (AGM) sepenuhnya ditolak majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda, vonis yang diberikan untuk mantan Bupati Penajam Paser Utara (PPU) itu justru melorot sepertiga dari tuntutan KPK. Jemmy Tanjung Utama bersama Fauzi Ibrahim dan Hariyanto silih berganti membaca pertimbangan hukum atas perkara operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 13 Januari 2022. Tak ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat antara ketiga hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang menjadi majelis dalam perkara suap AGM cs tersebut.
Ketiganya sepakat. Pasal 12 huruf b UU 31/1999 yang diperbarui dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam dakwaan alternatif ke satu yang diajukan JPU KPK pada 22 Agustus lalu ( dalam sidang tuntutan) menjadi pasal yang terbukti dilanggar kelima terdakwa dalam kasus ini. Mereka, AGM, Nur Afifah Balgis (mantan bendahara DPD Demokrat Balikpapan), Muliadi (mantan Plt Sekkab PPU), Edi Hasmoro (mantan kepala Dinas PUPR PPU), dan Jusman (mantan Kabid Sarana dan Prasarana Disdikpora PPU). “Setelah mempertimbangkan fakta dan bukti-bukti yang terungkap di persidangan. Kelimanya terbukti secara sah dan meyakinkan menerima sejumlah uang yang patut diduga berkaitan dengan kewenangannya sebagai pejabat negara,” ucap Hakim Jemmy membaca amar putusan, (26/9).
Total, ada Rp 5,7 miliar uang suap atau komitmen fee yang diterima dari beberapa proyek infrastruktur dan perizinan di Pemkab PPU sepanjang 2020-2021. Uang itu terkumpul dari Asdarussalam alias Asdar, Syamsuddin alias ACO, dan tiga ASN yang jadi pesakitan dalam kasus ini (Muliadi, Edi Hasmoro, dan Jusman). Cuan itu terkumpul dan digunakan untuk kepentingan pribadi kelimanya namun mayoritas tersentral untuk keperluan sang bupati, AGM. Perdebatan yang digulirkan para penasihat hukum tentang status Afifah yang bukan pejabat daerah namun dijerat dengan pasal suap penyelenggara negara pun dinilai tak berdasar. Alasan majelis hakim, dalam putusan itu, fakta persidangan mengungkap secara lugas peran terdakwa Afifah. Mengelola uang pribadi AGM dan keuangan DPD Demokrat Balikpapan selaku bendahara. Uang suap yang mengalir dari Muliadi, Asdarussalam, hingga Edi Hasmoro pun langsung masuk ke dua buah rekening pribadi perempuan 25 tahun tersebut.
“Karena itu, majelis menilai status penyelenggara negara dalam kasus ini secara a quo terpenuhi secara otomatis jika melihat peran sentral terdakwa Afifah,” lanjutnya mengurai pertimbangan dalam putusan. Pintu dimulainya suap terjadi ketika AGM menempatkan timsesnya dalam jabatan strategis di pemerintahan PPU. Asdarussalam sebagai dewan pengawas di perusahaan daerah, RSUD Aji Putri Botung dan PDAM Danum Taka serta Muliadi sebagai pelaksana tugas Sekretaris Kabupaten (Sekkab) PPU. Pada 2020, Asdar pun mulai mencari rekanan yang siap mengerjakan proyek lanskap depan kantor bupati PPU. Ahmad Zuhdi, penyuap dalam kasus ini yang divonis selama 2 tahun 3 bulan pidana penjara, menjadi rekanan yang ditawarkan proyek tersebut dengan kompensasi feedback 10 persen dari nilai kontrak sebesar Rp 24,7 miliar.
Namun realisasinya, Zuhdi hanya memberi sebesar Rp 500 juta yang diberikan secara bertahap empat kali ke Asdar untuk AGM. Di persidangan, Asdar tak menepis menerima sejumlah uang dari Zuhdi namun dia membantah fulus itu berkelindan soal proyek lanskap. Keterangan serupa disampaikan AGM ketika diperiksa sebagai terdakwa. Namun dia hanya menerima sebesar Rp 350 juta dari Asdar yang diberikan ke ajudannya. Asdar kembali berperan dalam pengaturan 15 proyek senilai Rp 118 miliar yang didapat Ahmad Zuhdi setahun kemudian, pada 2021. Zuhdi pun melakukan pemberian bertahap baik lewat Asdar atau Muliadi dan Edi Hasmoro. Yang paling jelas ialah pemberian uang Rp 1 miliar pada 16 Desember 2021 yang digunakan AGM untuk pencalonan dirinya dalam Musda Demokrat Kaltim di Samarinda. Ketika melantik Muliadi sebagai Sekkab dan Edi Hasmoro sebagai kepala dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) PPU awal 2021. AGM, lanjut majelis hakim, sempat memanggil keduanya dan bertanya soal adanya fee proyek tersebut.
