Tekanan dari kolonial Belanda yang membonceng Sekutu tidak membuat Gerakan Rakyat Kutai (GRK) gentar. Malahan, pergerakan demi mempertahankan kemerdekaan itu semakin masif yang membuat pihak penjajah kerepotan.
NOVEMBER 1946, seluruh kepala penjawat dipanggil ke Tenggarong untuk menghadiri Konferensi Pemerintahan Kutai (Bestuurs Conferentie). Pada kesempatan berada di Tenggarong itulah, pemimpin GRK wilayah delta Mahakam Abdul Gani menghubungi kembali AR Ario Adi Putro yang tidak lagi menjadi pegawai dan sudah menetap di Tenggarong.
“Demikian pula JF Sitohang yang menjelaskan akan ada aksi di Samarinda,” kata Hamdani, penyusun Bunga Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur sebagaimana dikutip Metro Samarinda.
Tanggal 11 November 1946, setahun setelah aksi heroik di Surabaya, Kepala Penjawat Balikpapan AR Djojoprawiro mengirim telegram kepada Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia di Jakarta. Mengatasnamakan penduduk Balikpapan, telegram itu berisikan pernyataan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia.
“Telegram itu sekaligus berisi penolakan atas undangan Belanda ke konferensi Denpasar,” tambahnya.
Tiga hari kemudian, tanggal 14 November 1946, diadakanlah Bestuurs Conferentie di istana Sultan. Pertemuan ini dihadiri Asisten Residen Kutai dan Pasir yang berkedudukan di Balikpapan. Pada pertemuan ini, terjadi ketegangan dalam pembicaraan yang berhubungan dengan tuntutan Pemerintah Kutai untuk memiliki wewenang yang ada pada pemerintah Belanda.
“Wewenang itu antara lain untuk mengambil alih jalan Samboja-Balikpapan milik BPM demi kepentingan umum dan melancarkan roda perekonomian di Samboja,” jelas Hamdani.
Pada 16 November 1946, JF Sitohang dibantu Nyonya Soewito, Anang, Filip, Inem Adam, Filipus dan Bakran membakar gudang Nigeo (Nederlands Indische GovernementImport En Export Organisatie). Gudang itu penuh dengan hasil hutan yang siap untuk diekspor. Lokasinya berada di tepi Sungai Mahakam, Samarinda.
Tanggal 7 Desember 1946, balasan telegram AR Djojoprawiro dari Soetan Sjahrir datang. “Kepada Aji Raden Djojoprawiro Balikpapan 3389 TTK telah membatja kawat Sdr tentang kepoetoesan para wakil rakjat Balikpapan pada tanggal 11 Nopember 1946 TTK merasa gembira dan terima kasih stop merdeka habis,” tulis telegram tersebut.
Diterimanya telegram dari Perdana menteri Republik Indonesia tersebut membuat Belanda begitu marah. AR Djojoprawiro, Kepala Penjawat Balikpapan dipanggil Asisten Residen Kutai dan Pasir. Namun Belanda tidak dapat berbuat apa-apa. Mengingat apa yang dilakukan AR Djojoprawiro bukanlah suatu kejahatan atau delict. Mereka pun tidak berwenang memberi hukuman administratif apalagi memecat.
“Karena seorang kepala penjawat adalah pegawai yang diangkat pemerintah Kerajaan Kutai,” jelas Hamdani yang diminta menyusun ulang kisah GRK oleh Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak ini.
Sementara itu, pasukan Kasmani yang beroperasi dari Gunung Samarinda, Balikpapan terpaksa mundur ke Kampung Dam. Tekanan dari pihak Belanda yang semakin berat membuat mereka mesti mundur dan bersatu dengan pasukan Anang Kecil.
Lantas pada 18 Desember 1946, Kasmani mengirim utusan ke Samboja. Utusan itu pada mulanya terdiri dari tiga orang yaitu Kadri, Sabran, dan Husin. Hanya Kadri dan Sabran yang meneruskan perjalanan ke Samboja. Sedangkan Husin bertahan di Manggar besar, di mana terletak kamp dan pos militer Belanda.
Setelah menerima laporan, Abdul Gani menyuruh kedua utusan untuk kembali ke Balikpapan. Kadri dan Sabran diminta menyampaikan kepada Kasmani tentang keterangan-keterangan penting mengenai rencana perlawanan (pemberontakan) selanjutnya.
Kedua utusan Kasmani itu diberi ‘pas jalan’ yang ditandatangani oleh Dasan, Komandan Polisi Pamong Praja. Pas jalan diberikan agar keduanya tidak menemui halangan di perjalanan serta untuk melewati pos polisi di Tritip/Aji Raden dan pos militer di Manggar Besar.
“Semestinya ‘pas jalan’ ini dibakar setibanya di Balikpapan. Namun ditemukan pada saat mereka tertangkap tanggal 21 Desember di Kampung Dam,” kisah Hamdani.
Setelah itu terungkap peranan kelompok Samboja yang dipimpin oleh Abdul Gani dalam melakukan gerakan bawah tanah melawan Belanda. Juga kepada mereka telah diberikan satu peti havermout oleh koperasi Oedara di Aji Raden yang dipimpin oleh Makke.
Tanggal 19 Desember 1946, menjelang tengah malam, kantor Kepala Penjawat Samboja digeledah oleh sepasukan KNIL di bawah pimpinan seorang vaandrig Indo Belanda. Tujuan penggeledahan itu untuk menemukan sekarung amunisi. Berdasarkan laporan yang diterima Belanda, amunisi itu disimpan di kantor tersebut.
“Namun amunisi itu beberapa hari sebelumnya telah dikirim ke Balikpapan,” tutur pria yang sempat terlibat dalam kepengurusan salah satu partai politik di Kaltim ini.
Menjelang Subuh keesokan harinya, 20 Desember 1946, pasukan KNIL kembali ke Balikpapan. Mereka kecewa karena pulang tanpa hasil. Sesampainya pasukan tersebut di Kampung Dam, mereka diadang oleh para pejuang yang bergerilya. Dalam konfrontasi tersebut, vaandrig Belanda yang memimpin pasukan menemui ajal.
Pagi-pagi, Abdul Gani menerima laporan tentang penggeledahan tersebut. Dia segera bergegas menuju Balikpapan untuk menyampaikan protes. Pasukan KNIL dianggap lancang karena melakukan penggeledahan tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
“Di Balikpapan, dia melihat bendera Belanda dinaikkan setengah tiang. Tanda berduka cita atas kematian vaandrig yang tewas di Kampung Dam,” papar Hamdani. Dia menambahkan, di kota itu Abdul Gani mengunjungi Djamaluddin Yusuf, pemilik Toko Delima, yang memberikan informasi bahwa Imat Saili telah tertangkap.
Tanggal 22 Desember 1946, sepasukan polisi di bawah pimpinan Hoofdcommisarisposno datang ke Samboja. Kedatangan mereka untuk mengumpulkan senjata api dari polisi pamong praja dengan dalih untuk diganti dengan yang baru.
Sementara itu, Herman Runturambi bersama Edjek, Asikin, Madakawis, Basuni dan Djohan tiba di Aji Raden. Mereka datang dari Kampung Dam setelah pertempuran terjadi di sana. “Setelah mendapat perbekalan dari Koperasi Oedara, Herman dan kawan-kawannya termasuk Idham dan Bantjet dari Tritip berangkat menuju Tanah Merah,” sambungnya.
Keesokan hari menjelang Subuh, pasukan KNIL yang dipimpin letnan Belanda datang dengan jip dan truk. Pasukan ini mengepung rumah kepala penjawat Samboja. Sedangkan di Samboja Kuala, tiba sebuah landingscraft dengan tujuan memblokir atau menutup jalan dari sebelah laut.
Dalam pengepungan itu, Abdul Gani beserta seluruh pegawai, Dasan dan seluruh polisi pamong praja ditangkap. Demikian pula pimpinan koperasi-koperasi yaitu Ali Dg Bantung, Djohan, dan Makke ikut pula ditangkap. Mereka lantas dibawa ke Balikpapan untuk ditahan.
Abdul Gani ditempatkan di Tangsi Militer Gunung Santosa. Sedangkan Djohan dan yang lainnya ditahan di Gunung Permata. Di sana Djohan bertemu Syamsul Waris dari Barisan Pembela Rakyat Indonesia (BPRI) Balikpapan yang ditangkap dua hari sebelumnya tanggal 21 Desember, setelah kampung Dam diserang pada 20 Desember.
Dalam penyerbuan Belanda ke Samboja, mereka berharap dapat menyita senjata api gelap. Namun harapan itu tak terwujud. Apalagi Abdul Gani telah memutuskan bahwa Samboja harus bersih dari gangguan keamanan. “Ini sehubungan dengan fungsinya sebagai terugval basis, tempat pengunduran diri dari para pejuang yang terpaksa mengungsi,” tambah Hamdani.
Hanya di loteng rumah Ali Dg Bantung, di Kampung Samboja Kuala ditemukan dan disita sebuah pemancar radio yang berasal dari tentara Australia. Guna pengamanan, lalu lintas Balikpapan-Samboja selama operasi tersebut ditutup untuk umum sampai rombongan tawanan itu tiba di Balikpapan.
“Tersiar berita kalau ada satu saja tembakan, Samboja dan kampung-kampung sekelilingnya akan dibumihanguskan,” tegas pria yang aktif di Dewan Kesenian Kaltim ini. (luk/bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post