Khusus di Muliadi, AGM berpesan jika plt sekkab itu akan menggantikannya di beberapa kegiatan pemerintahan plus menghandel urusan perizinan, khususnya izin prinsip, pertambangan, dan pelabuhan yang dikelola di Bagian Ekonomi Sekretariat Kabupaten PPU. “Saat itu, AGM berpesan ke Muliadi, tapi enggak ada yang gratis, ada biayanya bisa ditanya di Bagian Ekonomi,” ulasnya. Muliadi, bersama Durajat (Kabag Ekonomi) dan Heri Nurdiansyah (staf bagian ekonomi) berhasil mengumpulkan fulus dari perizinan mencapai Rp 3,1 miliar. Sementara Edi Hasmoro mengumpulkan fee dari rekanan yang mendapat proyek di Dinas PUPR PPU sekitar Rp 500 juta yang digunakan AGM untuk Musda dan menjadi bukti ketika OTT KPK di Jakarta awal Januari 2022.
Khusus untuk Jusman, majelis menilai memang terdakwa tak pernah berkomunikasi dan bertemu langsung dengan AGM. Namun, pengumpulan fee proyek senilai Rp 250 juta di Dinas Pendidikan, Olahraga, dan Pemuda (Disdikpora) PPU pada Januari 2022 merupakan permintaan pamannya, Syamsuddin alias Aco yang diketahui salah satu timses AGM ketika Pilbup PPU 2018. “Uang ini juga diterima AGM lewat Nis Puhadi yang mengantarkannya langsung ke Jakarta,” tuturnya. Atas pertimbangan itu, majelis memvonis AGM selama 5 tahun 6 bulan pidana penjara. Vonis yang lebih rendah dari tuntutan JPU pada 22 Agustus lalu yang mengajukan tuntutan selama 8 tahun. (Selengkapnya lihat grafis). Selepas dibacakannya putusan, baik JPU KPK maupun penasihat hukum para terdakwa memilih pikir-pikir selama 7 hari selepas putusan dibacakan untuk mengajukan banding.
Telaah Dulu, Baru Bersikap
Vonis yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda memang lebih rendah dari tuntutan JPU KPK. Namun ada hal yang menarik dalam penilaian para pengadil dalam kasus yang menyeret AGM cs ini. Dalam penerapan uang pengganti yang diberikan sebagai pidana tambahan untuk AGM, majelis hakim tak menilai berdasarkan jumlah barang bukti uang atau barang yang sudah disita KPK. Majelis menilai jumlah uang pengganti sesuai dengan total jumlah suap yang terjadi dalam kasus ini, Rp 5,7 miliar.
Sementara JPU KPK, dalam tuntutannya, menyelipkan pengurangan sehingga uang pengganti yang dibebankan ke mantan Bupati PPU itu senilai Rp 4,1 miliar. Penyusutan itu dikurangi dari jumlah uang yang murni diterima AGM karena dari total suap yang ada, ketiga terdakwa ASN dalam kasus ini juga turut menikmatinya. Ditambah, masih ada sebidang tanah yang belum dilelang milik AGM, barang mewat yang dibeli terdakwa Afifah, yakni sebuah tas Hermes Fragrance–Eau Des Merveilles, sebuah baju merek Zara, dan sebuah hatbob DIOR. Ada pula pengembalian uang Rp 50 juta dari Andi Arief, pengurus DPP Demokrat.
“Memang ada perbedaan untuk penerapan itu (uang pengganti untuk AGM). Kami coba telaah dulu seperti apa pertimbangan majelis, komunikasikan dengan pimpinan. Hasilnya baru bersikap, banding atau tidak,” Ucap JPU KPK Putra Iskandar dikonfirmasi selepas persidangan, kemarin (26/9). Jawaban senada diberikannya ketika ditanya soal melorotnya besaran pidana dalam vonis. “Harus dikomunikasikan dulu dengan pimpinan,” imbuhnya.
Sementara itu, anggota kuasa hukum AGM Muhammad Arsyad menuturkan ada beberapa pengabaian fakta dalam putusan yang dibacakan majelis hakim tersebut. Kata dia, ada dua saksi yang disebut dalam BAP sebagai pemberi oleh JPU namun membantah ketika diperiksa di persidangan. Dua orang itu, Suwandi Taslim dan Ahmad Yora Harahap. “Di persidangan keduanya membantah tegas pernah memberikan uang ke AGM lewat Durajat dan Muliadi dalam perizinan yang mereka urus,” katanya. Sementara dalam putusan, majelis menilai hal ini tak berpengaruh lantaran Durajat atau Heri Nurdiansyah dan Muliadi membenarkan adanya pemberian tersebut. “Masih ada kesimpangsiuran dalam pemberian itu,” imbuhnya.
Bagi tim kuasa hukum, AGM harusnya bebas dalam perkara ini lantaran tak pernah ada bukti sahih dialah yang menugaskan beberapa pihak itu melakukan pengumpulan uang fee proyek atau perizinan. Kasus AGM ini, tutur dia, menjadi contoh betapa mudahnya kepala daerah dikriminalisasi lewat UU Tipikor. “Karena tak semua paham secara rinci penerapan pasal suap seperti kasus ini. diberikan lewat pihak ketiga. Tak tahu asalnya, tapi tetap dinilai terjerat sebagai pelaku,” singkatnya. (riz)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post